Frits O Fanggidae / Dosen FE-UKAW Kupang
Selepas liburan 18 Juni 2024, transaksi valuta asing mulai berputar dan bila kecenderungan penguatan nilai USD terhadap IDR (Rupiah) terus berlanjut, maka siap-siaplah menghadapi inflasi, yang kemudian efek rambatannya bagi NTT adalah kenaikan harga bahan non pangan, kemudian memicu spekulan untuk memainkan harga bahan pangan. Spiral efek rambatan penguatan USD terhadap IDR akan berbuntut panjang, dan angkatan kerja berpendapatan rendah atau berpendapatan tidak tetap yang jumlahnya relatif banyak akan menderita….
Pada tanggal 27 Mei 2024, transaksi ditutup dengan Rp. 16.074 per USD, kemudian melonjak tajam pada 6 Juni 2024 menjadi Rp. 16.363 per USD dan terus meningkat tipis ketika transaksi ditutup Jumat 14 Juni 2024 menjadi Rp. 16.367 per USD. Pada pasar on the spot, penguatan USD terlihat lebih besar berdasarkan data Bloomberg (Rp. 16.412 per USD). Dikuatirkan, bila penguatan ini menembus batas psikologis Rp. 16.500 per USD, aksi spekulan akan menjadikan pelemahan IDR semakin dalam. Bahaya langsung yang ditimbulkan adalah kenaikan harga bahan non pangan (impor), yang kemudian menciptakan dampak rambatan ke harga bahan pangan.
Apa bahayanya bagi masyarakat NTT? Dalam keadaan normal, ketersediaan bahan pangan masih defisit, sehingga perlu ditopang bahan pangan dari luar NTT. Dalam kondisi iklim yang terus berubah dan tidak menentu, defisit pangan tersebut semakin membengkak, dan memicu kenaikan bahan pangan. Kondisi demikian bila diperkuat dengan menguatnya USD terhadap IDR, akan menjadikan kenaikan bahan pangan di NTT tidak terkendali, dan tentu saja ini mengakibatkan sebagian besar penduduk berpendapatan rendah dan tidak tetap akan menderita.
Pada saat ini, dampaknya belum terasa, karena di NTT sedang memasuki musim panen yang berlangsung sekitar bulai Mei sampai Juni. Karena itu dengan hasil panen tersebut, terdapat stok yang cukup untuk menahan atau memnstabilkan harga pangan. Demikian pula pada masa tanam sesudah panen bulan Juni, biasanya para petani memanfaatkan kelembaban tanah yang masih tersisa untuk menanam palawija dan hortikultura. Walaupun petani pada semua wilayah di NTT tidak bisa memanfaatkan musim tanam kedua, tetapi secara agregat masih terdapat stok untuk menahan atau menstabilkan harga bahan pangan.
Pertanyannnya adalah sampai kapan stok panen di NTT mampu menyanggah stabilitas harga bahan pangan bila penguatan USD atau pelemahan IDR terus berlanjut? Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah Nilai Tukar Petani (NTP) yaitu indikator tentang kemampuan nilai tukar komoditi pertanian yang dihasilkan terhadap barang/jasa yang dikonsumsi rumah tangga petani dan barang/jasa untuk memproduksi komoditas pertanian. Bila NTP > 100, maka petani memiliki surplus pendapatan, sebaliknya defisit pendapatan bila NTP < 100. Bila petani memiliki surplus pendapatan, maka stok bahan pangan yang dimiliki dapat bertahan relatif lama, sehingga kemampuannya untuk menyanggah stabilitas harga bahan pangan relatif baik. Petani tidak terburu-buru menjual stok bahan pangan, karena tidak mengalami kekuarangan kas (cash crisis). Sebaliknya bila petani menghadapi defisit pendapatan (NTP < 100), kemampuannya untuk menyanggah stabilitas harga bahan pangan relatif terbatas, karena kondisi defisit akan mendorong mereka untuk lebih cepat menjual stok bahan pangan yang dimiliki.
Sampai bulan April 2024, NTP NTT < 100, artinya mereka menghadapi defisit pendapatan. Berdasarkan dapat tahun 2023, pada bulan Januari, NTP = 96,22, kemudian pada akhir musim panen (Juni), NTP sedikit meningkat menjadi 96,86, kemudian sampai bulan Desember, NTP turun menjadi 96,79. Data ini memperlihatkan bahwa sepanjang bulan Januari – Desember 2023, NTP NTT tidak pernah mencapai 100, artinya sepanjang tahun 2023 mereka terus hidup dalam defisit pendapatan. Dari mana defisit tersebut ditutup? Bisa jadi dari Bansos, pinjaman, menjual aset atau ada sebagian petani yang terpaksa bekerja serabutan diluar sektor pertanian untuk menutup defisit pendapatannya.
Bagaimana dengan tahun 2024? Situasinya diperkirakan masih sama dengan tahun 2023. Artinya rumah tangga petani yang jumlahnya mencapai 873.096 (dan bila setiap RT Petani terdiri dari 5 orang) sehingga setara 4.365.480 jiwa atau 78,39% penduduk NTT akan menderita akibat menguatnya USD terhadap IDR, yang dampak rambatannya akan mendorong spekulan memainkan harga bahan pangan setinggi mungkin.
Peluang bagi petani NTT untuk memperkuat stok pangannya saat ini adalah secara efektif memanfaatkan musim tanam kedua. Kendala yang dihadapi setiap tahunnya adalah antisipasi pemerintah daerah terhadap musim tanam kedua selalu terlambat, sehingga tidak efektif. Keterlambatan antisipasi tersebut disebabkan program terkait pertanian atau peningkatan pendapatan melalui APBD murni tidak mencukupi, sehingga menungguh APBD perubahan yang biasanya ditetapkan sekitar September atau Oktober, bahkan November. Pada saat tersebut musim tanam kedua sudah lewat. Dapatkah perubahan APBD dipercepat sehingga pemda memiliki kesempatan untuk mendukung petani memasuki musim tanam kedua? (*)