Larantuka, Negeri Elok di Ufuk Timur Sebuah Keajaiban (Part 6)

680
Lorenso II dan Titus Nakfatu Temaluru. Dua sahabat sekaligus ipar terbaik. Foto: Dok. Mini Temaluru

Oleh Mini Temaluru (Desainer Gereja Katedral Reinah Rorasi Larantuka)

“Seorang sahabat, hingga saat akhir pun masih tetap berada di dekatnya..bahkan ketika harus terbuang dan mati tanpa nama besar..”

LORENSO II.

Suatu ketika. Lorenso DVG II yang muda nan flamboyan, balik dari Surabaya, dengan segala kecerdasaan bawaannya, bisa berbahasa Belanda dengan fasih, memiliki tingkat pendidikan yang lumayan tinggi saman itu. Melihat Nagi dari sudut matanya.

Dia melihat dalam masa pemerintahan kaka tirinya Don Dominggo DVG (1877-1887) yang gigih mendakwakan agama Katolik di seluruh pelosok kerajaan Larantuka, ada sebuah tugas perutusan misioner yang belum kelar. Orang masih menyembah di pohon besar dan beribadah dalam Rumah Pemali dengan darah ayam, kambing dan babi. Yang jumlahnya begitu besar di seluruh kerajaan Larantuka dalam wilayah Demon, melebihi jumlah pemeluk Katolik tatkala itu.

Lorenso II yang merupakan Putra dari Don Yohanes (Yuan) Baptista DVG (Dona Kinu DVG, yang diangkat oleh Raja Andre II DVG, kakak sulungnya sebagai kepala Kampung di Batu Besar, Larantuka. Don Kinu adalah juga adik Kandung Raja Don Gaspar Seberang DVG), mulai menemani para Imam seperti Pater Metz, Pater De Vries, Pater A. Zelis, Pater Schwitz, termasuk pater Ten Brink. Ia pergi ke Lamalera dalam tahun 1886 dan terlibat dalam pembaptisan ratusan anak. Ketika raja Don Dominggo wafat 22 Maret 1887, Lorenso malah berada di Konga bersama Pater Schwitz. Misinya di Lembata, Adonara dan Solor sangat berhasil.

14 September 1887, Lorenso DVG II dilantik dalam gereja dengan upacara meriah dan khidmat, diiringi nyanyian dan musik yang indah dari para bruder dan anak-anak sekolah dari sekolah Missi Katolik. Dengan memegang tongkat kerajaan yang diambil dari dalam peti mati dari Raja terdahulunya atas persetujuan dari saudari sepupunya yang begitu dekat dengannya saat itu yaitu Dona Maria Agatah DVG, tongkat itu akhirnya diletakan di altar Perawan Tersuci Maria, dengan lantunan lagu “Domine Salvum Fac Regem Nostrum Laurentium”.

Secara Resmi pada hari perayaan Pesta Maria sebagai Ratu Larantuka, tanggal 8 September 1888, di gereja Posto, Larantuka, tongkat diletakan di altar Perawan Tersuci Maria, karena Maria dianggap sebagai sesungguhnya Ratu Larantuka dan secara resmi Lorenso II menyerahkan kerajaannya dalam “Kuasa” Bunda Maria sebagai Reinha Larantuka (Ratu Larantuka).

Pada Masa sebelum Lorenso II, Kapela dan Patung Tuan Ma sudah jadi pusat devosi seluruh Umat Katolik Kota Larantuka dan semua umat Katolik dalam kerajaan Larantuka. Kapela Tuan Ma dibangun di lokasi yang baru di kampung Batu Mea, tepatnya di Pante Kebis, Balela, lokasi berkuasanya Tuan Kinu DVG dan para pengawalnya yang didatangkan dari wilayah Adonara Timur (Lewobunga ,wilayah Karing) Kapela Lama yang masih beratap rumput Ilalang di bangun beberapa meter di belakang lokasi Kapel Tuan Ma sekarang.

Lorenso yang selalu bersama Maria Titus, sepupunya ( Putri Raja Gaspar Seberang DVG) yang berperan sebagai Fisrt Lady dalam istananya, terus memupuk semangat untuk melanjutkan karya misinya bahkan setelah menjadi Raja, Lorenso DVG yang menurut cerita banyak orang memiliki “Ilmu” tinggi nyaris seperti pendahulunya Raja Gaspar Seberang Dvg, melanjutkan karya misinya di Adonara yang dipusatkan di Kampung Karing yang memiliki kepala Kampung yang bersahabat dengan Raja Larantuka.

Karing masuk dalam wilayah Demon di bawah kekuasaan Raja Larantuka. Dari Adonara dengan banyak konflik berdarah di bawah intrik cerdik Belanda, Lorenso II bersama Ten Brink berhasil mempengaruhi dan mempermandikan ratusan anak di Lamalera dan Solor. Di Solor Lorenso harus berhadapan dengan pemimpin Lewolein dan Pamakayo dalam membantu misi para Imam tersebut. Wilayah Solor Timur tidak dimasuki karena dikuasai oleh Raja Lamakera dan Lohayong (Watan Lema).

Sebelumnya, Lorenso menaklukan Wure yang masih belum serius membantu kerajaan Larantuka dalam penanganan karya Misi di Adonara. Wure olehnya diberi “Hak” memiliki Pou sendiri (bersama dengan pengangkatan Pou Konga), yang diberi gelar Pou Abrigado (terima kasih dalam bahasa Portugal) setelah bergabungnya Wure dalam kerajaan Larantuka.

Pou Wure juga disebut Pou San Dominggo sekaligus menghormati Raja Don Dominggo yang adalah putra Raja Lorenso DVG I dengan Nyora Jubika dari Wure.

Sebelum Lorenso II, Raja Dominggo DVG, (Raja yang digantikan Lorenso II) terkenal sebagai seorang pengabdi gereja dan koster sebelumnya. Kegiatan ritual semana santa mendapat tempat Istimewa. Oleh Dominggo, Suku-suku Semana, para petugas gereja dan kelompok masyarakat adat Larantuka dalam kekrabatan Langobelen (Mayor Domus/Mardomu, Rumah Besar; Latin) kerajaan Larantuka, kapitan Jentera, suku Kabelen Lewo atau Koten (Mayor Domus, Mardomu atau Rumah besar) diaktifkan perannya dalam tradisi Semana Santa bersama konfreria untuk membantu para Imam.

Pada saman Raja Dominggo DVG ini, disinyalir, prosesi dipindahkan ke Posto dengan pusat upacara di Gereja Sanctissima Trinidale yang berpelindungkan Santo Dominikus, di Posto yang sekarang menjadi gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka.

Lorenso II yang mengidolakan Bunda Maria dalam seluruh kehidupan spritualnya bahkan menyepelehkan Rumah Pemali dalam ritual-ritual adatnya dan digantikan dengan ritual Devosional yang berpusat pada kapel dan gereja.

Saat dilantik menjadi Raja Larantuka, paman Lorenso II yakni Don Gaspar Seberang DVG, wilayah Tanah Ai dan sekitarnya di Sikka, ditetapkan sebagai wilayah kerajaan Larantuka dengan keputusan Gubernur Jendral tanngal 9 Maret 1865. Ketika diketahui bahwa Raja Sikka memungut pajak di wilayah itu, Lorenso II dengan 500 pasukan berkuda menggertak Raja Sikka dan mengambil kembali hak pajak atas wilayah kerajaan Larantuka tersebut.

Lorenso II yang berkeinginan untuk memiliki istri Eurasia, akhirnya “cuma” menikahi seorang gadis manis dari Nobo yang sekolah dan tinggal di Asrama Susteran Balela bernama Maria Diaz. Mereka menikah tanggal 25 November 1886.

Konflik internal mulai terjadi di dalam tubuh kerajaan Larantuka sendiri di mana ada kelompok saingan dalam struktur kerajaan yang ingin merebut kekuasaan melalui kerjasama dengan kolonial Belanda yang terganggu dengan ekspansi Lorenso DVG II untuk memperluas daerah kekuasaannya.

Peristiwa terbakarnya gereja Posto Larantuka tanggal 3 Nopember 1901, tuduhan main matanya dengan raja Muslim Adonara dan berbagai konflik dan kasus moral lainnya membuat Belanda gerah. Tanggal 1 Juli 1904, oleh Residen Heckler, Lorenso II diboyong ke kapal Pelikan yang berlabuh di depan pelabuhan Larantuka, dibawa ke Kupang dan diasingkan ke Jogya hingga meninggal dalam bulan Nopember 1910 meninggalkan istri keduanya Dona Yohana Regina di Jogya.

Sahabat, Orang Terdekat Bukan Karena Sedarah

Salah seorang Sahabat Lorenso II DVG adalah Titus Nakfatu Temaluru, menantu Raja Gaspar dari putri satu-satunya yakni Dona Maria Agata DVG. Titus menikahi Dona Maria di Kupang dalam tahun 1872 dihadapan Pendeta Nickz. Dan diminta oleh Raja Don Gaspar datang ke Larantuka sejak tahun 1873.

Persahabatan Lorenso II dan Titus berjalan sejak masa-masa sulit peperangan panjang dan melelahkan di wilayah Adonara ( Wure, Karing, Tanah Merah dll) dan Sikka sebagai salah satu panglima perang yang diandalkannya. Titus yang berdarah Raja El Paputih (Zadrak Isaac) di Seram Ambon, memiliki ketrampilan membuat senjata tumbuk dengan senjata andalannya yang dianggap sakti yaitu Snick Snak yang dibawa dari Ambon. Dan membantu Lorenso II dalam banyak peperangan selain dengan senjata yang disediakan para imam Belanda.

Pada masa perang Pamakayo, Titus dan pasukan yang dipimpinnya melindungi Istana Pohon Sirih bersama masyarakat. Ola Diaz Viera yang juga bagian dari keluarga kerajaan yang memberontak ditangkap dan oleh anaknya yang bernama Yohanes (Nani) bersama Geza Dias dari Kotta, mengeksekusi Ola Diaz Viera.

Dan Titus bersama tiga anaknya, Emanuel, Lila dan Paulus dikepung tentara Belanda di rumah kediamannya di Posto dan dibawa dalam kapal “Pelikan” bersama Lorenso II dan di buang di Kupang. Titus ditahan di Benteng Belanda di Kupang hingga meninggal dan di kubur di sana., Lorenso II bersama istrinya diasingkan ke Jogya.

Salah seorang Anakx lari ke Sumba dan memiliki keturunan di sana (Paulus), Lila balik Larantuka dan meninggal tahun 1938 setelah sakit di Tanah Merah Adonara. Yohanes lari ka Labuan Bajo dan bekerja di perusahan mutiara lalu balik Larantuka dan meninggal tahun 1944.

Sahabat Lorenso yang walau beragama Protestan tetapi benar-benar terlibat bersamanya dalam semua peperangan untuk mempertahankan Larantuka sebagai kerajaan Katolik ketika menghadapi berbagai peperangan hingga ke Sikka bagian Utara berhadapan dengan kaum Bugis Makasar.

Sahabat hingga mati, diasingkan bersama kelicikan Belanda. Namun oleh Kuasa Tuan Ma, Bunda Reinha Rosario, keturunannya tetap mengabdi Maria hingga sekarang. Dona Maria Agatha, yang oleh Karel Steenbrink disebut “First Lady” dalam Istana Lorenso II, adalah murid wanita pertama saat berusia 6 tahun, di SD yang didirikan oleh ayahnya Don Gaspar Seberang Dvg, bersama pater Yohanes Casper Hubertus Franssen Desember 1862 (sekarang SDK Larantuka I Don Bocso). Maria menjadi Katolik dalam tahun 1931 saat kerajaan Larantuka diperintah oleh “Raja” Antonius B.L de Rosary.

Yang Tidak Boleh Terbuang…

Wawan, salah seorang sahabat saya dari TVRI World sangat tertarik untuk membuat film cerita cinta (love story of Larantuka Kingdom), terinspirasi dari cerita saya tentang Larantuka. Saya sudah coba membuat sinopsis sederhana dengan judul, “Lorenso, The Prince of Love, from Larantuka” yang bercerita tentang perkawinan dalam konteks adat, agama, tradisi yang menjadi background scene dari love story ini. Kita tunggu saja.

“Aia eee…raja-raja dulu begitu setianya dengan iman mereka. Mau mati po bae..me lepa agama ne. Te akan. Sekerang nih so tetau omo legi,” kata tanta Manda yang terkenal lucu.

“Gena meka ema kita. Tau dari ena nih..,”tanyaku memancing tanta yang tahu banya tapi agak tidak terlalu seimbang otaknya ini.

“Besa Nadu pung ana nyenyora yang kelua suste tu so maso agama laen. Te piki i…rumah muka kapela,” ujarnya jengkel.

“Sekerang ni hak dorang ka tuaa. Mo pindah ka tetap ka..sapa bisa larang.”

“Ei tebisa no. ee..kita ni so bale data turong. Bapa Allah tu vam da Silva Mulawato. Dia betau kita..oe Manda..ana cucu enko tu begena.”

“Begana meka tua. Sekarang kalo larang, dorang lapor polisi le..,” kataku membalasnya.

“No, enko ni.. besa Kobu pung cucu ka, ponakan ka..ngko kaka Aci pung ana to. Lia sekerang, anak-anak mino mabo, bebeda badan, malam-malam lelong te tau tempa bale. Dorang sangka Tuan Ma te marah ka tu. Lepa jooo..tebongka weru data turong baru kangaranga,” lanjutnya berapi-api.

“Ai tua e..sekerang ni buka kebara mo kemamu jo…ma ma tu lebe sibuk mo maen Bingo, hahahaha,” kataku sambil tertawa.

“Itu te..Santa Ana mo legio Maria so telia awang.”

Hahaha..ema Manda e..dalam keadaan sedikit terganggu psikisnya..masih juga ngotot tentang hidup spiritual orang Nagi. (Bersambung)

Center Align Buttons in Bootstrap