Oleh Pius Rengka
Kompetisi politik elektoral di Betun, Kabupaten Malaka, NTT, makin ke sini kian mendidih. Tetapi, sejak setahun silam, riak ceritera politik lama Malaka kembali meruak kian kencang. Kabupaten yang terletak di tepi timur laut Pulau Timor itu, mengundang banyak kisah ceritera di balik peristiwa politik lama di sana.
Maka tak ayal lagi, dan juga masuk akal, ketika dr. Stef Bria Seran pun kembali meroket disebut-sebut belakangan ini. Bupati Perdana Kabupaten Malaka itu, bukan saja namanya kian kencang mendidih dibahas. Ia bahkan dibahas, lantaran setelah dikenang kembali, kalau aneka pendekatan pembangunan yang pernah dikerjakannya terasa teramat berguna bagi kepentingan rakyat di kabupaten sungguh subur itu.
Amat kuat, dan kentara terasa, arus besar opini mengalir kencang merindukan dia kembali. Sebagian pendukungnya, bahkan juga mantan lawan politiknya, membahasnya. Ada yang awas ada pula yang gemas. Mantan Kadis Kesehatan NTT ini dirindukan, dibahas, dibicarakan, dan dihitung kembali. Maka nama dr. Stef Bria Seran dibahas khalayak, ketika Partai Golkar memastikan pencalonannya ke kursi Bupati Malaka 2024-2029.
Apa sesungguhnya yag dibahas khalayak itu? Point penting yang dibahas, entahkah dukungan terhadap dokter amat cerdas ini, atau kritik pedas lantaran dia terkesan agak otoritarian. Pelita-pelita harapan pernah menyala di sana, tetapi bersamaan dengan itu keluh kesah di ruang sunyi meminta perubahan seperti sediakala. Tetapi, cinta tak pernah mati. Dokter Stef Bria Seran hari-hari ini ramai dibahas kembali agar dia kembali memimpin Malaka.
Namun, suhu politik lama dalam wacana rakyat, justru semacam kerinduan dan bahkan sejenis tangisan. Para petani ladang sawah menangis lantaran ladang dan sawah mereka kini tak rapi diolah serius. Petani mendambakan jatah traktor olah gratis lahan pertanian. Tetapi, ketika dambaan itu menguat, yang ditemukan malah jawaban diam tak bersuara dan juga tak bergerak. Pemerintah tak menyahut. Mereka lalu terkenang dr. Stef Bria Seran, yang kerap langsung menginjak ladang petani, menyerukan perubahan dengan narasi serba cepat dan tuntas agar tanah petani diolah demi pembebasan mereka dari lilitan belenggu rantai kemiskinan akut.
Para petani miskin, merindukan rawat inap penyakit relatif lebih gampang. Mereka merindukan sesuatu yang aneh, tetapi benar, bahwa gaya kepemimpinan dr. Stef Bria Seran mungkin agak otoritarian, tetapi sedikit cemeti ortoritarian diperlukan justru demi perubahan besar karena cinta kebenaran dan utamakan kebaikan.
Politisi senior NTT, Frans Skera, berujar begini. Untuk masyarakat petani ladang dan peternak, pemimpin keras itu niscaya dibutuhkan oleh panggilan jaman bukan demi kepentingan pemimpin itu sendiri, melainkan untuk kepentingan rakyat.
Kepemimpinan yang keras, ujar politisi jujur NTT ini, adalah kepemimpinan ikonik. Kepemimpinan ikonik dikerjakan oleh pemimpin yang tegas dan lugas. Dikerjakan oleh pemimpin yang memiliki karisma, pengaruh, dan popularitas yang luar biasa di kalangan masyarakat. Pemimpin jenis ini sanggup membedakan problem teknis dengan problem adapatif (bandingkan: Ronald Heifetz, 1994).
Frans Skera mengatakan, pemimpin jenis ini sering dianggap sebagai simbol atau wajah dari suatu gerakan politik atau ideologi tertentu. Politisi ikonik dapat memengaruhi opini publik secara signifikan, baik melalui pidato-pidato mereka, tindakan politik, atau kehadiran mereka dalam media. Mereka bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang, dan kadang-kadang keberadaan mereka dapat mencerminkan perubahan besar dalam masyarakat atau politik suatu daerah.
“Saya pikir, kita harus membedakan, kepemimpinan otoritarian dengan kepemimpinan ikonik. Kepemimpinan ikonik digerakan oleh basis material cahaya spiritualitas cinta kasih. Orientasi gerakannya pun mengarah pada perubahan hidup rakyat yang dipimpinnya yang berlangsung cepat dan signifikan. Perubahan itu sederhana. Rakyat cukup makan cukup papan cukup sehat, cukup pendidikan, sadar hukum dan sadar politik,” ujar mantan anggota DPR RI dari Golkar ini.
Sambil merujuk pada gaya kepemimpinan dr. Ben Mboi, politisi Golkar berlurus hati ini menyebutkan, politisi dengan kepemimpinan yang kuat di Pulau Timor masih sangat langka, karena itu diperlukan pemimpin kuat di Timor agar terjadi loncatan perubahan sosial ekonomi dan politik di daerah ini.
Pungut Kembali:
Banyak ceritera masa silam yang kini dipungut kembali. Kini kembali menyembul ke permukaan dataran politik daerah amat subur itu, berbagai prestasi dr. Stef Bria Seran 5 tahun kememimpinnya di Malaka. Seiring dengan itu luas pula disebut kompetitor yang bakal mengimbangi dr. Stef Bria Seran.
Informasi diperoleh 12 April 2024 menyebutkan, dr. Stef Bria Seran berkompetisi melawan Simon Nahak yang mungkin didukung PDIP dan Kim Taolin yang didukung PKB. Itu berarti konfigurasi kompetisi politik di Malaka adalah Golkar mendukung Stef B. Seran, Simon Nahak (mungkin) didukung PDIP, dan Kim Taolin didukung PKB.
Tiga tokoh inilah yang sering dianggap sebagai pemain utama karena ketiganya selalu didiskusikan kalangan politisi, para pegawai, aktivis, rakyat dan kelompok jurnalis. Lainnya pemain cadangan, Emanuel Makaraek dan Jack Bouk.
Ditambahkan, aneka krisis yang timbul belakangan di Malaka, mengundang kembali opini merindukan dr. Stef Bria Seran. Kata dia, gaya kepemimpinan dr. Stef Bria Seran masih relevan diperlukan untuk mengatasi problem sosial ekonomi di daerah itu. Tetapi, para lawan politik lama maupun baru sebagian besar menyadari bahwa friksi faksi politik di Malaka memang penuh luka. Faksi politik mencuat karena lupa dan salah duga, salah kira dan salah tafsir.
Kabupaten Malaka bukan sebuah wilayah isolatif, tetapi Malaka menyimpan api dalam sekam masalah. Relasi aktor politik lokal dengan aktor politik diaspora ikut meramaikan wacana kompetisi politik di sana.
Fakta di tanah ini, banyak orang pandai. Fakta itu tak terbantah. Di tanah ini pula kultur matriarkat masih kuat. Sistem perkawinan matriarkat menembus masuk ke sektor politik. Kinerja kiat kerja pria digugat lantaran politik kompetisi. Tetapi, para aktivis dan kaum diaspora Malaka terlibat aktif melontarkan evaluasi kritis terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Malaka sejak kepemimpinan bupati perdana dr. Stef Bria Seran sampai Simon Nahak. Tak terhindarkan, politisi diaspora melakukan perbandingan dan juga mertimbang secara etis kritis.
Sahabat dekat saya, pendukung garis keras Simon Nahak mengeluh lantaran banyak konsep pembangunan tak dieksekusi. Kata dia, kepemimpnan justru ditampakkan melalui tindakan eksekusi atas rencana. Jika planing jelas, goal jelas, tetapi eksekusi lemah, lalu apa yang diharapkan, ujarnya kecewa. Begitupun isu penataan Birokrasi.
Sementara itu, diperoleh informasi, Ketua Partai NasDem Malaka, Felix Bere Nahak, mungkin berpasangan dengan Simon Nahak. Itu berarti, 3 kursi DPRD NasDem di Kabupaten Malaka membutuhkan dua kursi lagi supaya memenuhi syarat 20 persen pencalonan. Andaikan Simon Nahak diusung PDIP, maka Simon Felix didukung enam kursi yang berarti memenuhi syarat minimal pencalonannya. Tetapi, hingga tulisan ini dibuat, kabar ke arah siapa dukungan PDIP, belum terang. Malahan beredar gosip PDIP sedang mencari wakil untuk dipasangkan dengan dr. Stef.
Jika dr. Stef Bria Seran didukung Golkar 4 kursi, maka dia membutuhkan 1 kursi untuk menggenapi syarat pencalonan sebagaimana isyarat Undang-undang Pilkada. Andaikan Demokrat dan PSI mendukung dr. Stef Bria Seran, maka 10 kursi telah melampaui syarat minimal pancalonannya terpenuhi bahkan terlampaui.
Sedangkan Kim Taolin telah mendapuk 3 kursi PKB. Kim membutuhkan dua kursi lagi agar syarat pencalonannya terpenuhi. PKB mungkin bergabung dengan PAN dan Perindo. Maka Kim memenuhi syarat pencalonan karena didukung 6 kursi DPRD.
Nah, konfigurasi perolehan kursi DPRD Malaka berikut ini perlu dicakar. Gokkar 4, PDIP 3, Gerindra 3, NasDem 3, PKB 3, Demokrat 3, PSI 3, PAN 2 dan Perindo 1. Lalu Gerindra mendukung siapa dari tiga calon ini, ataukah Gerindra akan mencalonkan figur sendiri di luar tiga nama yang beredar kencang?
Saya menduga Gerindra condong mendukung figur yang memiliki akses kuat dengan Aparat Sipil Negara (ASN). Saya melihat membaca dan mencermati pola relasi politik yang didiskusikan di berbagai group dan gosip di warung kopi para aktivis Malaka, Gerindra tampaknya cenderung mendukung dr. Stef Bria Seran.
Ia didukung Gerindra karena ASN lebih dekat dengannya. Mengapa? Karena ASN mendapatkan kesejahteraan cukup baik selama kepemimpinan dr. Stef Bria Seran berupa uang makan harian. Uang harian inilah kemudian dihapus oleh Simon Nahak.
Namun, dua kompetitor ini bukan bebas dari ancaman rawan politik. Baik dr. Stef Bria Seran maupun Simon Nahak, datang dari ceruk pemilih yang sama yaitu daerah pemilihan dua seturut pembagian daerah pemilihan DPRD. Sedangkan Kim Taolin sendirian di ceruk daerah pemilihan 3.
Sementara itu, Jack Bouk dan Emanuel Makaraek disebut sebagai pemain cadangan, tetapi keduanya cadangan untuk apa atau untuk siapa. Ataukah keduanya malah berubah menjadi pemain utama? Mari kita lihat.
Jack Bouk, pengusaha asal Malaka. Dia tinggal di Jakarta. Dia pebisnis, juga Bendahara organisasi Katolik VoxPoint Nasional. Beberapa kali saya bertemu dengannya saat diskusi FoxPoint di Kupang. Namanya mencuat di blantika musik politik Malaka, lantaran dia menerima banyak keluhan rakyat Malaka yang beredar luas di berbagai forum group politisi Malaka.
Sedangkan Emanuel Makaraek, pensiunan ASN. Saya mengenalnya sejak dia kuliah di Fisipol Unwira Kupang tahun 1987an. Dia olahragawan karate atau sejenisnya. Tetapi, setelah tamat, saya lama tidak bertemu. Lalu dia menjadi pegawai. Apakah dia serius, atau sekadar mengganggu ketenangan demokrasi di wilayah itu, saya tidak tahu. Tetapi di akar rumput, konon dia kuat juga karena pekerjaannya di birokrasi menggampangkannya membangun akses kepada rakyat pemilih. Akankah dia mendapat dukungan partai politik atau melalui jalur perseorangan, belum ada kabar.
Catatan Penutup:
Pada kompetisi Pilkada, selalu besertanya isu-isu buruk para aktor politik meruak kencang. Mengapa? Karena isu negatif dipompa kencang demi menumbangkan lawan politik. Kempanye negatif dan kempanye hitam, digelar, entah di ruang tertutup atau di padang publik nan luas. Tujuannya hanya satu. Saya menang Anda kalah.
Simon Nahak, misalnya, perlu menangkis isu proyek bermasalah, seperti proyek pembangunan rumah bantuan Seroja, dan proyek Septic Tank yang tidak selesai. Sementara dr. Stef dihajar isu gaya kepemimpinannya yang keras, dan lingkaran keluarganya yang dominan. Kim Taolin, isu kepemimpinannya terlalu lembek.
Isu-isu negatif dan hitam itu sudah biasa. Kita merasa itu lumrah. Padahal keutamaan yang kompetitif hanya tiga. Tiga hal itu diperlukan para pemilih.
Pertama, kelayakan para calon (kapasitas, integritas dan leadership); kedua, terkait perumusan masalah daerah yang tampak melalui visi misi dan program pembangunan; ketiga, langkah konkrit gerakkan perubahan sosial. Ketiga hal itu akan menjawab pertanyaan berikut ini.
Pertama, apakah calon memiliki kapasitas regulatif. Kedua, apakah calon memiliki kapasitas ekstraktif; Ketiga, apakah calon memiliki kapasitas simbolik; Keempat, apakah calon memiliki kapasitas distributif; Kelima, apakah calon memiliki kapasitas responsif.
Mengapa 5 kapasitas itu diperlukan? Kapasitas itu diperlukan, karena nantinya jika terpilih, bupati akan berhadapan dengan mekanisme pembuatan kebijakan publik dan mengerjakan apa yang dirumuskan itu.
Masyarakat pasti banyak keluhan dan tuntutan. Bupati harus sanggup mengkonversi keluhan dan tuntutan itu menjadi kebijakan publik. Karena kebijakan publik adalah jawaban pemerintah satu tahunan untuk mengurangi keluhan dan tuntutan rakyat.
Akhirnya renungan puitik bernada nasihat dari penyair Kahlil Gibran ini penting: “Diamlah, karena badai yang gusar mengejek kedalamanmu dan gua-gua lembah tak akan menggemakan suaramu. Diamlah sampai fajar tiba. Karena siapa yang berjaga dengan sabar sampai fajar, maka fajar akan merangkulnya penuh kerinduan”. Begitulah.*/)