Oleh: Gres Gracelia
(Perempuan Adonara)
“Setiap napas pertama bayi di bumi adalah kedamaian dan kasih. Setiap ibu seharusnya sehat dan kuat. Setiap kelahiran harus aman dan penuh kasih. Tetapi dunia kita belum sampai ke sana.” (Robin Lim)
Hati tersayat. Mulut terbungkam. Lidah kaku, tak sanggup berkata-kata. Badan bergetar. Sedang kedua pipi basah kuyup dibanjiri air mata yang tak kuasa ku bendung.
Sore itu, kabar duka datang dari keluarga Adonara-Kupang mengenai seorang ibu muda dari Adonara yang meninggal dua minggu setelah melahirkan di salah satu RS ternama di Kota Kupang.
Ia meninggal bukan karena melahirkan. Ia melahirkan dengan baik meski melalui operasi. Tetapi semuanya berjalan dengan lancar. Anaknya laki-laki dan sehat.
Namun pasca melahirkan, sakit jantung yang mendera sejak lama kambuh hingga membawanya pulang untuk pergi selama-lamanya.
Kami terlambat mendapat informasi. Saat tiba di rumah duka ternyata ia sudah meninggal dunia tiga hari sebelumnya.
Beruntungnya, saat dia meninggal cuaca di Kupang dan sekitarnya lagi kurang bersahabat, membuat semua agenda penyeberangan dari Kupang ditutup.
Sehingga kepulangan alamarhumah ke kampung halamannya, Adonara pun tertunda dan kami masih bisa melayat, meski tak dapat menyentuh raganya karena sudah di dalam peti.
Malam itu, Sabtu 16 Maret 2024 memang sudah waktunya alamarhumah pulang ke kampung halaman. Keluarga sedang bersiap-siap mengantarnya ke Pelabuhan Tenau, Kota Kupang karena cuaca sudah membaik dan penyeberangan mulai dibuka lagi.
Sejak tiba di rumah duka, saya tak henti meratapi Jenazah di balik peti itu. Bukan karena kami tak akan pernah bersua muka lagi di dunia ini. Bagaimanapun, pada akhirnya semua kita akan kembali pada kepulangan dengan proses dan cerita yang tentu berbeda-beda.
Cerita serta proses di balik kepulangannya inilah, yang membuat saya sungguh haru dan menaruh rasa hormat yang tinggi untuk ibu muda yang terbujur kaku di hadapan kami.
Sebagaimana beredar di tenda duka, sebelum menikah, Ia sudah diingatkan dokter agar sebaiknya ia tak boleh hamil. Pasalnya, itu sangat beresiko bagi dia.
Sebab, sejak remaja sudah divonis penyakit jantung. Bahkan sudah pernah dioperasi untuk pasang ring di jantungnya. Kondisi ini kata dokter, akan sangat membahayakan dirinya bila hamil dan melahirkan.
Namun, ia tetap memilih hamil dan melahirkan anak laki-laki yang sehat dan menggemaskan.
Mengandung hingga melahirkan seorang anak laki-laki penerus baginya, menurut saya merupakan pilihan paling berani dan paling ikhlas sebagai Ibu.
Sebabnya, sebelum mengandung ia sudah menyadari bahwa hamil bisa membawa kematian baginya. Melahirkan bagi dia mesti dibayar sangat mahal, yakni nyawanya sendiri.
Saya kemudian memahami ini sebagai wujud cintanya yang begitu besar pada dunia. Pada kehidupan setelahnya. Itulah yang mendorong dia untuk tetap mengandung dan melahirkan kehidupan baru, meski bayarannya sangat mahal.
Pilihan ini juga seolah Ia sedang mejelaskan pada dunia, pada orang-orang terdekatnya bahwa Ia tidak ingin mati begitu saja tanpa mewariskan keturunan.
Mungkin yang membuatnya merasa paling berguna hidup di dunia ini ialah mampu mewariskan keturunan.
Mungkin juga ia sudah berjanji, bahwa ketika kelak meninggal dunia, ia tak benar-benar mati. Karena itu, harus ada yang menggantikan wajahnya.
Untuk itu semua, saya begitu mengaguminya. Malam itu, saya memberinya senyum sebagai tanda hormat padanya.
Sementara begitu, HP saya bergetar. Jauh dari seberang Pulau Adonara, yang juga merupakan kampung halaman dari alamarhumah yang sedang terbaring di hadapan kami, seorang kerabat dekat memberi kabar.
Kabar duka yang benar-benar membuat saya syok. Air mata yang sedari tadi mulai mengering, akhirnya kembali mengalir deras tanpa saya sadari.
Bagaimana tidak, di waktu saya sedang duduk menghadap peti Jenazah seorang ibu muda yang meninggal pasca melahirkan anak pertamanya, kabar duka kembali datang dari Pulau yang sama dengan cerita yang sama, yakni, tentang seorang ibu meninggal pasca melahirkan.
Bedanya, yang satu meninggal karena sakit jantung sedang satunya lagi meninggal diduga akibat ulah para medis yang salah menangani proses persalinannya. Yang memaksakan kehendak sendiri tanpa memikirkan dampak buruknya pada pasien.
Yang paling membuat syok tentu karena seorang ibu yang juga kerabat dekat itu harus meninggal bersama bayinya, perempuan. Putri mungil yang sejak lama dinantikan ibu bersama ayah dan kakak lelakinya.
“Ge, Novi Nopal Manggaaleng ni meninggal di Ge. Melahirkan nati noo ana selamat hala di. Si Larantuka barusan ni Ge”.
Pesan dalam bahasa Adonara ini artinya, Ge, Novi Nopal dari Manggaaleng meninggal. Dia melahirkan dan dengan anaknya tidak selamat. Dia barusan meninggal di Larantuka. Begitu bunyi pesan duka yang membuat seluruh badan bergetar.
Sesaat setelah menerima pesan itu, saya membuka beberapa group FB, untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Biasanya, informasi seperti itu akan dengan cepat tersebar di media sosial.
Benar, di sana saya menemukan sebuah postingan tentang peristiwa nahas itu, beserta foto Novita Diliana Uba Soge yang sudah terbaring kaku bersama sang buah hati di sampingnya.
Air mata saya terus mengalir tanpa henti ketika melihat mereka sudah dimandikan dan di-make up. Keduanya nampak sangat cantik. Sungguh, saya benar-benar merasakan sedih dan kehilangan yang sangat.
Terlepas saya sebagai kerabat dekat dari Novi. Sebagai seorang Ibu yang juga pernah melahirkan, yang tahu bagaimana rasanya menunggu dengan penuh harap dan hati berbunga-bunga selama 9 bulan.
Yang merasakan bagaimana membangun kerja sama yang baik dengan bayi dalam kandungan saat tiba-tiba perut sakit, atau saat perasaan lagi kurang enak.
Semua perasaan itu bercampur jadi satu. Di saat yang sama, memori membawa saya kembali ke masa lalu saat bersama Novi. Sosok yang ceria dan asyik diajak bicara.
Memori juga membawa saya ke postingan-postingan yang dibagikan Novi di laman Facebooknya selama hamil. Semua postingan itu jelas menggambarkan kebahagiaan keluarga kecilnya menantikan kehadiran anak dan adik perempuan mereka.
Kalau hari itu Novi dan bayinya selamat, maka hari ini mereka sangat bahagia dengan formasi lengkap dalam rumah; dua pasang. Dua laki dan dua perempuan.
Di beranda sosial media Novi pasti berseliweran foto sang baby cantik dengan caption yang mengharubahagiakan.
Namun, suami, sang putra dan keluarga harus menerima kenyataan berbeda. Mereka tak menemukan lagi Novi di sana dan tanpa kehadiran si cantik mungil yang dinantikan.
Novi sendiri mungkin tidak merasa sedih dan kehilangan akan bayi perempuan yang ditunggu-tunggunya, karena Tuhan tidak memisahkan mereka. Keduanya tetap bersama, pergi meninggalkan dua lelaki kebanggaan mereka untuk selamanya.
Tetapi, tentu saja suami, ayah, anak dan kakak laki-laki dari anak perempuannya yang selama sembilan bulan juga menanti dengan hati diselimuti kebahagiaan, sama seperti yang Novi rasakan tentunya sangat kehilangan.
Ini tergambar jelas saat bagaimana Isak tangis sang suami dan anak lelaki Novi yang masih tujuh tahun tapi menunjukkan kehilangan luar biasa. Lelaki di bawah umur yang sudah tahu arti kematian, arti perpisahan selamanya yang tak diinginkan.
Hal itu tergambar pada ekspresinya sambil mengusap-usap kedua Jenazah di hadapannya yang tak lain, ialah dua perempuan yang paling dicintainya di dunia ini. Ibu dan adik perempuannya.
Adik perempuan yang tak sempat diajaknya bersenda gurau di kala pagi dan petang.
Adik perempuan yang tak sempat mendengarkan cerita tentang seorang Kakak laki-laki yang tak sabar menantikan kelahirannya, dengan hari penuh kebahagiaan, sambil menuliskan cerita-cerita menarik di kepalanya tentang penantian paling dirindukan.
Tentang Kakak laki-laki yang kerap mencium dan menyapa adik perempuannya saat bangun dan sebelum tidur lewat perut ibu. Yang selalu ingin menemani ibunya ke Puskemas untuk mengetahui perkembangan sang adik dan memastikan bahwa dia baik-baik saja di dalam sana.
Melihat dan memikirkan itu semua rasa sedih dan marah saya penuh sesak di dada yang meletup-letup seolah ingin meledak.
Sedih, tentu saja karena harus menyaksikan semua peristiwa ini dengan cerita yang sungguh-sungguh menyayat hati, menggetarkan emosi.
Marah, karena mengetahui proses kematian Novi dan bayinya yang diduga kuat akibat ulah dari tenaga medis (Nakes) di ruang bersalin RSUD dr. Hendrikus Fernandes Larantuka, Flores Timur yang menangani proses persalinan Novi dan buah hati sebagaimana kronologi yang sudah beredar luas di media sosial.
Benahi dan Proses Hukum
Dari kronologi kasus yang diceritakan suami, Paulus Wura Lopi yang sudah beredar luas di media sosial, jelas kematian guru olahraga merangkap operator di SDK Horowura, Kecamatan Kelubagolit Adonara, Flores Timur dan bayinya itu murni karena penanganan medis yang tidak profesional.
Dari kronologi itu saya bahkan tidak menemukan adanya unsur kelalaian. Yang saya temukan di situ, justru unsur kesengajaan yang menyebabkan Novi dan bayinya meninggal dengan sangat tragis.
Soal kronologi, bisa diakses di berbagai media atau media sosial. Semuanya sudah tersebar. Terlalu panjang untuk disertakan dalam tulisan ini. Karena itu saat ini saya ingin fokus menyoroti beberapa hal.
Pertama, soal carut marut pelayanan di RSUD dr. Hendrikus Fernandes Larantuka. Rumah sakit yang sampai kapan pun akan dikenang sebagai rumah sakit penyebab kematian Novi dan bayinya.
Peristiwa kematian Novi dan bayinya ini saya kira bukan peristiwa pertama untuk menggambarkan betapa carut marutnya pelayanan di RSUD dr. Hendrikus Fernandes Larantuka.
Masih ada banyak cerita lain yang menjelaskan soal itu yang terjadi sebelum peristiwa Novi dan bayinya. Itu semua bisa telusuri di berbagai pemberitaan media massa. Kebetulan saja, cerita Novi dan bayinya ini yang viral.
Karena itu, kasus Novi dan bayinya ini harus menjadi catatan penting seluruh unsur pemerintahan Kabupaten Flores Timur baik eksekutif maupun legislatif, dan terutama pihak manajemen rumah sakit.
Cerita nahas ini harus menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi semua bentuk kekurangan dalam pelayanan di RSUD dr. Hendrikus Fernandes Larantuka dan menjadi titik balik untuk berbenah.
Kita harus berani untuk mengatakan, mengakui dengan jujur bahwa pelayanan di RSUD dr. Hendrikus Fernandes Larantuka saat ini memang sangat buruk.
Keburukan itu semua terungkap dalam kasus Novi. Pertama soal SDM, berikutnya soal fasilitas yang jauh dari prinsip melayani.
Bayangkan saja dalam kasus Novi, keluarga pasien harus berhadapan dengan dua kenyataan pahit. Ibu dan anak meninggal bersamaan diduga kuat karena ulah Nakes.
Kenyataan pahit berikutnya, saat ingin memandikan Jenazah ibu dan anak itu, air tidak ada. Keluarga harus meminta sendiri air di rumah warga, karena air di rumah sakit sudah tidak jalan dua hari.
Air tidak jalan di rumah sakit apalagi selama dua hari sungguh sangat tidak lucu. Ini keadaan yang sungguh memalukan di tengah kepiluan keluarga korban.
Kalau di negara-negara dengan standar moral dan etik tinggi, dua peristiwa ini sudah cukup untuk membuat para nakes di rumah sakit itu dihukum dan kepala rumah sakit mengundurkan diri karena malu dengan dua keadaan tersebut.
Namun, tentu kita tidak akan melihat kenyataan itu di sana. Sebab di republik plus enam dua ini, urat malu kadang-kadang putus sesaat sebelum tanggung jawab besar diberikan.
Karena itu, demi perbaikan serius, kepala daerah setempat dalam hal ini Pj. Bupati Flores Timur harus bertindak tegas. Jangan menunggu mereka mengundurkan diri, karena ini bukan Cina atau Jepang.
Dalam dua peristiwa ini, tidak ada alasan bagi Kepala Rumah Sakit dr. Hendrikus Fernandes Larantuka itu untuk dipertahankan jabatannya. Ia mesti dicopot.
Ketiadaan air di rumah sakit selama dua hari sudah cukup untuk menjelaskan tentang betapa tidak sehatnya rumah sakit itu. Mulai dari organisasinya hingga lingkungannya.
Peristiwa ketiadaan air di ruang jenazah itu juga sudah cukup untuk menjelaskan betapa rendahnya kesadaran akan hidup sehat dan kemanusiaan pihak pengelola dan pegawai di rumah sakit tersebut.
Bayangkan kalau dalam satu hari pasien meninggal itu masuk di angka 5-10 orang, bagaimana memandikannya?
Bagaimana kalau pasien-pasien di rumah sakit itu hendak buang air , sementara di kamar WC air tidak ada. Sungguh, ini benar-benar rumah bikin orang sakit tambah sakit.
Sanksi yang sama juga harus diberikan kepada dokter yang bertugas saat proses kelahiran Novi. Bupati harus mengambil langkah tegas, hentikan dokter itu dari jenis pelayanan apapun di RSUD dr. Hendrikus Fernandes Larantuka.
Bila perlu, Bupatinya meminta IDI untuk yang bersangkutan segera dibebastugaskan untuk sementara waktu dan segera dilakukan pembinaan dan berbenah diri.
Pembinaan ini penting, demi menyadarkan dokter tersebut bahwa satu nyawa itu teramat mahal nilainya. Tidak bisa dibayar dengan apapun, termasuk oleh jabatan yang melekat dalam diri sang dokter itu.
Jadi, pembenahan ini harus dilakukan secara menyeluruh agar mewujudkan pelayanan rumah sakit yang prima, mulai dari ketersediaan fasilitas yang memadai dan selalu siap kapan saja, juga SDM para nakes yang mumpuni.
Rumah sakit harus menjadi rumah yang nyaman bagi pasien. Saya percaya, lingkungan rumah sakit yang ramah akan membuat pasien sembuh sebelum diinfus.
Karena itu, kesadaran bahwa pekerjaannya sebagai dokter, perawat, bidan tidak sekadar profesi, tetapi sebagai panggilan pelayanan harus tumbuh dalam diri para nakes. Toh negara juga memberikan mereka upah yang layak.
Kedua, soal sanksi. Harus ada proses hukum untuk pihak RSUD dr. Hendrikus Fernandes Larantuka, utamanya nakes; dokter, bidan dan perawat yang menangani persalinan Novi dan bayinya.
Mereka harus bertanggung jawab secara hukum atas dua nyawa yang hilang dalam waktu bersamaan. Proses hukum ini penting ditegakkan agar tidak ada lagi Novi yang baru esok lusa.
Karena itu, publik harus mendorong agar kasus kematian Novi ini diselesaikan di lembaga hukum. Berharap sekali ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di NTT yang bisa membantu untuk hal ini.
Tujuannya, agar suami dan anak serta keluarga yang ditinggalkan Novi dan bayinya mendapatkan keadilan, meski nilainya tetap tidak seimbang.
Berikut, untuk memberi efek jera pada Nakes di Flores Timur dan NTT pada umumnya bahkan Indonesia, agar ke depannya mereka lebih hati-hati dan profesional dalam tugas.
Prinsipnya ialah, orang yang tidak terbiasa melaksanakan tugasnya dengan baik, harus dipaksakan agar dia melakukannya dengan baik. Kira-kira itu inti dari proses hukum tersebut.
Kalau ini dilakukan, ke depan angka kematian ibu dan bayi di Flores Timur berangsur turun. Data BPS menerangkan bahwa Flores Timur pada tahun tahun 2021 mencatat 6 kasus kematian ibu.
Trendnya naik 2022 sebanyak 9 kasus dan pada tahun 2021 kembali ke 6 kasus. Sementara kematian bayi jauh lebih tinggi, di tahun 2021 terdapat 45 kasus. Naik jadi 49 pada tahun 2022 dan kembali ke 45 kasus pada 2023.
Nakes yang Melayani
Dari kisah Novi ini saya kemudian “pergi” ke beberapa tempat di Indonesia. Pertama saya ke Yayasan Bumi Sehat yang ada di Bali. Sebuah Yayasan swasta yang sangat terkenal dalam melayani persalinan yang lembut, aman dan nyaman bagi bumil.
Mereka benar-benar melayani dengan sungguh, dengan hati. Mereka memperlakukan bumil itu dengan sangat istimewa. Mereka sadar betul bahwa bumil tak sekadar mewariskan keturunan tetapi juga melahirkan kehidupan baru di dunia.
Karena itu, dalam pelayanannya, mereka tidak mematok biaya bagi bumil. Mereka benar-benar melayani dengan penuh keikhlasan. Semua yang bersalin di sana bisa membayar sesuai kemampuan dan bahkan ada yang tidak membayar sama sekali.
Meski begitu, bumil tetap diberikan pelayanan yang prima. Jaminan persalinan yang lembut, aman dan nyaman berlaku untuk semua.
Hal Itulah mengapa banyak orang memilih melahirkan di sana, mulai dari kalangan kurang mampu hingga kalangan selebriti. Mereka pun datang dari berbagai tempat di Indonesia, termasuk nun jauh dari tanah Papua.
Karena memang di sana mereka (bumil) benar-benar diperlakukan dengan sangat baik. Mereka diberikan jaminan keamanan dan kenyamanan melalui pelayanan yang sangat prima. Ramah dan menyenangkan.
Dalam sebuah pernyataannya Robin Lim yang merupakan pendiri Yayasan Bumi Sehat itu menegaskan agar bumil harus melahirkan dalam keadaan aman dan diperlakukan dengan penuh kasih.
“Setiap napas pertama bayi di bumi adalah kedamaian dan kasih. Setiap ibu seharusnya sehat dan kuat. Setiap kelahiran harus aman dan penuh kasih. Tetapi dunia kita belum sampai ke sana,” ujar Robin Lim.
Semua rumah sakit, khususnya bagian persalinan mestinya harus belajar pada Yayasan Bumi Sehat ini. Menimba semangat pelayanan mereka.
Belajar melayani dengan sungguh, ramah terhadap bumil dan bayi yang akan menemukan kehidupan baru di dunia.
Mereka (Yayasan Bumi Sehat) bukan lembaga milik pemerintah. Mereka tidak digaji oleh negara, tetapi mereka bisa memberikan pelayanan terbaik kepada bumil. Padahal, kalau dipikir-pikir, mestinya itu menjadi tanggung jawab negara.
Setelah ke Yayasan Bumi Sehat, saya juga pergi ke “Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga” sebuah Novel karya Maria Matildis Banda, Novelis dan Akademisi bidang linguistik ternama NTT.
Di sana, saya menemukan Rosa Dalima, seorang Bidan yang biasa disapa Ros dan dokter Yordan yang tidak saja bekerja tetapi melayani dengan hati. Yang memperlakukan bumil dengan penuh kasih.
Tentu kita semua tidak bisa menjadi Robin Lim atau seperti Rosa Dalima dan dokter Yordan di “Wijaya Kusuma dari Nomor Tiga” tetapi paling tidak bisa mewarisi semangat melayani yang mereka miliki.
Dan saya sungguh yakin, kalau semangat yang ada pada tiga tokoh ini dimiliki semua Nakes di RSUD dr. Hendrikus Fernandes Larantuka, Novi dan bayinya tidak mati.
Akhirnya, selamat berbahagia untuk Novi dan selamat merawat, membesarkan bayi perempuanmu di Surga. Doakan suami dan anak lelakimu yang tak berhenti menanti adik perempuannya dalam rindu.
Untuk RSUD dr. Hendrikus Fernandes Larantuka dan semua unsur penyelenggara pemerintahan Kabupaten Flores Timur, selamat berbenah. Novi dan bayinya harus menjadi kunci yang membuka pintu menuju perubahan.
Sebagai perempuan yang peduli pada isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, saya mendorong dengan serius agar kasus ini dibawa ke ruang pengadilan demi perbaikan dan demi keadilan.
#JusticeforNoviandBaby
#RaportMerahRSUDFlotim