“GELEKAT” Suatu Inspirasi Perilaku Politik dan Kepemimpinan dalam Budaya Lamaholot-Flores Timur (2)

168
Dr. Petrus Keron Ama

 Buah pikiran Ama Rus Keron

Untuk lebih memahami tulisan pada seri 2 ini pembaca diharapkan telah membaca tulisan pada seri 1.

Mengawali pembahasan ini, saya menyinggung sedikit pengertian politik dan perilaku politik agar kita memiliki pemahaman yang sama. 1) Politik: beragam pengertian, namun menurut saya pengertian politik yang lebh mendekati makna Gelekat adalah pengertian klasik tentang politik dari Aristoteles. Menurut Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Yang menjadi soal saat ini adalah nilai politik yang mulia ini cenderung dipersepsikan sebagai permainan “kotor” akibat perilaku politik para aktor tertentu. 2) Perilaku Politik: terdapat juga beragam pengertian. Akan tetapi, saya memilih pengertian Perilaku Politik yang dipahami sebagai perilaku individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik (Sobolim, 2013). Dalam konteks tulisan ini, yang saya soroti adalah pilihan perilaku politik individu (aktor).

Terkait dengan itu, perilaku politik aktor dapat dikaji atau didiskusikan  dari sudut pandang Teori Tindakan Sosial (Max Weber). Tindakan sosial ini dapat diketahui dalam beberapa tipe, antara lain: tindakan yang ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan yang dapat dicapai, tindakan yang didasari oleh keyakinan terhadap nilai tertentu seperti etika, agama, budaya dan lain-lain, dan yang terakhir berdasarkan pada kepribadian  aktor (dalam Hamid, 2020)

Bagaimana “Gelekat” menginspirasi Perilaku Politik saya?

Jika mengacu pada teori di atas, maka Gelekat yang memiliki  esensi melayani sebagaimana telah diuraikan pada seri sebelumnya merupakan bagian dari perilaku politik saya dalam wujud tindakan sosial. Meskipun demikian, faktanya, faktor kepribadian (diri menjadi titik pijak) menjadi kunci dalam melakukan tindakan Gelekat atau melayani.

Salah satu karakter yang diperlukan  untuk dapat melayani dengan baik yaitu harus memiliki nulu walen melan senareng (karakter baik).  Karena itu, berbicara Gelekat dalam konteks perilaku politik maka makna Gelekat dalam posisi ini harus ditempatkan sebagai budi-adat. Artinya, perilaku Gelekat harus memberikan efek aksi timbal balik yang positif antara aktor dan masyarakat dengan tetap berpijak pada nulu walen melan senareng.

Nulu walen melan senareng yang ada dalam diri saya telah terbentuk dan terus bertumbuh melalui suatu proses pembelajaran yang panjang. Nilai ini, merupakan penjabaran dari Gelekat (budi-adat) yang dapat memunculkan perilaku yang  menjunjung tinggi nilai budaya Lamaholot-Flores Timur (Adonara). Perilaku tersebut tampak dalam sikap, tingkah laku bahkan tindakan yang beretika, tegas, berintegritas, melakukan sesuatu tanpa pamrih, tidak menyebarkan fitnah.

Oleh karena itu, dalam pembahasan untuk mengklarifikasi pertanyaan di atas, saya mencoba menguraikannya secara konkrit dalam 2 (dua) aksi nyata dari Gelekat yang saya jabarkan sebagai “Gerakan Melayani Lebih Dekat”.

  • Menyapa Masyarakat dari Dekat

Aksi pertama dari Gelekat adalah menyapa masyarakat dari dekat. Yang dimaksudkan menyapa masyarakat dari dekat tidak hanya sekedar melakukan kunjungan ke desa-desa. Tetapi, yang jauh lebih penting adalah melihat dari dekat kondisi wilayah, menemu-kenali permasalahan dan potensi-potensi wilayah yang dapat dikembangkan, serta mendengarkan harapan-harapan masyarakat. Bagi saya, melihat, mendengarkan dan berdialog dengan masyarakat merupakan suatu langkah menerima mandat dan kepercayaan secara langsung dari masyarakat.

Bagi masyarakat, aksi ini dapat memberi ruang, minimal untuk lebih mengenal pribadi dan rekam jejak saya sebagai salah satu Bakal Calon Bupati Flores Timur 2024. Mengenal pribadi, dapat diamati melalui cara berkomunikasi pada saat merespons permasalahan dan keinginan yang disampaikan masyarakat. Untuk rekam jejak dapat ketahui dari penyampaian riwayat pekerjaan dan pengalaman-pengalaman lain. Masyarakat juga dipersilahkan untuk berkomunikasi dengan sahabat-kenalan ataupun keluarga yang mungkin saja mengenal dari dekat saya pada saat berkarir sebagai seorang PNS. Hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam menentukan pilihan sekaligus juga mendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat.

Inti menyapa masyarakat dari dekat berdasarkan apa yang saya alami dan temukan di lapangan adalah saya dapat ikut merasakan apa yang dialami masyarakat dan bagaimana saya mengulurkan tangan untuk menggapainya melalui disain visi-misi pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam proses inilah, saya dan masyarakat dapat saling memberikan energi, pencerahan, penguatan, dan dukungan. Yang paling penting bagi saya sebagai anak Lamaholot adalah mendapatkan energi kekuatan alam, leluhur dan lewotana tempat saya menginjakan kaki. “…Koda lewo nae kame hodiro maan lango gere…”, demikian inti jawaban orang tua Adat di setiap lewo tempat kami berkunjung.

Pada akhirnya saya selalu berpesan: “Goe koon keluarga beto ketok pita, sedan uli alan pi lewo… Go ulik  hapo hala, amak orang tua, nimun nahma melan senareng wahan kae, ake gelupan moon nek…”

Melalui proses ini, Gelekat dalam konteks budi-adat diharapkan akan mendorong munculnya perilaku saling “memberi-menerima” keadaan masing-masing seperti yang dilihat, yang dirasakan dan didiskusikan untuk mencapai pemahaman menuju langkah solusi melalui aksi bersama.

  • Membangun Komitmen “Gelekat sebagai Transaksi Politik”

Aksi kedua dari Gelekat adalah membangun komitmen “Gelekat sebagai Transaksi Politik”. Sebagai suatu bentuk transaksi politik,  Gelekat yang dimaksud sangat bergantung pada Onek, yang dalam bahasa Lamaholot dapat dilengkapi menjadi Gelekat Kaan Onek. Artinya, melayani dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Kata Onek saya pahami sebagai hati nurani. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) hati nurani diartikan juga sebagai perasaan hati yang sedalam-dalamnya. Mengacu pada konteks budi-adat, perilaku politik saya lebih berlandaskan pada pertimbangan hati nurani. Jauh dari hitung-hitungan matematis, namun tetap mengacu pada pertimbangan rasional.

Berdasarkan kondisi lapangan, Gelekat sebagai transaksi politik yang berlandaskan pada hati nurani, dapat saya kategorikan dalam 3 (tiga) model yaitu :

Model pertama,  Gelekat sebagai budi-adat;  Penekanan pada model ini adalah menjauhi perilaku politik yang cenderung memanfaatkan materi, terutama uang (money politic) untuk mempengaruhi individu dalam menentukan pilihannya. Dalam kondisi ini, Gelekat akan mendorong kita untuk mempertahankan harga diri baik sebagai pribadi maupun secara Lewo. Jika ada tekanan pihak tertentu melalui politik uang maka kita harus dapat menahan diri untuk tidak menerima uang dalam bentuk apapun. Harga diri dan pembangunan wilayah (lewotana) menjadi taruhan hanya karena sejumlah rupiah. Kepentingan individu tidak boleh menghambat kepentingan lewotana. Politik uang bisa menghancur impian kelompok masyarakat (desa, kecamatan) untuk meraih perubahan masyarakat karena setelah oknum menerima uang dan memenangkan calon tertentu maka peluang Gelekat sebagai budi-adat untuk kepentingan wilayah menjadi kecil, jika tidak dikatakan terabaikan.

“…kalau lewuk tanhak gelekat goe dan menang dalam perhelatan Pemilu Kada Flotim 2024 jadi Bupati maka goe balik gelekate (lewo) kaan program. Doi goen take…”. Sama juga dengan Tim keluarga, pana lodo gere gelekat goe saat ini, goe akan balik gelekat ke lewo, bukan orang per orang.

Model kedua, Gelekat bukan politik janji; Hampir ke semua lewo yang saya kunjungi, memiliki kesamaan informasi yaitu para aktor politik yang datang senang dan sering mengumbar janji. Memang, tidak dapat kita pungkiri bahwa Politik dan Janji merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Sebuah janji, mudah diucapkan hanya sekedar untuk menyenangkan hati dan telinga, namun “janji”  tersebut belum tentu merupakan sebuah “komitmen” dari para aktor politik. Sehingga secara politis, janji tidak memiliki kekuatan yang dapat menuntut seseorang untuk memenuhi janji tersebut. Apalagi jika janji yang diucapkan itu bukan dalam kewenangannya saat itu.

“…Saya mencatat semua permasalahan, kebutuhan  dan potensi-potensi wilayah yang disampaikan. Saya tidak menjanjikan apa-apa. Saya akan mempelajarinya dengan baik, dan merumuskannya dalam visi-misi. Jika saya terpilih maka saya berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan yang ada sesuai dengan kebutuhan masyarakat …”

Dalam konteks perilaku politik Gelekat, saya lebih memilih  tidak menggunakan kata “janji” karena kata ini menurut saya pribadi memiliki konsekuensi yang cukup berat. Apalagi jika disampaikan di hadapan Lewotana, didengar oleh Alapet Rera Wulan dan Leluhur serta disaksikan oleh masyarakat. Oleh karena itu, bagi saya menjanjikan sesuatu sesungguhnya membebani diri karena berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat. Politik yang mengutamakan “janji-janji” agar terpilih justru akan menuai penolakan bahkan ketidak percayaan masyarakat ketika janji itu tidak dapat dipenuhi.

Model ketiga, Gelekat sebagai media menjaga hubungan antarlewo; Dalam konteks ini  sebenarnya lebih pada upaya membangun dan merawat relasi antarlewo, yakni lewo saya dan lewo yang saya kunjungi bersama Tim keluarga. Belen Lewo saya atau yang mewakili selalu mengawalinya dengan: “…kame beto toinne mete koda lewo naen…bukan koda Rus Keron naen…”. Makna penyampaian ini sebenarnya adalah memohon dukungan lewo agar dapat menjadi Calon Bupati Flotim 2024 dan semoga terpilih. Hal ini menjadi penanda dimulainya suatu hubungan antarlewo dalam ruang politik. Karena itu, hubungan antarlewo ini perlu dijaga dengan baik dalam situasi apapun.

“…Goe koon keluarga beto leta neten ke lewo untuk dukung goe menjadi Calon, dan mudah-mudahan terus melangkah menjadi Bupati…maka goe harus jaga hubungan lewo papa rua kae supaya akene medo, hubungan melan senareng amun…”, ungkap saya di setiap pertemuan.

Dengan demikian perilaku politik Gelekat yang saya jalankan terwujud dalam perilaku politik yang beretika, bermartabat, beritegritas dan merawat relasi yang harmonis antara lewo, alam dan leluhur. Dalam konteks kewilayahan Flores Timur adalah juga lewotana, maka semua relasi harus tetap dalam sebuah keharmonisan.

Dalam menarasikan ketiga model ini, saya berharap akan lebih mudah mendorong partisipasi lewo dan masyarakat dalam pembangunan. Lewo dan masyarakat merupakan subjek utama dalam pembangunan dengan spirit Gelekat: Gerakan Melayani Lebih Dekat “dari, oleh dan untuk kita”.

Sebagai anak Lamaholot yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi budaya Lamaholot-Flores Timur, saya percaya bahwa Alapet Rera Wulan, Leluhur dan Lewotana akan memberi jalan dengan caranya sendiri untuk terus melangkah mengikuti perhelatan Pemilu Kada Flotim 2024.*/) Salam Gelekat: Gerakan Melayani Lebih Dekat. Salus populi suprema lex (Politik untuk Kesejahteraan Rakyat)

 

Center Align Buttons in Bootstrap