
Oleh Pius Rengka
Partai Golkar NTT, mencalonkan Jonas Salean sebagai Walikota Kupang periode 2024-2029. Dia berpasangan dengan Alo Sukardan. Golkar telah mengunci kencang pasangan ini, tak sedikit pun ada tanda ia mengubah haluan.
Teoretis pun ideologis, sikap Golkar itu tepat. Mengapa? Karena Golkar mengerjakan satu dari 13 fungsi partai politik secara benar dengan cara mencalonkan kadernya sendiri sebagai pemimpin. Jonas Salean sudah matang. Bahkan dia telah ranum nian. Problem pembangunan di Kota Kupang dikuasainya. Popularitasnya kuat. Dia pas.
Dalam konteks fungsi partai politik, Golkar telah memenuhi syarat partai yang baik dan benar karena Golkar melakukan kaderisasi politik. Kader-kader yang terlatih pantas diutus menjadi calon pemimpin politik. Maka Golkar pantas dibanggakan.
Sebaliknya, kita meragukan eksistensi partai politik lain yang tidak berani mencalonkan kadernya sendiri. Mereka hanya rombongan dungu peserta pemilu atau komplotan bromocorah peserta pemilu yang berkelakuan buruk dan busuk.
Rombongan peserta pemilu (biasanya), hanya bermodalkan cap partai politik. Para elitnya, sibuk mengamankan cap partai. Manakala perlu, bahkan para ketuanya tidur bersama cap partai politik. Cap partai ikut menghangatkan rebis tepi kiri istri atau suami di tempat tidur. Mereka sekuat tenaga mengamankan cap karena cap partai politik adalah property yang mendatangkan keuntungan finansial.
Cap partai diperdagangkan di pasar gelap politik. Mereka memperlakukan cap partai politik seperti memperlukan cap Comanditer Venonschapen atau Perseroan Terbatas yang didirikan para pafia. Mereka menawarkan aneka jenis tipu daya. Motif utamanya, menjual kursi partai tanpa peduli harga diri rendah.
Harga kursi dan harga diri berbanding terbalik. Makin tinggi harga jual kursi partai, makin rendah harga diri penjualnya. Para penjual kursi partai biasanya tidak manusiawi. Bahkan mereka bertindak jauh dari prinsip sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Mereka hidup tanpa etika karena sudah lumrah menggunakan cara biadab. Rombongan atau komplotan peserta pemilu sejenis itulah, ditengarai kerap mengacau-balaukan kandidasi politik di negeri ini.
Maka, demi menghindari tabiat komplotan politik pengacau balau, diusulkan semua partai politik wajib mengusung kadernya sendiri, entah koalisi atau aliansi politik. Tinggal didiskusikan siapa calon gubernur, bupati/walikota dan siapa calon wakil gubernur, bupati/walikota.
Mari sejenak menengok cara elok ala NasDem. Cara NasDem (juga Golkar tentu saja) mungkin perlu ditiru. Partai NasDem NTT menyiram benih tradisi politik baru. Partai besutan Bang Surya Paloh ini mengumumkan bahwa 8 kabupaten tidak terbuka untuk umum karena NasDem mengusung kandidatnya sendiri. Sisanya di 14 kabupaten kota dan calon Gubernur terbuka untuk umum.
“Pendaftaran dibuka sejak 1- 7 Mei 2024,” ujar Ketua Bapilu Partai NasDem, Alex Take Ofong, Senin, 29 April 2024. Team Alex Ofong yaitu Wily Making, Kristin Samiyati Pati, Yusak Meok, Anwar Pua Geno, Elas Jawamara, Obet Naitboho, Matheos Makunimau, Stefanus Maku, merupakan team penjaringan dan penyaringan.
Partai NasDem aktif mencari para kandidiat internal partai politik atau kandidat dari partai politik lain yang diajak berkoalisi. Partai koalisi yang diajak adalah partai yang sekiranya berada dalam jalur spektrum imajinasi ideologi serupa yaitu ideologi tengah atau kanan tengah.
Aksi politik team Alex Ofong, merupakan maksimalisasi peran dan fungsi partai politik juga. Team ini mendapat kewenangan delegasi dari partai politik. Tugasnya merepresentasi fungsi rekruitmen kader partai politik itu.
NasDem, seperti ujar Alex Ofong, membagikan pendaftaran calon kepala daerah dalam tiga klaster. Klaster pertama terdiri dari 8 kabupaten, NasDem tidak buka pendaftaran secara umum, hanya menerima berkas pencalonan. NasDem sudah punya balon kepala daerah di 8 kabupaten tersebut. Klaster kedua, pendaftaran hanya untuk kader NasDem yang akan maju balon kepala daerah. Klaster ketiga, terbuka untuk umum. Tagline pendaftaran ini yakni NasDem memanggil putra putri terbaik untuk menjadi pemimpin. Tindakan memanggil adalah sebuah aksi politik.
Tanpa Mahar:
“Penerimaan pendaftaran ini, tanpa mahar atau gratis. Tanpa mahar sudah jadi prinsip partai NasDem dalam rekruitmen di legislatif dan kepala daerah,” ujar Ofong.
Khusus untuk klaster satu, NasDem telah mengusung pasangan calon, diantaranya di Manggarai Barat, NasDem mengusung kadernya Edistasius Endy dan Yulianus Weng (jilid 2). Nagekeo, NasDem mengusung Johanes Don Bosco Do, dan Marianus Waja (jilid 2). Flores Timur, NasDem mengusung Anton Doni dan Ignatius Olebura. Malaka, NasDem mendukung Simon Nahak dan Felix Bere. Sumba Timur, Umbu Lili dan Jonathan Hani. Sumba Tengah, Paul Kira dan Martinus Umbu Joka. Sumba Barat, Gregorius Pandangi dan Daniel Lili, serta Sumba Barat Daya, Ratu Wula dan Rangga.
Langkah NasDem merembes ke bawah. Terbukti, pekan ini, Ketua Partai NasDem Kupang, Sophia de Haan mengatakan, partainya membuka ruang seluas-luasnya bagi para calon bupati. Ia mengingatkan bahwa NasDem tidak memungut biaya pendaftaran alias gratis. Partai NasDem peduli terhadap para kandidat yang berkualitas tinggi dan berintegritas kuat.
NasDem tidak memulai dengan topik isi dompet para calon. NasDem mengutamakan kualitas kapasitas dan integritas para calon. Prinsip koleksi untuk seleksi calon sangat jelas demi pemuliaan kapasitas dan integritas itu.
Mungkin benar, isi dompet para calon itu perlu. Tetapi, isi dompet bukanlah sebuah keutamaan apalagi dimuliakan. Satu-satunya isu isi dompet diperlukan ialah untuk mengongkos akses diri calon pemimpin ke para konstituen.
Selain itu, para kandidat disurvei beberapa kali. Hasil survei dipresentasikan terbuka. Yang disebut calon kuat bila calon tersebut memperoleh skor survai urutan satu atau dua. Kandidat urutan satu atau dua, pasti diusung Partai NasDem. Ceritera ini sudah semacam habitus di partai ini.
Tentu saja, ceritera ini, bukan ceritera baru dan tunggal. Instruksi Pengurus Pusat Partai NasDem sudah jelas sejak lama. Tercatat sejarah, NasDem mencalonkan Basuki Tjahya Purnama alias Ahok di Jakarta, atau saat NasDem mencalonkan Jokowi Presiden. Begitu pun pencalonan Ridwan Kamil di Jawa Barat. Dengan catatan ini, NasDem mengutamakan calon yang berkualitas dan berintegritas. Sebaliknya, NasDem menolak orang bodoh dan orang tidak jujur. Andaikan calon itu pintar tetapi tidak jujur, atau calon jujur tetapi tidak pintar, maka calon tersebut digusur NasDem. Mengapa?
NasDem percaya pada orang cerdas. Orang cerdas diperlukan karena diasumsikan orang cerdas sanggup menemukan profil masalah rakyat. Dia tahu cara terbaik dan tercepat mengatasi problem rakyat.
Orang jujur karena orang jujur tahu membedakan mana hak dan bukan haknya. Jadi dia tidak korup dan tidak membisniskan kewenangannya demi keuntungan pribadi, atau keluarganya. Bahkan orang jujur tidak terlibat mengerjakan proyek, meski peluang untuk itu terbuka baginya. Jadi Partai NasDem mencari calon pemimpin cerdas sekaligus jujur yang menumpuk di satu tubuh.
Jalan serupa tampaknya berlaku di Partai Solidaritas Indonesia besutan Kaesang Pangareb, putra bungsu Presiden Jokowi. Partai Solidaritas Indonesia adalah salah satu pelopor gerakan antimahar.
Para aktor prodemokrasi berharap partai-partai politik menjadi teladan demokrasi. Semua elemen demokrasi memperbaiki mutu demokrasi di NTT.
Maka PDIP, Gerindra, PKB, PAN, Demokrat, Hanura, dan Perindo bersatu menggerakkan antimahar politik itu. Jika semua partai melakukan hal ini, maka banyak orang cerdas dan jujur terlibat dalam kompetisi politik elektoral.
Siram Senyum:
Belum lama berselang, serombongan orang, tampak sumringah. Mereka tersenyum ramah sekali. Wajah mereka terpapar sinar mentari nan panas, tetapi toh mereka tak kurang gertak maju tak gentar.
Mereka adalah barisan pengantar Jefri Riwu Kore, kandidat Walikota Kupang, yang membawa lamaran pecalonannya ke kantor PDIP Kota. Pengurus PDIP Kota menerima Jefri beserta rombongannya dengan hangat. Bahkan dirangkul Ketua Partai Jesekiel Loudu. Mereka bertukar ceritera tentang cara mengelola Kota Kasih.
Sebelumnya, Jefri Riwu Kore bersama para suporternya berkeliling sambil berbuat baik (pertransiit benefaciendo). Mereka mengumpulkan KTP. Jefry berencana maju melalui jalur perseorangan. Nama Jefri pun meroket.
Namun, dia berjanji lagi. Kata dia, apa yang pernah diperjuangkannya itu tulus, suci murni. Dia sungguh mencintai rakyat Kota Kupang. Panggilan kasih dan cintanya itulah yang mendesaknya kembali ke Kota Kupang.
Pendukungnya pun bersorak. Lalu, mereka berteriak Jefri dua periode sambil tangan terkepal seperti hendak meninju atap langit.
Maka ribuan KTP pun terkumpul. Ia memenuhi syarat pencalonan sesuai isyarat undang-undang. Tetapi, mengapa dia ke PDIP bukan ke Demokrat tempat dari mana awal dia berjejak?
Pertanyaan untuk PDIP apakah PDIP sanggup dan berani mencalonkan kadernya sendiri ataukah dia tak lebih dari gerombolan politik kekurangan kader?
Saya membayangkan PDIP mencalonkan Jefri Riwu Kore. Tetapi dengan syarat maksimal yaitu Jefri menjadi anggota PDIP. Maka dinamika politik Kota Kupang akan sangat elok, jika nantinya Jefri berpasangsan dengan Anton Ali. Pasangan ini merupakan produk koalisi PDIP dan PKB. Mungkinkah? Mungkin!
Sementara itu, calon kesohor lain seperti George Hadjoh, Herman Man, Bobby Fanggidae, Epi Seran dan Aleks Funay hingga kini tersimpan di top of mind rakyat Kota Kupang. Nama mereka sudah beredar luas dan, diterima. Rekam jejak mereka jelas dan terang. Mereka berprestasi. Mereka sanggup eksekusi.
Mencermati catatan di atas, maka para kandidat Walikota Kupang makin ke sini kian terang. Mereka adalah Jonas Salean, Jefri Riwu Kore, George Hadjoh, Herman Man, Bobby Fanggidae, Alex Funay. Jika Jefri Riwu Kore tetap berteguh melalui jalur independen, maka lainnya akan menemukan jalan melalui partai koalisi. Tetapi semua partai pengusug di kota Kupang harus koalisi.
Nah, apa pun kalkulasi dinamika politiknya, satu hal telah kian jelas. Bahwa Partai politik tidak mau lagi memilih kandidat bodoh pemicu konflik sosial dan penyebab turbulensi politik.
Partai politik memilih pemimpin yang kuat, pemimpin ikonik, transformatif, karena pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang sanggup memecahkan masalah rakyat Kota Kupang. Selamat berkompetisi.*/)