Oleh Dr. Frits Oscar Fanggidae, MSi, MEP – Dosen FE – UKAW dan Local Expert pada Kanwil Perbendaharaan Negara – NTT
Ketahanan Pangan NTT menunjukkan penguatan pada pilar ketersediaan pangan, tetapi masih dibayangi kerentanan tinggi pada pilar keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Artinya, ketersediaan bahan pengan semakin baik, tetapi masyarakat belum mampu menjangkau dan memanfaatkannya dengan baik. Dengan demikian problematik utama ketahanan pangan di NTT terletak pada sisi permintaan (demand side).
Konsepsi ketahanan pangan di Indonesia dibangun di atas 3 (tiga) pilar, yaitu: Ketersediaan, Keterjangkauan dan Pemanfaatan Pangan. Ketersediaan pangan berkaitan dengan sisi penawaran; sementara keterjangkauan dan pemanfaatan pangan, berkaitan dengan sisi permintaan. Selanjutnya, didalam pengukuran ketahanan pangan, digunakan Indeks Ketahanan Pangan (IKP), yang terdiri dari 9 (sembilan) indikator yang diderivasi dari 3 (tiga) pilar ketahanan pangan.
Pilar Ketersediaan Pangan, meliputi produksi pangan domestik, stok/cadangan pangan dan ekspor-impor pangan. IKP menggabungkannya menjadi 1 (satu) indikator, yaitu Rasio konsumsi normatif terhadap produksi bersih beras, jagung, ubi jalar dan ubi kayu, serta stok beras pemerintah daerah. Indikator ini menekankan pada konsumsi, produksi dan stok pangan.
Pilar Keterjangkauan Pangan, meliputi distribusi, stabilisasi pasokan dan harga, sistem logistik, manajemen stok, daya beli masyarakat, serta akses terhadap pasar dan informasi. IKP menggabungkannya menjadi 3 (tiga) indikator, yaitu persentase penduduk dibawah garis kemiskinan, persentase RT dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65% terhadap total pengeluaran, dan persentase RT tanpa akses listrik. Ketiga indikator ini menekankan pada aspek pendapatan dan dayabeli masyarakat.
Pilar Pemanfaatan Pangan, meliputi perbaikan pola konsumsi, penganekaragaman konsumsi, perbaikan gizi, serta keamanan dan mutu pangan. IKP mengembangkannya menjadi 5 (lima) indikator, yang terdiri dari 3 (tiga) indikator penyebab (Rata-rata Lama Sekolah Perempuan di atas 15 tahun, Persentase RT tanpa akses ke air bersih dan Rasio Jumlah Penduduk per Tenaga Kesehatan terhadap Tingkat Kepadatan Penduduk; dan 2 (dua) indikator hasil (Persentase Balita Stunting dan Angka Harapan Hidup pada saat lahir). Indikator penyebab menekankan pada aspek pengetahuan, sarana (air bersih) dan layanan kesehatan untuk mencapai hasil berupa menurunnya persentase Balita stunting dan meningkatnya angka harapan hidup pada saat lahir.
Merujuk pada publikasi Indeks Ketahanan Pangan (IKP) 2021 (Badan Ketahanan Pangan – Kementerian Pertanian), IKP di cut-off menjadi 6 (enam) prioritas secara berjenjang: wilayah dengan prioritas 1-3 mencerminkan kerentanan pangan tinggi, dan prioritas 4-6 mencerminkan wilayah dengan ketahanan pangan yang semakin baik. Gambaran kinerja ketahanan pangan 22 Kabupaten/Kota di NTT tahun 2021 dapat diringkas sebagai berikut:
- Pilar Ketersediaan Pangan: 1 (satu) kabupaten memiliki kerentanan ketersediaan pangan yang tinggi (prioritas 1-3) dan 21 Kab/Kota memiliki ketahanan ketersediaan pangan yang semakin baik (prioritas 4-6).
- Pilar Keterjangkauan Pangan: 12 Kabupaten memiliki kerentanan keterjangkauan pangan yang tinggi (prioritas 1-3) dan 10 Kab/Kota memiliki keterjangkauan pangan yang semakin baik (prioritas 4-6).
- Pilar Pemanfaatan Pangan: 11 Kab/Kota memiliki kerentanan pemanfaatan pangan yang tinggi (prioritas 1-2) dan 11 Kab memiliki kemampuan pemanfaatan pangan yang semakin baik (prioritas 4-6).
Sisi penawaran (ketersediaan pangan) secara keseluruhan semakin membaik. Hanya satu kabupaten yang perlu mendapat perhatian. Pada sisi permintaan, permasalahan cukup menonjol pada pilar keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Menggunakan komposit IKP sebagai acuan, fokus penanganan pilar keterjangkauan pangan perlu diberikan pada peningkatan pendapatan penduduk miskin dan perluasan akses listrik bagi mereka. Sementara penanganan pilar pemanfaatan pangan, perlu diberikan pada indikator penyebab, yaitu peningkatan pengetahuan penduduk kelompok perempuan usia 15 tahun ke atas, penambahan jumlah tenaga kesehatan dan perluasan akses terhadap air bersih. Hasil yang diharapkan adalah dalam jangka pendek persentase balita stunting menurun dan dalam jangka menengah angka harapan hidup pada saat lahir meningkat.
Pendekatan lain untuk memahami permasalahan sisi permintaan, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi substansi pilar keterjangkauan dan pemanfaatan pangan yang tidak digunakan sebagai komposit IKP. Melalui pendekatan ini, penanganan pilar keterjangkauan pangan, hendaknya fokus pada perbaikan sistem distribusi pangan, stabilisasi pasokan dan harga (rantai pasok dan inflasi), sistem logistik dan manajemen stok pangan, serta akses terhadap pasar dan informasi. Selanjutnya, penanganan terhadap pilar pemanfaatan pangan, hendaknya fokus pada perbaikan pola konsumsi, penganekaragaman konsumsi, perbaikan gizi, serta keamanan dan mutu pangan.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, Pemerintah Provinsi NTT telah menetapkan 11 Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan 2020-2023. Secara keseluruhan, strategi tersebut memberi perhatian yang sangat besar pada pilar ketersediaan pangan; sementara pilar keterjangkauan dan pemanfaatan pangan relatif kecil. Selain itu, implementasi 11 strategi tersebut belum didukung alokasi anggaran yang memadai. Tahun 2020, fokus pada pilar ketersediaan pangan, dengan realisasi APBD sebesar Rp. 1,998 milyar dan APBN sebesar Rp. 1,514 milyar. Tahun 2021, fokus pada pilar ketersediaan pangan, dengan realisasi APBD sebesar Rp. 577,92 juta dan APBD sebesar Rp. 13,756 milyar. Pada tahun 2022, fokus pada pilar ketersediaan dan pemanfaatan pangan, dengan realisasi APBD sebesar Rp. 1,209 milyar dan APBN sebesar Rp. 1,007 milyar. Pada tahun 2023, dianggarkan melalui APBD sebesar Rp. 662 juta untuk pemanfaatan pangan.
Selanjutnya, realisasi anggaran ketahanan pangan di NTT yang bersumber dari APBN di NTT tahun anggaran 2022 mencapai Rp. 1,254 trilyun, dan Rp. 994,253 milyar (79,26%) digunakan untuk penanganan pilar keterjangkauan (distribusi) melalui belanja modal jalan; dan penanganan pilar ketersediaan pangan melalui belanja modal irigasi dan jaringan. Alokasi anggaran yang kuat untuk belanja modal jalan, irigasi dan jaringannya, termasuk pembangunan Bendungan Manikin, Temef dan Mbay, serta belanja barang terkait peningkatan produksi sektor pertanian umumnya, akan memberi dampak positif terhadap penguatan pilar ketersediaan pangan. Sementara itu pada sisi permintaan, sejumlah komponen pilar keterjangkauan dan pemanfaatan pangan, belum didukung alokasi anggaran dalam jumlah yang memadai. Itulah sebabnya, pengukuran ketahanan berdasarkan IKP masih memperlihatkan kerentanan pada pilar keterjangkauan dan pemanfaatan pangan.
Pada waktu mendatang, alokasi anggaran yang proporsional dan berimbang diantara ketiga pilar ketahanan pangan perlu mendapat perhatian. Tingginya inflasi yang dipicu volatile food, sejatinya disebabkan gangguan dalam rantai pasok (distribusi), ketidakstabilan pasokan dan naiknya harga pangan, menyebabkan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan rendah turun secara signifikan. Tidak hanya itu, sistem logistik, manajemen stok pangan, akses pasar dan informasi pangan yang kurang memadai, secara simultan mendorong peningkatan kerentanan pada pilar keterjangkauan pangan. Pada sisi lain, sejumlah indikator terkait pilar pemanfaatan pangan, seperti rata-rata lama sekolah perempuan 15 tahun ke atas, akses RT terhadap air bersih dan ketersediaan tenaga kesehatan, melibatkan urusan pemerintahan yang tidak termasuk didalam skim anggaran ketahanan pangan. Hal inipun perlu dikonsolidasi dengan baik untuk memastikan alokasi anggaran yang memadai dalam penanganannya.
Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa, upaya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi NTT dalam membangun ketahanan pangan di NTT masih memerlukan konsolidasi dan fokus yang lebih tajam pada sisi permintaan (keterjangkauan dan pemanfaatan pangan). Konsolidasi Pemerintah Pusat dan Provinsi NTT, sejatinya diperlukan untuk menjamin tercapainya target nasional dalam peningkatan ketahanan pangan di NTT. Karena itu, pada kedua aras pemerintahan ini, perlu penguatan koordinasi dan harmonisasi dalam hal alokasi anggaran (input), penentuan output dan outcome terkait ketahanan pangan.
Pada tataran APBN, kegiatan yang dibiayai melalui belanja modal, lebih banyak menghasilkan output, dan sebagian kecil menghasilkan outcome. Pada tataran APBD, dengan kekuatan input (anggaran) yang terbatas, menjadikan Pemerintah Provinsi gamang dalam memilih output dan outcome yang akan dihasilkan. Hal ini terlihat jelas pada realisasi anggaran ketahanan pangan Pemerintah Provinsi NTT tahun 2020-2022 dan rencananya tahun 2023. Karena itu, skim anggaran ketahanan pangan APBN perlu memberi porsi yang lebih besar pada kegiatan yang menghasilkan outcome terkait pilar keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Dengan demikian, penguatan koordinasi dan harmonisasi dalam hal alokasi anggaran (input), memungkinkan target ketahanan pangan Pemerintah Pusat di NTT tetap terjaga, dan program prioritas Pemerintah Provinsi untuk ketahanan pangan mendapatkan dukungan memadai dari APBN.*/)