KALABAHI,SELATANINDONESIA.COM – Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI melalui tim Direktorat Indikasi Geografis (IG)pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) melakukan pengawasan terhadap Indikasi Geografis Terdaftar Tenun Ikat Alor (APTIA) dan Tenun Songket Alor (APTSA).
Tim tersebut terdiri dari DR. Mariana Molnar Gabor Warokka, SH, MH dan Ir. Tri Reni Budiharti. Keduanya merupakan Tim Ahli Indikasi Geografis yang didampingi Zenni Mardatillah, SP, staf pada DJKI. Juga Dra. Dientje E. Bule Logo, SH, M.Si, Analis Hukum Ahli Madya pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Timur.
Sejak 26 – 29 Juli 2023, tim melakukan kegiatan pengawasan pada beberapa titik Sentra Tenun yang tersebar di kabupaten Alor. Sentra itu menyebar di pulau-pulau dan etnis. Dalam Dokumen Deskripsi, kegiatan tersebut bertujuan untuk mengevaluasi kegiatan APTIA dan APTSA pasca diterbitkannya Sertifikat Indikasi Tenun Ikat Alor tanggal 21 Januari 2020 dengan nomor ID G 000000076 dan Sertifikat Tenun Songket Alor 21 Januari 2020 Nomor ID G 000000077.
Pada 26 Juli 2023, Tim berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian Kabupaten Alor yang diterima langsung oleh Kepala Dinas, H.A. Miran, SP.MM. Membuka dialog, Tri Reni Budiharti menyampaikan agar Dinas Perindustrian selaku leading sector mengawal keberlanjutan Sertifikat melalui program pemberdayaan yang berkesinambungan.
“Sesuai dengan aturan maka Kementerian Hukum dan HAM bersama Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Timur, wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Indikasi Geografis Terdaftar secara berkala dua tahun sejak diterbitkannya Sertifikat,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan, pengawasan terkait Wilayah Indikasi Geografis Tenun yang tersebar pada pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut tentunya membutuhkan strategi agar informasi dan pelayanan yang diberikan dapat tepat sasaran. Aspek Kelembagaan apakah sudah berjalan sesuai dengan peran masing-masing, mulai Keanggotaan apakah sudah memiliki Kartu Anggota Kode Keterunutan, Proses Produksi, Pengawasan Mutu, Pembukuan, Pemasaran, pertemuan antara pengrajin. Pembinaan Internal maupun Eksternal, bagaimana akses permodalan dan koordinasi dengan Lembaga keuangan serta perbankan.
Sedangkan Mariana mengingatkan terkait penggunaan Logo Produk dan Logo Nasional dalam kemasan dan pemasaran produk.
Dientje menekankan pada aspek Karakteristik yang menjadi Tanda atau penciri yang wajib terdapat pada setiap lembaran Kain Tenun Ikat yaitu Kaegenokeng Alor dan Moko pada setiap Kain Tenun Songket Alor.
“Apabila tidak terdapat Karakteristik tersebut maka tidak dapat disebut sebagai Tenun Ikat Alor dan Tenun Songket Alor,” ujarnya.
Dengan adanya pelindungan Hukum ini, lanjut Dientje, maka semua mekanisme rangkaian kegiatan Proses Produksi, Pemasaran harus melalui Masyarakat Perlindungan Indikasi Tenun yaitu APTIA dan APTSA, dan terkait tempat menenun hanya dilakukan di tempat yang tercantum dalam dokumen Deskripsi terutama pada Peta Wilayah Sebaran. Hal ini untuk memudahkan Pengawasan dari penggunaan oleh pihak yang tidak berhak tanpa ijin dari Asosiasi. Oleh karena itu menjadi Urgen untuk mensosialisasikan Dokumen Deskripsi kepada Anggota.
Miran menyampaikan, sesuai dengan anggaran yang ada telah memfasilitasi Pengrajin Tenun dengan menyediakan benang dan dalam berbagai event Pameran di tingkat kabupaten hingga mancanegara walaupun belum sesuai yang diharapkan oleh karena keterbatasan anggaran. Dengan adanya pengawasan ini akan menjadi Pedoman dalam Menyusun Strategi Pembinaan dan pemberdayaan selanjutnya, sesuai petunjuk dan Dokumen Deskripsi.*/)web.ntt.kemenkumham.go.id
Editor: Laurens Leba Tukan