Oleh: Agustinus Tetiro
Koalisi Besar bukan Kutukan, tetapi Anugerah
Setelah menyimak debat pertama calon gubernur dan calon wakil gubernur Nusa Tenggara Timur (cagub-cawagub NTT), kita semua pasti memiliki berbagai penilaian dan pertimbangan untuk mendukung salah satu calon. Saya menaruh perhatian pada calon nomor urut 2 (dua) Emanuel Melkiades Laka Lena dan Johni Asadoma, terutama dalam tulisan singkat ini, soal alur berpikir keduanya. Pasangan calon Melki-Johni menyematkan semangat besar: “Ayo Bangun NTT”
Sejak awal diberi kesempatan untuk menyatakan visi-misi, Melki telah menunjukkan cara pandang tidak biasa atas NTT dengan memperlihatkan posisi provinsi ini sebagai bagian paling selatan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut Melki, hal ini perlu diberi perhatian, karena pada hakikatnya Indonesia dengan presiden dan kabinet baru berkepentingan langsung untuk menjaga daerah perbatasan secara strategis dan bila perlu produktif bagi kepentingan bangsa dan warga negara, terutama warga setempat dan masyarakat lokal.
Melki tahu betul bahwa pemerintahan provinsi (pemprov) adalah representasi dari pemerintah pusat yang ada di daerah. Dengan demikian, gubernur adalah tanda kehadiran presiden di daerah. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan salah satu cawagub yang mencurigai koalisi gemuk (11 partai) sebagai peluang untuk praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), Melki tampil dengan jawaban elegan yang lebih meyakinkan, penuh optimisme dan membawa harapan: “Koalisi besar yang sejalan dengan pemerintah pusat dan Jakarta adalah anugerah baik NTT di tengah terbatas dan sempitnya ruang fiskal kita!”
Jawaban itu juga diberi tambahan: “Tidak ada dagang sapi!” Ini pernyataan tegas, karena Melki memastikan supremasi hukum atas semua masalah hukum. Hal yang kemudian dipertegas lagi oleh cawagub Johni Asadoma yang memastikan penegakan hukum, mengingat latar belakangnya sebagai mantan Kapolda NTT.
Jawaban dan pernyataan yang jelas dari Melki-Johni diapresiasi oleh cagub dari cawagub pemberi pertanyaan. Suatu pengakuan atas kehebatan lawan debat yang memang lebih menguasai duduk masalah dan persoalan NTT.
Bagi Melki-Johni, keterbatasan dan sempitnya ruang fiskal di NTT tidak boleh dilihat secara sederhana (simplisistis), tetapi harus diberikan solusi. Jalan keluar pertama tentu saja pada jejaring ke pemerintah pusat, yang tidak hanya soal pertemanan semata, tetapi diikat oleh kontrak politik dalam suatu kerja koalisi besar. Ini penting agar aliran program tidak hanya bersifat standar-standar saja, tetapi mesti lebih akseleratif dan efektif. Komunikasi politik yang dibangun Melki-Johni kepada presiden Prabowo, wapres Gibran, dan para menteri dalam satu-dua hari ini yang dilakukan secara maraton menujukkan komitmen Melki-Johni untuk menjawab persoalan fiskal kita.
Kolaborasi: Ayo Bangun NTT!
Jalan kedua yang ditawarkan Melki-Johni adalah kolaborasi. Orang-orang NTT dimana saja berada diajak untuk urun-rembug dalam menyelesaikan masalah NTT. Bagi Melki-Johni, pengalaman anak-anak NTT untuk bisa bersaing secara nasional, regional dan global adalah hal yang penting. Maka, anak-anak muda NTT perlu belajar lebih banyak, lebih luas, lebih jauh mengenal dunia, agar pada gilirannya bisa membangun NTT dengan keilmuan, keterampilan dan pengalaman kerja yang telah dialami dan dikuasai dengan standar daya saing global. “Anak-anak NTT tidak boleh terjebak dalam kolam kecil di daerah!,” tegas Melki.
Langkah lain dari konsep kolaborasi ini adalah memastikan orang-orang NTT yang telah besar di luar NTT dari berbagai matra hidup turut ‘pulang kampung’ baik dari sisi pemikiran, investasi langsung, pun tenaga untuk berkontribusi bagi NTT. Tidak sedikit orang NTT yang telah tampil sebagai ahli dan praktisi di bidangnya masing-masing yang bisa diajak untuk berkolaborasi.
Kolaborasi dalam pemahaman Melki-Johni kemudian lebih luas berarti mengajak orang-orang lain non-NTT, baik itu sektor swasta maupun lembaga pemberdayaan (NGO/LSM) dan civil societies, untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan sejumlah persoalan di NTT.
Kolaborasi itu kemudian juga mendapatkan spirit-nya dalam kerja-kerja birokrasi lokal di level pemprov NTT. Birokrasi perlu responsif dan adaptif dengan kondisi sosiologis, konteks dan gelaja alam di NTT. Melki-Johni menyiapkan dua skema dan model birokrasi: untuk keperluan situasi normal dan untuk menghadapi krisis seperti bencana dan wabah yang bisa datang tiba-tiba.
Pernyataan Melki-Johni ini datang dari pengalaman mereka sebagai anggota DPR-RI yang tercatat sukses dalam menyelesaikan masalah wabah pandemi covid-19 kali lalu dan penyelesaian sejumlah dampak bencana alam di NTT saat Johni menjabat sebagai Kapolda NTT. Pemimpin yang berbicara dari pengalaman biasanya terdengar jauh lebih otentik dengan bahasa-bahasa yang sederhana, mudah dipahami dan terukur. Itulah yang ada pada pasangan Melki-Johni.
Sebagai tambahan, menarik untuk melihat cara cawagub Johni Asadoma memetakan persoalan dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya dalam debat. Dengan metode membuat tanda kurung (bracketing) pada inti-inti persoalan, Johni selalu tampil dengan jawaban dan komentar yang clear dengan kemampuan cara berpikir kritis-distingtif. Cara berpikir seperti ini pastilah datang dari orang yang terlatih untuk berpikir secara strategis, efektif dan oleh karena itu: jitu!
Hilirisasi: Solusi bagi NTT!
Dengan memperlihatkan sempit dan terbatasnya ruang fiskal NTT, Melki-Johni secara tepat membidik: NTT sedang tidak baik-baik saja. Secara global, selalu ada potensi resesi. Secara nasional, kerja satu garis lurus dengan pusat adalah keharusan. Secara lokal, kita masih punya banyak pekerjaan rumah (PR) di birokrasi, etos kerja kewirausahaan, dan mentalitas masyarakat secara umum. Maka, hilirisasi menjadi penting. Bagaimana?
Hilirisasi berarti membuat nilai tambah bagi semua potensi yang ada dan bisa dihasilkan di daerah agar lebih bernilai ekonomis. Mendapat perhatian lebih dari kebijakan-kebijakan pemerintah pusat–terutama dari kementerian teknis, menggalang kolaborasi, dan memastikan kerja sama strategis dengan sejumlah pihak adalah pilihan sikap yang lebih bijak.
Melki-Johni tahu betul bahwa untuk itu semua kesehatan masyarakat dan kesempatan pelatihan kerja adalah keharusan. Beruntungnya bahwa dua hal itu yang telah lama dilakukan oleh Melki dengan memfasillitasi pembangunan sejumlah fasilitas kesehatan dan balai latihan kerja. Hilirisasi hanya bisa direalisasi jika masyarakat sehat dan kreatif, birokrasi responsif dan adaptif, peluang kerja kolaboratif terbangun secara strategis.
Saya sering melihat Melki dan Johni singgah di pasar-pasar rakyat untuk sekedar membeli jagung rebus atau ngobrol dengan para penjual di lapak-lapak kecil. Semoga cara berpikir mereka yang diperlihatkan dalam debat semalam bisa membuka harapan kita semua bahwa dalam satu dua tahun ke depan, mereka berdua juga bisa memastikan lapak-lapak itu berubah lebih modern dengan menjual produk-produk dan hasil dari kebun dengan kemasan dan nilai tambah yang lebih tinggi.
Untuk impian masa depan NTT yang lebih baik seperti ini, saya menilai: alur dan cara berpikir Melki-Johni sangat masuk akal, operasional dan oleh karena itu: lebih mungkin bisa direalisasikan. Ayo bangun NTT!*