Transaksi Politik Gelekat: Memperkuat Posisi Masyarakat dalam Negosiasi Kegiatan Pembangunan Pasca Momen Pemilu  

289
Dr. Petrus Keron Ama

Buah pikiran Ama Rus Keron

Pesta Demokrasi 2024 sudah di depan mata, dan telah menjadi rahasia umum bahwa perhelatan tersebut identik dengan “permainan politik kotor” untuk merebut simpati/dukungan masyarakat melalui berbagai cara. Salah satu cara yang dilakukan untuk mendapat dukungan masyarakat/pemilih yaitu lewat pemberian uang, barang maupun program-program populis yang bersifat jangka pendek (Margret dkk, 2015, Ardiansa dkk, 2018, Narendra, 2020, Pagala, 2021).  Aktivitas politik melalui transaksi pemberian uang, barang ataupun janji kampanye yang fantastis ini merupakan salah satu alasan utama menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pesta demokrasi.

Kandidat yang menurut penilaian masyarakat memiliki rekam jejak baik, dan berkompeten, dapat dikalahkan dengan transaksi uang, barang dan janji kampanye yang hampir banyak tidak dapat terealisasikan. Sejumlah fakta lapangan juga mengindikasikan bahwa jenis transaksi politik seperti ini, tidak hanya semakin meningkatkan kelompok “golput” di masyarakat, tetapi juga telah melemahkan posisi tawar (bargaining position) masyarakat dalam melakukan negosiasi pembangunan yang bersifat urgen di wilayahnya. Meskipun demikian, praktik ini, disadari maupun tidak disadari, masih terus berkembang dan mengakar dalam realitas kehidupan masyarakat kita.

Tulisan ini, tidak bermaksud untuk saling menuding, siapa yang menginisiasi, siapa yang rugi atau untung dalam proses transaksi politik tersebut, tapi lebih sebagai salah satu upaya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Tulisan ini juga ingin mengajak masyarakat untuk lebih cermat melihat dan memahami pesan di balik transaksi politik tersebut, sehingga dapat secara selektif memutuskan yang terbaik dengan tetap bersandar pada nilai-nilai budaya Lamaholot-Flores Timur.

Melalui tulisan ini pula, Penulis ingin memperkenalkan konsep Transaksi Politik Gelekat, yang tidak hanya mengakar pada prinsip dan nilai-nilai budaya Lamaholot-Flores Timur, tetapi juga menempatkan masyarakat sebagai fokus dan tujuan utama dalam transaksi politik. Pemahaman terhadap konsep transaksi politik Gelekat ini diharapkan dapat menghilangkan antipati atau pesimisme masyarakat terhadap politik. Selain itu, dapat mengembalikan citra luhur politik yang sesungguhnya, yakni memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Mengawali tulisan ini, akan diuraikan konsep transaksi politik, yang akan membantu pembaca untuk lebih mudah memahami konsep Transaksi Politik Gelekat dan esensi yang terkandung di dalamnya.

Transaksi Politik Masyarakat

Berbicara mengenai transaksi politik, erat kaitannya dengan serangkaian kegiatan dan interaksi di dunia politik yang melibatkan pertukaran dukungan, informasi, sumber daya, dan kepentingan antara berbagai aktor politik. Dalam konteks tulisan ini, transaksi politik masyarakat dibatasi pada aktivitas politik antara masyarakat/pemilih dan para kandidat dalam menghadapi momen PEMILU.

Oleh karena itu, untuk memahami bagaimana berlangsungnya aktivitas politik antara kandidat dan masyarakat, kita perlu memahami tentang strategi elektoral yang biasa digunakan dalam PEMILU. Menurut Amalinda Savirani, Ph.D, salah satu dosen senior pada Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL Universitas Gadjah Mada (2018),  secara umum, ada 2 (dua) model strategi elektoral saat PEMILU. Pertama, pembelian suara dengan target individu (vote buying) melalui pemberian uang  atau barang dengan target jangka pendek. Kedua, pertukaran kepentingan secara kolektif dengan target jangka panjang, dimana masyarakat (tertentu) bersama-sama mengorganisasikan diri dan melakukan tawar menawar secara kolektif dengan kandidat (politisi). Dalam pandangan Stokes (2009) kedua model tersebut dilihat sebagai strategi politik non programatik dan strategi politik programatik.

Setidaknya menurut Penulis, terdapat empat perbedaan antara transaksi politik indiviudal (non programatik) dan transaksi politik kolektif (programatik). Empat perbedaan tersebut, dapat dilihat dari aspek manfaat, aspek wujud (bentuk), aspek cara pelaksanaan, dan aspek bargaining position (posisi tawar). Manfaat pada transaksi politik dengan target individual, hanya bersifat sementara/jangka pendek dan terjadi langsung pada masa PEMILU, sedangkan manfaat transaksi politik kolektif bersifat jangka panjang dan dapat berlangsung pasca PEMILU.

Dari aspek wujud (bentuk), transaksi politik individual berwujud material, baik uang maupun barang dalam bentuk lainnya, sementara dalam transaksi politik kolektif wujudnya lebih berfokus program/kegiatan. Dari aspek cara pelaksanaannya, transaksi politik individual lebih mengarah pada pola pendekatan person to person atau door to door (orang per orang atau dari pintu ke pintu), yang biasanya melibatkan perantara atau calo  dan tim sukses yang pada akhirnya membentuk suatu kelompok jaringan rente atau jaringan klientelisme yang berupaya untuk mendapatkan keuntungan dari proses transaksi politik tersebut.

Sedangkan, cara pelaksanaan dalam transaksi politik kolektif, dilakukan melalui pelibatan/partisipasi masyarakat, agar secara langsung dapat menyampaikan aspirasinya untuk pembangunan wilayah atau kampungnya (lewo) dan sekaligus ikut mengawasi  pelaksanaan pembangunan tersebut. Terakhir, dari aspek bargaining position, transaksi politik individual akan melemahkan daya tawar masyarakat dalam hal negosiasi kegiatan pembangunan yang bersifat urgen di wilayahnya, sedangkan transaksi politik kolektif masyarakat mempunyai daya tawar yang dapat mempengaruhi arah kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang bersifat urgen di wilayahnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa transaksi politik individual yang bersifat non programatik cenderung menguntungkan individu dan kelompok kecil tertentu, serta dapat menciptakan konflik kepentingan. Transaksi politik kolektif yang bersifat programatik, menekankan pada kepentingan kolektif masyarakat dalam suatu wilayah, yang nantinya akan bermuara pada pemerataan pemanfaatan hasilnya secara kolektif pula.

Pertanyaannya sekarang, seperti apa model konsep Transaksi Politik Gelekat? Bagaimana posisi Transaksi Politik Gelekat dalam menghadapi perhelatan PEMILU 2024? Mari kita cermati penjelasan berikut ini.

Model dan Posisi Transaksi Politik Gelekat dalam Menghadapi Momen PEMILU

Beberapa kajian sebagaimana disebutkan di atas, dan pengalaman empiris lainnya, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di Indonesia, lebih cenderung memilih transaksi politik individual yang bersifat non programatik. Padahal, tawaran transaksi politik non programatik ini, diketahui lebih memberikan  manfaat atau keuntungan, yang hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu. Keuntungan atau manfaat kolektif pada akhirnya dikorbankan, karena kandidat pemenang PEMILU merasa tidak mempunyai keterikatan lagi pasca perhelatan PEMILU. Berkaca dari kondisi ini, kita bertanya, bagaimana dengan kondisi di Flores Timur?

Hasil kunjungan Penulis bersama keluarga dari lewo ke lewo menemukan indikasi bahwa transaksi politik bersifat individual dan non programatik telah berlangsung cukup lama dan mengakar dalam realitas kehidupan masyarakat Flores Timur. Dalam dialog, ada dua pandangan yang berkembang menanggapi situasi ini, pertama melihatnya sebagai “peristiwa iman”, kedua, sebagai “peristiwa relasional (sebab-akibat)”. Mungkin saja masih ditambah pandangan yang lainnya. Namun, yang jelas transaksi politik non programatik telah berakibat pada terabaikannya upaya pembangunan untuk kepentingan kolektif (masyarakat). Kandidat (yang menang) cenderung mengambil posisi tidak peduli terhadap permasalahan aktual masyarakat dan bersifat urgen untuk dipenuhi. Kondisi inilah, yang menjadi tantangan bersama untuk mencari strategi yang tepat untuk mengatasinya. Paling tidak, untuk saat ini, dapat mengedukasi warga menjadi lebih peka, bagaimana mengalihkan transaksi politik individual, yang non programatik ke transaksi politik kolektif, yang programatik.

Transaksi politik Gelekat dapat menginspirasi untuk solusinya. Sebagaimana telah digambarkan dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Gelekat: Suatu Inspirasi Perilaku Politik dan Kepemimpinan Dalam Budaya Lamaholot-Flores Timur” seri 2 (https://www.delegasi.com; dan https://selatanindonesia.com)  bahwa ada 3 model Transaksi Politik Gelekat, yakni: (1) Gelekat sebagai Budi-adat: menjauhi perilaku politik yang cenderung memanfaatkan materi, terutama uang (money politic) untuk mempengaruhi pilihan warga; (2) Gelekat bukan politik Janji: secara politis, janji (bebas dan sepihak) tidak memiliki kekuatan mengikat apapun, apalagi belum/tidak mempunyai kewenangan; dan (3) Gelekat sebagai Media menjaga Hubungan Antarlewo:  keberadaan kandidat tidak hanya untuk dirinya, tetapi atas nama (mewakili) lewo maka ada kewajiban moril untuk “merawat” hubungan antarlewo atau lebih luas wilayah.

Mengacu pada model transaksi politik yang telah digambarkan di atas, maka Transaksi Politik Gelekat masuk dalam ketegori transaksi politik kolektif yang bersifat programatik. Transaksi Politik Gelekat menekankan pada kepentingan kolektif masyarakat, bersifat jangka panjang dan dapat berproses sejak tahapan pemilu  dimulai hingga pasca pemilu.

Dalam hal ini, Transaksi Politik Gelekat menawarkan mekanisme transaksi yang lebih memberi ruang kepada masyarakat dalam upaya pembangunan. Transaksi Politik Gelekat mensyaratkan adanya dialog interaktif-partisipatif yang dimulai di tingkat masyarakat, kemudian hasilnya dilanjutkan oleh kandidat. Melalui proses ini, akan terbangun setting sosial yang memungkinkan terciptanya pola komunikasi yang lebih rasional, relasi masyarakat dan kandidat juga bersifat resiprokal (timbal balik) dalam membicarakan kepentingan bersama antara masyarakat dan kandidat.

Di sini menjadi jelas bahwa  posisi Transaksi Politik Gelekat dalam menghadapi momen PEMILU mengarah pada upaya-upaya pemenuhan berbentuk program (programatik). Dalam praktiknya, kandidat perlu menempatkan masyarakat/pemilih sebagai mitra sehingga dia termotivasi untuk ikut berjuang dalam perumusan  kebijakan dan pengambilan keputusan distribusi dana pembangunan demi kepentingan yang bersifat kolektif (lewo atau yang lebih luas wilayah).

Memperkuat Posisi Warga Masyarakat dalam Kegiatan Pembangunan melalui Transaksi Politik Gelekat

Dalam memperkuat posisi masyarakat dalam pembangunan, Transaksi Politik Gelekat, diaktualisasikan melalui tiga model transaksi politik sebagaimana digambarkan di atas. Sebagai budi-adat, Gelekat membawa pesan untuk sedapat mungkin menjauhi relasi bisnis di dalam perilaku politik (hukum permintaan dan penawaran). Ibarat kita berbelanja di toko, dengan berakhirnya transaksi, berakhir pula rasa keterikatan antara pembeli dan penjual. Yang penting, pembeli sudah mendapatkan barangnya, dan penjual menerima sejumlah uang sesuai harga barang. Budi-adat dalam konteks ini, tentu saja tidak demikian. Budi-adat ditempatkan sebagai keutamaan yang melahirkan keterikatan dalam relasi antarmanusia (kandidat dan masyarakat).

Keterikatan mendorong tumbuhnya rasa memiliki dan berjuang membangun lewo atau wilayah sebagai wujud rasa hormat dan terima kasih terhadap lewo/wilayah. Hanya melalui cara ini, bukan hanya kandidat, tetapi juga masyarakat diingatkan untuk secara sukarela ikut berpartisipasi aktif memperjuangkan pembangunan lewo atau wilayah melalui momen PEMILU. Bukan mendahulukan kepentingan dan keuntungan pribadi.

Memaknai Gelekat bukan Politik Janji, dalam perwujudannya memberi ruang tumbuhnya dialog yang melahirkan komitmen bersama. Mewujudkan komitmen antara kandidat dan masyarakat, perlu dipikirkan mekanismenya agar mempunyai kekuatan mengikat. Banyak cara yang dapat dipilih, diantaranya dapat tertuang secara tertulis dalam “kontrak politik”, atau dalam bentuk “kesepakatan adat” yang dinilai mempunyai kekuatan mengikat secara sosial budaya. Melalui cara ini, masyarakat dapat diorganisasi dengan baik. misalnya oleh tokoh tertentu. Proses yang demikian akan mendorong terbentuknya pola relasi timbal balik antara kandidat dan masyarakat. Masyarakat juga dapat diajak berpikir rasional untuk memutuskan kebutuhan pembangunan lewo atau dalam cakupan wilayahnya secara tepat dan terencana.

Sejalan dengan itu, saya sepakat dengan usulan dari Margret dkk (2015) bahwa untuk mewujudkan komitmen bersama perlu menerapkan strategi TAHU-MAMPU-AWASI.  Masyarakat perlu mengorganisir diri untuk memetakan kepentingan mereka dan mengolahnya menjadi daftar usulan bersama (Tahu). Kemudian, masyarakat berupaya agar usulan bersama bisa diterima oleh kandidat, dan mengikat komitmen mereka untuk memenuhinya jika terpilih nanti (Mampu). Selanjutnya, masyarakat aktif melakukan pengawasan terhadap kandidat terpilih, agar memenuhi komitmen yang telah disepakati. Bahkan, dalam kondisi tertentu, masyarakat berhak mengingatkan kandidat terpilih jika kegiatan pembangunan yang disepakati belum terlaksana atau tidak terlaksana sebagaimana seharusnya (Awasi).

Transaksi politik Gelekat yang terakhir adalah memaknai Gelekat sebagai Media menjaga Hubungan Antarlewo. Model transaksi ini memberi makna bahwa keberadaan lewo tidak untuk lewo itu sendiri, tetapi ia menjadi bagian dari sebuah keseluruhan wilayah. Apakah wilayah itu berbentuk komunitas agama, atau berbentuk komunitas adat, atau berbentuk pemerintahan tergantung dari kesepakatan  warga. Di sini, kandidat perlu berperan sebagai fasilitator. Masyarakat perlu difasilitasi untuk melakukan perundingan-perundingan untuk memutuskan kebutuhan prioritas wilayah berdasarkan pilihan mereka sebagaimana disebutkan di atas.

Dalam implementasinya, dapat menggunakan strategi sebagaimana diuraikan di atas (TAHU-MAMPU-AWASI). Bersandar pada pola mekanisme seperti ini, kesenjangan sosial dan atau ekonomi antara wilayah sebagai konsekuensi dari terbatasnya dana pemerintah dapat diminimalisir. Kandidat pemenang pemilu, hendaknya menempatkan diri sebagai mitra, bahkan keluarga dari warga/lewo/wilayah yang telah berkontribusi untuk memenangkannya.

Akhirnya, apa yang diuraikan ini tentunya bukan hal baru bagi masyarakat Lamaholot-Flores Timur. Semuanya telah ada dalam lingkungan kehidupan kita. Kembali ke diri kita masing-masing. Semoga kita dapat menentukan pilihan transaksi politik yang tepat sehingga tidak mencederai integritas demokrasi ala Gelekat dalam budaya Lamaholot-Flores Timur. Dengan demikian, waktu yang diberikan selama + 5 menit dalam bilik suara, akan seimbang dengan hasil yang akan diperoleh masyarakat selama 5 tahun mendatang, jangan sebaliknya.*/) Salam Gelekat: Gerakan Melayani Lebih Dekat. Salus populi suprema lex (politik untuk kesejahteraan rakyat)

Center Align Buttons in Bootstrap