“GELEKAT” Suatu Inspirasi Perilaku Politik dan Kepemimpinan dalam Budaya Lamaholot-Flores Timur (3)

190
Dr. Petrus Keron Ama

Buah pikiran Ama Rus Keron

 Untuk lebih memahami tulisan pada seri ini pembaca diharapkan telah membaca tulisan pada  seri 1 dan 2.

Berbicara tentang “Gelekat” sebagai basis kepemimpinan dalam budaya Lamaholot, sesungguhnya berbicara tentang kemampuan seorang pemimpin mengaplikasikan nilai-nilai Gelekat yang pada akhirnya akan menempatkan dirinya sebagai role model bagi orang lain. Oleh karena itu, mengawali tulisan ini, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu mengenai definisi dan tipe kepemimpinan menurut para pakar. Mengingat esensi Gelekat adalah melayani maka definisi dan tipe kepemimpinan yang saya pilih menjadi landasan pembahasan tentang kepemimpinan dalam budaya Lamaholot adalah definisi dan tipe  kepemimpinan menurut  Robert Greenleaf, yaitu servant leadership (kepemimpinan melayani).

Merujuk pada pandangan Robert Greenleaf tersebut maka seorang pemimpin harus terlebih dahulu menjadi pelayan sebelum melayani orang lain.  Melayani harus  menjadi panggilan jiwa sehingga pilihan ini secara sadar membawa seseorang untuk menjadi seorang pemimpin yang dapat melayani (lihat Nasarudin, 2022). Namun demikian, fakta menunjukkan, tidak semua pemimpin memiliki panggilan jiwa untuk melayani. Mereka lebih mengutamakan kekuasaan dalam menjalankan kepemimpinannya daripada menempatkan kesadaran melayani sebagai motivasi utama. Tipe pemimpin yang demikian ini lebih cenderung menempatkan dirinya sebagai bos, dan bukan sebagai pelayan (Botter dan Kolind, 2021).

Bagaimana nilai Gelekat mempengaruhi saya dalam perilaku sebagai seorang Pemimpin selama ini dan selanjutnya? 

Mengacu pada pengertian di atas, dalam tulisan ini, kepemimpinan melayani dipahami sebagai sebuah model kepemimpinan yang menempatkan tindakan melayani sebagai motivasi utama dalam menjalankan kepemimpinan. Kesadaran untuk melayani  menjadi titik pijak atau yang utama sebelum memotivasi orang lain melakukan tindakan Gelekat (melayani).

Dengan demikian, dalam konteks perilaku pemimpin, makna Gelekat lebih ditempatkan sebagai role model (menjadi teladan). Sebagai role model, misalnya, jika menghendaki orang beretika maka pemimpin harus memperlihatkan tindakan yang beretika terlebih dahulu, atau ketika menghendaki orang disipilin maka pemimpin harus memperlihatkan  sikap disiplin terlebih dahulu (memberikan contoh), dan seterusnya.

Gambaran ini menegaskan bahwa kekuatan utama pemimpin sebagai role model terletak pada  karakter (nulu walen melan senareng). Nulu walen melan senareng yang merupakan basis nilai-nilai itu menjadi ciri khas dan terus menerus nampak dalam diri sebagai pribadi sehingga lama kelamaan akan mempengaruhi cara bersikap, bertindak, tutur kata, dan pola pikir bagi orang lain.

Mempertimbangkan nulu waleng sebagai kekuatan utama maka dalam setiap kunjungan ke desa-desa, saya selalu mengatakan penting untuk mengenal saya secara langsung. Tujuannya tentu agar masyarakat dapat mengenal dan mengetahui nulu waleng serta rekam jejak saya sebagai pemimpin selama memegang tugas-jabatan dalam profesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Saya dalam menjalankan tugas kepemimpinan sebelumnya, mengedepankan beberapa prinsip yang secara pribadi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri saya, antara lain :

Pertama, Integritas diri

Menurut saya, integritas diri merupakan unsur utama bagi seorang pemimpin dalam menggerakkan organisasi. Integritas yang saya maksudkan adalah ciri dan tindakan tertentu yang dijalankan secara konsisten oleh seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya. Tentu pertanyaannya menjadi, ciri dan tindakan tertentu mana yang berkontribusi pada integritas diri bagi seorang pemimpin?

Banyak aspek yang mendukung integritas diri, namun dari sekian banyak aspek, saya lebih menekankan pada aspek nilai kejujuran dan beretika. Bagi saya, kedua nilai ini merupakan basis utama dalam membentuk integritas diri seseorang. Kejujuran, berkaitan dengan keterbukaan dalam menyampaikan sesuatu sesuai fakta yang ada, sedangkan beretika, berkaitan dengan nilai etis dalam sikap, tindakan dan tutur kata. Bersikap jujur dan etis merupakan basis untuk membangun sekaligus menjaga hubungan/relasi antarindividu, kelompok dan masyarakat. Dalam konteks tugas, kejujuran dan beretika akan  mempengaruhi pola komunikasi dan relasi antara pimpinan dan staf yang lebih terbuka, saling menghargai dan dapat menerima masukan/kritikan dari yang lain.

Dengan demikian,  bagi saya, kejujuran dan beretika akan menghasilkan energi positif yang dapat meningkatkan rasa saling percaya dan saling menghargai antara pimpinan dan staf. Kedua rasa ini berpotensi mendorong suatu tindakan atau gerakkan bersama dalam komunitas kerja dan atau suatu perubahan terhadap motivasi kerja individu.

Kedua, Kekuasaan bukan yang utama

Dalam birokrasi pemerintahan, posisi/jabatan yang melekat pada diri seseorang dengan sendirinya menegaskan kekuasaan yang dimiliki orang tersebut. Yang dimaksudkan dengan kekuasaan bukan yang utama adalah kekuasaan yang melekat pada diri namun tidak memunculkan tindakan sewenang-wenang dalam menjalankan kepemimpinan. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinan harus didominasi oleh suatu kesadaran bahwa dirinya bukan penguasa yang seharusnya mendapatkan prioritas dalam segala bentuk pelayanan. Kekuasaan juga bukan dimaksudkan sebagai jalan untuk mendapatkan “sesuatu” yang bukan haknya dan atau dapat melakukan “sesuatu” yang tidak sesuai dengan wewenang/aturan.

Hal ini, membuat saya sebagai pemimpin belajar untuk tidak mengutamakan kekuasaan atau posisi dalam menghadapi berbagai dinamika yang terjadi di lapangan. Bagi saya, pemimpin yang tidak mengandalkan kekuasaan akan lebih menghargai dan menghormati orang lain termasuk staf, bukan karena status sosial yang dimiliki, tetapi lebih karena dirinya sebagai manusia.  Dengan demikian, staf akan dipandang dan ditempatkan sebagai mitra kerja yang sejajar sehingga staf akan merasa lebih dihargai serta nyaman dalam melaksanakan tugas-fungsinya. Menurut pengalaman saya, cara seperti ini, ternyata jauh lebih efektif untuk mendorong tumbuhnya kreatifitas dan inovasi staf dalam bekerja.

Intinya, hendak menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah yang utama bagi seorang pemimpin. Kekuasaan juga bukan satu-satunya tolok ukur tingkat kewibawaan seorang pemimpin, namun lebih pada nulu waleng (karakter) seorang pemimpin yang diperlihatkan secara konsisten dalam menjalankan kepemimpinannya.

Ketiga, terkait dengan Budaya kerja: membangun nilai bersama

Sejatinya, nilai dan komitmen bersama merupakan hal pokok yang menggerakkan roda organisasi untuk mencapai tujuan organisasi atau dengan kata lain visi dan misi organisasi. Nilai dan komitmen bersama itu dapat dirumuskan dalam wujud  Budaya Kerja Organisasi. Melalui budaya kerja tersebut akan terbangun kesamaan berpikir, bersikap dan bertindak dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan organisasi  yang tentunya akan berdampak pada tampilan/performance dan produktivitas organisasi secara umum.

Saat ini, hampir di semua organisasi, baik pemerintah maupun non pemerintah tentu memiliki budaya kerja sebagai nilai bersama dalam bekerja. Demikian pula,  saat saya masih menjadi pimpinan pada instansi BPSDMD Prov NTT, budaya kerja organisasi mengacu pada spirit PRIMA. PRIMA adalah akronim dari: Profesional dalam bidang tugas (dalam pengembangan SDM), Responsif terhadap tugas pelayanan, Inovatif dalam mengelola perubahan, Mutu sesuai standar, dan Akuntabilitas dalam pertanggungjawaban.

Faktanya, tidak mudah membangun sebuah nilai untuk menjadi acuan bersama sebagai budaya kerja organisasi dengan latar belakang dan pemahaman beragam. Namun, paling kurang melalui proses membangun nilai bersama yang menjadi budaya kerja tersebut dapat mempengaruhi motivasi dan nilai kerja dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab. Tujuan utama dari membangun budaya kerja organisasi, agar setiap orang memiliki spirit dan motivasi yang sama dalam bekerja sehingga dapat memberikan perubahan terhadap kualitas pelayanan. Perubahan inilah yang kemudian akan mendorong peningkatan terhadap produktivitas kerja.

Berdasarkan tiga (3) prinsip tersebut di atas, saya kemudian mempertimbangkan pentingnya membangun pola kepemimpin yang berbasis pada nilai budaya lokal, yaitu Gelekat.  Berkenaan dengan itu, ada 2 hal penting yang menurut saya perlu ditumbuhkembangkan dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintah di lingkup pemerintahan Kab Flores Timur:

  1. Gelekat sebagai nilai bersama dalam meningkatkan produktivitas kinerja. Gelekat (Gerakan Melayani Lebih Dekat) akan dijadikan sebagai spirit utama dalam membangun budaya kerja di lingkup pemerintahan Kab. Flotim. Hal ini sebagai salah satu upaya untuk mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik dan kinerja birokrasi. Untuk itu, perlu menanamkan spirit Gelekat dalam diri aparatur penyelenggara pemerintahan, khususnya ASN sehingga menjadi seorang pelayan publik yang berkompeten.
  2. Optimalisasi peran Adat, Agama dan Pemerintah dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Ketiga unsur yang merupakan “tiga batu tungku” dalam penyelenggaraan pemerintahan ini perlu saling bersinergi dalam tugas dan perannya secara proporsional sehingga dapat mewujudkan capaian kinerja reformasi birokrasi demi peningkatan kualitas pelayanan publik di Kab. Flores Timur.

Akhirnya, secara pribadi saya berterima kasih kepada para pemimpin sebelumnya (melalui proses pemilu) karena telah membangun dan meletakkan fondasi penyelenggaraan pemerintahan hingga saat ini. Namun kita juga harus mengakui bahwa masih banyak pembenahan yang mesti dilakukan ke depannya. Mari kita bergandengan tangan mendorong dan memberi ruang kepada pemimpin untuk terus berbenah membangun penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik. Lebih baik dalam arti  mencakup pula nilai-nilai lokal sebagai salah satu cara menumbuhkan model kepemimpinan berbasis budaya Lamaholot-Flores Timur demi kesejahteraan masyarakat Flores Timur.*/ Salam Gelekat (Gerakan Melayani Lebih Dekat ). Salus populi suprema lex (politik untuk kesejahteraan rakyat)

Center Align Buttons in Bootstrap