LARANTUKA,SELATANINDONESIA.COM – ADD Learning Center (ALC) melakukan kunjungan ke Desa Gekeng Deran, Kecamatan Tanjungbunga, Kabupaten Flores Timur, Sabtu (24/6/2023).
Ke Desa yang baru saja viral dengan sukses di bidang ketahanan pangan tersebut, lembaga ALC berniat belajar dan menarik pelajaran-pelajaran penting di balik sukses program ketahanan pangan tersebut.
“Memang ada sukses dan terobosan besar yang patut kita apresiasi dari sana. Sebab, membuka lahan seluas 60 hektar dalam skala desa di Flores Timur bukan soal yang mudah. Apalagi di desa yang masih mengalami ketertinggalan akses transportasi,” kata Anton Doni dalam keterangan tertulis yang diterima SelatanIndonesia.com, Minggu (25/6/2023).
Menurut Anton Doni, banyak data detail dan informasi rinci selama ini belum tersampaikan ke publik. Karena itu dirinya dan beberapa teman yang bergabung dalam lembaga ALC berniat melakukan studi dan kajian. Bergabung dalam rombongan ini antara lain mantan anggota DPRD Flores Timur Theodorus Wungubelen, pegiat advokasi Frans Wuring, pengelola Suara Flotim Andreas Soge.
“Banyak hal detail, ada penelusuran serius kami soal analisa usaha untuk dikaji, dan beberapa hal kami tangkap untuk bahan pembelajaran bersama, terutama untuk desa-desa di Flores Timur,” kata pendiri ADD Learning Center ini.
Menurut Anton Doni, beberapa pelajaran dapat ditarik sebagai kunci sukses di balik kesuksesan Gekeng Deran, yang dalam panen perdananya 16 Mei 2023 dihadiri pula oleh Wakil Ketua DPD Fadel Muhammad dan anggota DPD Angelo Wake Kako.
Pertama, kepemimpinan desa yang inovatif, dengan tekad terobosan yang solid. “Ini adalah faktor sukses utama kesuksesan pangan Gekeng Deran,” kata Anton.
Ia menyebut, memulai langkah pertama dengan 60 hektar adalah prestasi yang luar biasa. Ada lompatan teramat besar di sana. Bahwa sudah banyak orang yang bertani, tentu tidak bisa dipungkiri. Tetapi mengorganisirnya dalam satu sistem kerja yang terpimpin bukan hal mudah. Apalagi membangun kesepakatan dan komitmen penyerahan lahan oleh pemilik ulayat dan penggarap lahan sebelumnya.
Kedua, organisasi produksi. Kepala Desa mengerti bahwa skala usaha menjadi kunci sukses dalam urusan pemasaran. Karena itu memastikan dan mengorganisir lahan dan sistem kerja di antara banyak orang merupakan kebutuhan dan prasyarat sukses. Tanpa organisasi produksi dengan skala tertentu yang layak bisnis, sulit memastikan bahwa suatu usaha akan sukses dalam dunia bisnis.
Ketiga, modal sosial. Kekompakan dan gotong royong, yang telah terwariskan dari dulu merupakan modal yang tetap terpelihara baik. Modal tenaga kerja diperoleh dari kelompok tani yang merupakan bentuk baru dari warisan gotong royong nenek moyang.
Keempat, kearifan lokal terkait sistem penguasaan lahan. Kekuasaan tanah oleh suku, yang terbagi ke para penggarap, ternyata masih terkelola dengan baik. “Ada penghargaan pada suku yang menguasai tanah, dan ada pula kepemimpinan baik yang masih ditunjukkan oleh suku penguasa lahan. Sehingga ketika dibutuhkan untuk kepentingan Lewo yang lebih besar, atau untuk dikelola dengan cara yang lebih baik, maka komunikasi dan kesepakatan dapat dengan mudah dibangun,” sebutnya.
Kelima, kearifan lokal PATA KIA. “Coba dulu. Suatu modal kearifan inovatif yang sudah ada dalam jiwa sosial Gekeng Deran. Mereka ternyata suka dan terbuka pada hal-hal baru,” ujar Anton Doni.
Dalam kaitan dengan kebijakan, Anton Doni mengatakan, beberapa pelajaran seharusnya dapat ditarik. Yakni terkait kebijakan sistem dukungan infrastruktur ekonomi pertanian, kerja sama Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa dalam dukungan permodalan dan input produksi pertanian, sistem pendampingan dan insentif pendampingan program ketahanan pangan, dan kebijakan sistem dukungan pasca panen dan pemasaran hasil pertanian.
Anton mengatakan, kebijakan-kebijakan ini mensyaratkan pembuat kebijakan di daerah untuk berpikir out of the box, dan tidak hanya terpaku pada nomenklatur dan pakem kebijakan yang didrop dari atas, yang hanya terpusat pada soal-soal on-farm bibit dan pupuk. “Kita membutuhkan kebijakan yang lebih lentur dan bertenaga, sekaligus lebih mencakup (banyak hal), yang padu dengan soal-soal dan kebutuhan nyata di lapangan,” katanya.
Potensi-potensi besar ketahanan pangan di daerah ini, kata Anton, mestinya dapat diidentifikasi. Dan mobilisasi sumber daya untuk kapitalisasi potensi tersebut seharusnya menjadi pilihan kebijakan yang berani diambil.
Lebih lanjut Anton menegaskan, potensi besar berkemungkinan dikuti oleh skala ekonomi yang besar dan kelayakan bisnis yang memadai. Dan kelayakan bisnis yang memadai mestinya bisa menjadi modal untuk mobilisasi sumber pembiayaan lain di luar APBD.***Laurens Leba Tukan