Calon Bupati dan Walikota: Siapa Yang Pantas?

946
Pius Rengka

Oleh Pius Rengka

Warga Kota Kupang, tinggal di Jl. Antarnusa, Liliba

Pemilihan Presiden dan legislatif di Indonesia telah rampung, menyusul pengumuman KPU di Jakarta, 20 Maret 2024. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, menang telak setelah terpilih secara demokratis melalui Pemilu 14 Februari 2024. Selain itu, delapan partai politik lolos parliament threshold.

Yang kini tersisa, sedikit riak debat para supporter. Mungkin tersebab batin mereka agak tergores. Mereka meriung di panggung Mahkamah Konstitusi lalu rebut gaduh di arena media sosial.

Namun, arah keputusan MK dapat diduga. MK memutuskan sesuai penetapan Komisi Pemilihan Umum. Prabowo Gibran menang karena didukung mayoritas rakyat Indonesia melalui proses politik nan wajar dan demokratis.

Kini, saatnya rakyat NTT mencari dan menemukan para calon bupati dan walikota yang pantas, layak dan patut karena rakyat merindukan hadirnya para calon pemimpin yang sanggup memecahkan problem riil yang dihadapi di daerah masing- masing.

Memang benar, kita tak kekurangan stok klaim terhadap alasan problem rakyat NTT. Satu klaim yang menonjol diantaranya terkait pemimpin dan kepemimpinan politik. NTT membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan politik yang kuat karena ditengarai faktor pemimpin dan kepemimpinan itu sangatlah penting.

Klaim ini benar. Banyak studi akademik di sejumlah negara post colonial antara lain menyebutkan, di masyarakat multikultural, pemimpin dan kepemimpinan politik adalah faktor kunci adanya perubahan sosial.

Pemimpin dan kepemimpinan politik signifikan, agar cermat memahami keragaman budaya, terampil menangani kesetaraan dan evaluasi antarbudaya.

Tabiat kepemimpinan politik sekaligus mencerminkan berat ringannya tantangan keberagaman dalam masyarakat. Kepemimpinan politik ikut mempengaruhi alokasi sumberdaya. Kepemimpinan politik sanggup memberi arah tentang cara menangani masalah sosial.

Maka pemimpin dan kepemimpinan politik tahu kapan memobilisasi dan mengarahkan team kerja dan bagaimana memastikan perlakuan yang sama serta memahami cara merawat kelangsungan hidup kelompok-kelompok budaya tertentu (Bandingkan: Barry, B; 2002; Taylor, C; 2021).

Dengan ungkapan lain, pemimpin dan kepemimpinan politik sensitif terhadap perubahan sosial. Pemimpin dengan kepemimpinan politik yang dimaksud memiliki kapasitas regulatif, kapasitas ekstraktif, kapasitas simbolik, kapasitas distributif dan kapasitas responsif (vide: David Easton, 1953; Gabriel Almond, 1966; Paul A. Sabatier, 1999).

Mengapa unsur “pantas” mutlak diperlukan untuk para calon bupati dan walikota? Pertama-tama dan terpenting ialah karena kapasitas intelektual para calon pemimpin itu adalah faktor kunci bahkan keutamaan yang sangat diperlukan untuk mengatasi variasi masalah yang dihadapi rakyat di NTT.

Plato (380 SM), menyebutkan kapasitas atau “capacity” dalam konteks demokrasi merujuk pada kemampuan individu untuk memahami dan mengambil keputusan terbaik bagi kepentingan negara atau masyarakat secara keseluruhan. Plato mengeksplorasi konsep ini dalam karyanya yang terkenal, “Republik”.

Plato menyajikan pandangannya tentang negara ideal. Menurut Plato, negara ideal harus dipimpin oleh seorang filsuf-raja atau seorang pemimpin yang memiliki kebijaksanaan, pengetahuan, dan keahlian yang luar biasa. Dia meyakini, hanya mereka yang memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman mendalam tentang kebenaran dapat memimpin dengan bijaksana dan memutuskan kebijakan terbaik untuk masyarakat. Plato membayangkan pemimpin politik jenis ini karena ia menyadari mayoritas rakyat berpengatahuan kurang dan keterampilan terbatas.

Sangat sulit membayangkan jika negara dipimpin oleh para pemimpin bebal. Pemimpin bebal memproduksi masalah. Bahkan, pemimpin itulah yang menjadi masalah itu sendiri. Pemimpin bermasalah, biasanya bekerja dalam orientasi kegelapan. Dia dapat menambah masalah.

Kiranya, syarat pencalonan para pemimpin politik tidak dimulai dari konsideransi tebal tipis isi saku mereka. Isi saku mungkin penting, tetapi tidak yang utama apalagi keutamaan. Isi saku hanyalah unsur supporting. Sama persis dengan peran para supporter dalam team sukses elektorasi.

Pengalaman empirik, memberi banyak pelajaran. Para supporter cenderung hanya fungsional sebagai penyumbang hura-hura atau juru berhore ria (baik melalui media sosial maupun pengibar bendera sambil teriak di jalan-jalan).

Modal utamanya bersuara besar. Tetapi, nilai edukasi politik kosong. Malah, mungkin, mereka justru menjadi penyumbang huru hara sosial. Mereka mengganggu ketertiban umum. Gangguan itu disalurteruskan melalui moda akun palsu atau akun yang dipalsukan. Padahal, akun palsu sejenis hiprokrisi politik atau pantulan kegelapan krisis psikologis. Maka supporter tidak relevan. Mereka sering menimbulkan masalah atau merusak relasi sosial yang sangat mungkin justru merugikan tokoh politik yang hendak dibelanya.

Kemampuan otak para calon merupakan sine qua non untuk konteks kualitas demokrasi. Siapa pun yang terpilih nantinya, dia diandalkan untuk merumuskan dan memecahkan masalah rakyat dengan tepat. Jadi, kita butuh orang cerdas.

Demi kepentingan itulah, kita tidak boleh canggug mengucapkan keunggulan dan kekurangan para calon sejak awal mereka ditawarkan ke pasar politik rakyat. Para incumbent pun tidak terkecuali. Para incumbent yang kurang berprestasi, sebaiknya perlu malu mendaftar untuk proses reelection.

Syarat kedua, intergritas. Ukurannya gampang. Para calon yang tidak pernah tercela. Apalagi beraroma korup. Karena itu, daftar track record diperlukan. Jujur, itu penting. Integritas calon adalah prasyarat penting untuk memastikan hasil pemilihan benar-benar mencerminkan keinginan dan preferensi masyarakat serta memperkuat legitimasi pemerintahan yang terpilih.

Dalam konteks demokrasi elektoral, “integrity” atau integritas merujuk pada prinsip-prinsip moral dan etika yang mengatur proses pemilihan umum dan menjaga kejujuran, keadilan, dan transparansi dalam pelaksanaannya.

Parpol Mesin Produksi:

Jika cerdas dan intergritas itu syarat utama dan keutamaan, maka para calon (bupati, walikota), mestinya datang dari kelompok elit politik. Elit politik itu disediakan oleh mesin partai politik karena partai politik berfungsi sebagai mesin produksi penyedia kader politik terbaik.

Disebut elit politik karena para calon datang dari proses seleksi ketat dan obyektif di internal partai politik. Mereka memiliki pengalaman berpolitik atau memiliki reputasi bagus di lembaga-lembaga publik sejenis.

Jika partai politik belum ada kader yang layak diutus ke kursi walikota dan bupati (termasuk wakil), maka partai politik mencari dan menemukan aktor politik lain dari kalangan non partai politik, entahkah dari kalangan profesional yang mumpuni. Mereka dapat dipastikan memiliki akses ke sumber daya politik, termasuk kekuasaan politik, informasi, atau koneksi yang memungkinkan mereka sanggup mengkonstruksi kebijakan publik yang sensitif dengan kepentingan terbaik rakyat.

Dalam sistem politik Indonesia, partai politik memiliki jenjang jejaring luas struktural ke pemerintah pusat dan DPR RI. Karena itulah para politisi lebih condong mendorong para calon dari partai politik tinimbang calon dari jalur independent karena alasan jenjang jejaring politik tadi. Apalagi kasus NTT, anggaran lebih banyak digelontorkan dari pemerintah pusat atas nama demi negara kesatuan.

Tema tentang kapasitas intelektual para calon, telah menjadi tema berusia sangat tua karena relevan dengan demokrasi bermakna. Para sofis, mengkonstatasi demokrasi mengandung 3 gatra inti. Yaitu kapasitas, integritas dan konstituensi.

Sejak 4 abad SM, Sokrates dan Plato mensyaratkan kapasitas intelektual karena elektorasi melalui debat gagasan. Debat gagasan mengandaikan isi kepala tidak hanya ditampakkan melalui jenjang pendidikan formal (seturut ketentuan UU), tetapi juga melalui eksperimen sosial yang dilewatinya dan mimpi-mimpi yang hendak diraihnya secara proporsional, dan terukur.

Sokrates dan Plato, pernah risau. Dua filsuf agung ini beralasan, prosedur demokrasi berpuncak pada hasil pilihan orang banyak. Dalam prakteknya, pemimpin dihasilkan oleh pilihan orang “kebanyakan”.

Dua filsuf ini khawatir. Orang kebanyakan adalah orang bodoh. Sangat mungkin para orang bodoh memilih calon sesama bodoh. Lalu, rejim demokratis memang memenuhi prosedur karena prosesnya melalui lembaga-lembaga demokrasi, tetapi substansi elektorasi dikerjakan oleh para orang bodoh. Akibatnya, para orang bodoh dipimpin oleh orang bodoh. Akibatnya, negara gagal bahkan kolaps. Dengan kata lain, masalah rakyat tidak terpecahkan, kekecewaaan meluas. Padahal sebab utamanya karena calon yang dipilih adalah orang bodoh.

Sebagai misal. Gejala sampah di Ibukota Kabupaten atau Kota. Masalah sampah tidak dapat diatasi tuntas. Jawaban paling masuk akal, karena kabupaten dan kota dipimpin orang bodoh. Makanya, hindarilah mencalonkan orang bodoh. Untuk kepentingan itulah partai politik wajib mencalonkan pemimpin berisi kepala bagus. Siapa pun nantinya yang terpilih, maka yang terpilih adalah satu dari para calon yang cerdas dan berintegritas.

Untuk itulah kriteria pencalonan bupati dan walikota perlu diperketat sejak awal entah pencalonan dari partai politik atau jalur perseorangan. Selamat mencoba.*/)

Center Align Buttons in Bootstrap