BOGOR,SELATANINDONESIA.COM – Satu lagi putra Adonara dari Desa Lamahala Jaya dikukuhkan menjadi Guru Besar. Namanya Prof. Burhanuddin Mas’ud. Ia dilahirkan di Desa Lamahala Jaya, Kabupaten Flores Timur, 21 November 1958.
Setelah tamat SMA Negeri 1 Kupang, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Peternakan Undana Kupang hingga tamat tahun 1982. Sejak tahun 1986 sampai sekarang tercatat sebagai staf pengajar dan peneliti tetap di Laboratorium Penangkaran Satwa Liar, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Pada tahun 1992 menyelesaikan program S2 di Program Pascasarjana IPB dengan mengambil program studi Biologi Reproduksi dengan tesis tentang aspek reproduksi dan genetik burung jalak ball (Leucopsar Rotischildiz). Beberapa penelitian tentang penangkaran burung sudah dilakukannya. Bukunya yang diterbitkan AgroMedia Pustaka yaitu Menangkarkan Cucakrawa
Dilansir dari Tribunbogor.com, Indonesia termasuk negara megabiodiversitas. Kekayaan hayati Indonesia ketiga terbesar di dunia, termasuk keanekaragaman satwa liarnya. Prof. Burhanuddin Mas’ud menyebut, kekayaan itu mesti dijaga kelestarian, keberadaan dan pengembangan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University, Kamis (21/9/2023), Prof Burhan mengulas pentingnya konservasi eksitu dan penangkaran sebagai strategi pengawetan dan pemanfaatan satwa liar berkelanjutan.
Sebagai contoh, beberapa spesies burung yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti jalak putih, kakatua raja, seringkali menjadi incaran untuk diburu di alam. Hal itu akan berpotensi mengancam kelestarian spesies di alam.
“Untuk menjamin kelestarian, selain dilakukan dengan konservasi insitu di habitat alaminya, untuk spesies yang laju pertumbuhan populasinya rendah dan kerusakan habitatnya tinggi, maka cara yang dilakukan adalah melalui konservasi eksitu dan upaya penangkaran di luar habitatnya,” ujar Prof Burhan.
Di samping itu, ia juga menjelaskan pendekatan untuk meningkatkan aktivitas reproduksi satwa di eksitu dapat dilakukan dengan pemanfaatan tumbuhan afrodisiak berbasis kearifan lokal untuk menstimulasi aktivitas reproduksi satwa. Afrodisiak merupakan makanan atau herbal yang diyakini dapat meningkatkan gairah seksual.
“Hasil percobaan kami bersama tim membuktikan bahwa pemberian kapsul bubuk daun sanrego (Lunasia amara) dan akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) berhasil menstimulasi libido seksual dan aktivitas perkawinan pada rusa timor jantan. Di samping itu, pemberian kapsul bubuk daun tabat barito (Ficus deltoidea Jack) dapat merangsang estrus (birahi) dan perkawinan pada rusa timor betina,” paparnya.
Di lain sisi, lanjut Prof Burhan, pengembangan konservasi eksitu dan penangkaran satwa liar sebagai bagian dari strategi konservasi biodiversitas, harus memperhatikan prinsip filosofi dan etika konservasi yang telah menjadi komitmen komunitas global.
Hal penting lainnya adalah prinsip etika dan kesejahteraan satwa (animal welfare and ethics)’ atau lazim dikenal dengan ‘lima hak kebebasan satwa’.
“Keberhasilan pengembangbiakan satwa di eksitu dan penangkaran juga telah terbukti berkontribusi positif terhadap perubahan status perlindungan lima jenis burung berkicau berubah menjadi jenis yang tidak dilindungi. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 106 tahun 2016, lima burung tersebut meliputi cucak rawa, kucica hutan/murai batu, jalak suren, anis-bentet kecil, dan anis-bentet sangihe,” tuturnya.
Selain itu, ia mengatakan bahwa keberadaan sejumlah lembaga konservasi dan unit-unit penangkaran satwa liar, khususnya di Indonesia juga memberikan kontribusi yang berarti, dari segi ekologis, sosial ekonomi dan budaya. ***Laurens Leba Tukan