Larantuka, Negeri Elok di Ufuk Timur Sebuah Keajaiban (Part 5)

343
Dokumen Prosesi Semana Santa. Foto: Dok. Mini Temaluru

 Oleh Mini Temaluru (Desainer Gereja Katedral Reinah Rorasi Larantuka)

Hari masih pagi ketika saya ditelpon oleh kru TVRI World karena ada pembuatan filem dokumenter yang mengambil setting lokasi di tempat pertama kali Tuan Ma diletakkan setelah ditemukan oleh Resiona. Bang Wawan, Pa Ucup sang manager, dan bang Andre, Bony mengajak saya ke lokasi itu.

Pag-pagi2, si cantik Jessy Silana Wong (sang putri Pariwisata International dari Indonesia) mengontak WA saya dan mengatakan akan pergi ke bukit yang saya janjikan.

“Pagi papa, ayo kita ke lokasi kemaren yang dijanjikan untuk lanjutin pengambilan videonya,” begitu bunyi chat Jessy pagi itu.

“Ok Jess, saya segera ke sana.”

Ade Padman Werang sebagai kontributor TVRI NTT, yang mengajak saya pertama kalinya untuk bergabung dalam TVRI World ikut bersama kami sebagai wartawan resmi TVRI NTT.

“Jess, tempat ini sakral, jadi kamu ga bisa pakai baju itu untuk ambil gambar, ganti aja,” kataku di depan sutradara yang gondrong dari TW.

“Iya papa.”

“Ya udah..ganti aja dalam rumah ini. Ini Rumah dari turunan Resiona yang temukan Patung Tuan Ma,” ujarku sambil meminta sang Tuan Rumah relakan kamar mereka buat Jessy.  Mengenakan baju terusan serba putih, Jessy tampak anggun. Bang Wawan beraksi sebagai sutradara mengarahkan peran untuk Jessy. Dan hasilnya memukau ketika tayang di TVRI World yang disiarkan ke suruh dunia tahun lalu.

“Aku sampe nangis pa, membayangkan betapa sakralnya dulu Tuan Ma berada di tempat terpencil ini dan sekarang malah menjadi ikon dunia,” kata Jessy yang memintaku berfoto bersamanya di samping batu ceper yang dipercaya sebagai tempat peletakan pertama Tuan Ma.

“Tadi waktu berdoa, walaupun cuma akting, tapi aku merasa benar-benar tergetar dengan kata hatiku sendiri yang begitu gembira berada di sini. Sampe nangis aku papa,” ujarnya jujur.

“Segala beban rasanya terlepas dan ada seuatu yang benar-benar saya rasakan di Larantuka ini.”

Jessy memang semalam menangis lama ketika mencurahkan segala isi hatinya dan merasa bahwa di Larantuka, ia menemukan sesutu yang ia cari yang bisa melepaskannya dari berbagai persoalan yang ia hadapi sebelum datang ke sini.

Pa Ucup yang datang berdiri di samping kami akhirnya membuka percakapan.

“Pa Dominiq, kok bisa patung itu  menjadi sangat ikonik dan begitu terkenalnya ketika Semana Santa tiap tahun dirayakan..?” Tanyanya.

“Ceritanya sangat panjang pak,” jawabku.

Aku mulai mengingat lagi catatan sejarah yang kukumpulkan bertahun-tahun sejak di bangku kuliah di Ledalero secara diam-diam.

Waktu ujian skripsi, salah satu dosen pengujiku adalah Pater Piet Petu, selain Pater Huber Muda, Pater John Prior SVD. Sareng Oring Bao, begitu Pater Piet biasa diberi gelar, menanyakan kepadaku apa benar saya suku Temaluru dari Larantuka, segera setelah selesai ujian. Pater Pit adalah budayawan besar di Ledalero yang mengelola museum Ledalero.

” Iya Pater. Saya dari Larantuka.”

“Oh jadi kamu turunan Raja Gaspar Seberang yang turut menandatangani Traktat penyerahan Portugal ke Belanda di atas Kapal Merapie itu yah? Dia belum raja waktu itu, tapi dia cerdas dan dipercaya untuk bersama HJ Mageldhom, komandan kapal perang Merapie, Alfredo Benedikto Cecario da Silva dari Portugal. Nenekmu itu cerdas,  sangat berani dan tegas. Dia juga waktu sudah menjadi Raja, melawan Residen Esser yang mau jadikan orang Larantuka menjadi penganut Protestan tapi dia menolak tegas,” kata pater Piet ketika kami dua duduk di bangku lanjang depan kamar  Teologan, Ledalero, Maumere.

“Semboyannya, lebe bae saya mati daripada putar agama,” sambungnya.

“Esser akhirnya ngalah dan tidak melanjutkan evangelisasi Protestan di Larantuka. Kamu itu turunan Gaspar yang kawin sama anak Belanda yaitu Trutje Van Yperen. Waktu Gaspar jadi Raja, orang-orang Portugal sudah kembali ke Timor. Hanya sisa-sisa Portugis hitam yang turunannya masih banyak. Liat yang mata coklat, tinggi keriting, itu turunannya,” katanya sedikit bergurau.

Sejak itu saya begitu tertarik mencari tahu tentang kerajaan Larantuka. Dari tulisan R.H. Barnes, Karel Steenbrink, Laan, Paul Arndt, Ernt Vatter dan cerita lisan dari banyak orang termasik Om saya yang fasih berbahasa Belanda yang jadi Bupati Flores Timur yang pertama, L.E.Monteiro, saya memdapatkan banyak catatan sejarah tetamg Larantuka.

PORTUGAL.

Sebuah fenomena menarik, melepas Larantuka dengan 200 ribu Gulden kepada Belanda tahun 1851 hingga 1856 dengan jaminan awal bahwa Larantuka harus tetap Serani Katolik.  Bendera Belanda silahkan berkibar, tetapi Bendera Putih Kontas dan Kaum Serani tetap terjamin kehidupan agamanya. Kortej Verklarenj yang menjadi Lange Verklarenj tentang hak-hak Raja Larantuka yang dikebiri Belanda, tidak pernah bisa menghapus kekatolikan.

“Gaspar Seberang DVG itu cerdas dan tegas, diberi gelar Raja Pandai II dan menghadapi permainan politik residen-residen Kupang tapi beliau tetap teguh. Larantuka tetap Katolik. Tidak menjadi Protestan seperti jajahan Belanda lainnya.. Kata-katanya yang terkenal mengikuti Padre Barreto dari Portugal itu adalah, “Bendera boleh merah putih biru, tapi maaf, Larantuka tetap serani,” begitu kata Pater Piet berulang-ulang pada waktu itu tentang Raja Gaspar yang menjadi Raja saat peralihan Protugal ke Belanda.

Portugal masuk Larantuka secara besar-besaran waktu kalah melawan Belanda di Solor. Terusir dari Malaka dan akhirnya migrasi dari Makasar. Apakah waktu masuk Larantuka Tuan Ma ” so ada?”

Asumsinya, jika Tuan Ma masuk Nagi tahun 1510 hingga 1520 sesuai perkiraan sejarah, maka ketika Portugal migrasi ke Larantuka, Tuan Ma so jadi Ema, Mama, Tuan Ma bagi orang nagi yang masih kafir.

Nah..Portugal masuk kemudian sekitar tahun 1641 secara lebih masive. Dengan kecerdasan cara pendekatannya,  mereka mengadopsi adat dan Budaya orang Nagi yang tetap mempertahankan tradisi leluhur mereka.

Saman padre Dominikan, situs dan ritual adat leluhur dan rumah pemali masih dipertahankan. Para Imam Dominikan awalnya sangat keras tetapi ketika menghadapi militansi orang-orang asli yang menerima agama Katolik tetapi masih dengan praktek animisme mereka akhinya melemah.

Beberepa imam mereka terbunuh karena perlawanan masyarakat asli karena situasi ini seperti Paderi de Magdalena yang dibunuh di Mulawato, Kawalelo, Demon Pagong, ketika orang-orang dengan kepercayaan asli belum bisa menerima ajarannya.

Akhirnya kaum klerus Dominikan mulai menerima semacam proses inkulturatif. Agama disebarkan dengan mengajarkan katekismus, ketrampilan pertukangan, pendekatan perkawinan antara kaum pribumi dengan pendatang dari Portugal yang turunannya disebut Portugis Hitam (Larantuqeros atau Dwarf Portugeisen).

Para Imam Portugal membentuk Persekutuan Persaudaraan Awam Reinha Rosario di Larantuka yang terkenal dengan nama Confreria Reinha Rosario yang bertugas menjaga komunitas-komunitas iman yang sudah terbentuk, mengajar agama secara sederhana, dan meneruskan ritual-ritual agama Katolik ketika berhadapan dengan masyarakat adat.

Prosesi Jalan Salib sudah dijalankan saman awal-awal kedatangan kaum Dominikan, mengadopsi ritual semana sancta yang sama yang dilaksanakan di Braga Portugal. Prosesi Braga menyertakan kisah sengsara Yesus dengan berjalan mengelilingi kota dan membawa barang-barang peringatan akan Yesus bersama Patung Bunda Maria yang dihias sangat cantik. Pakaian pembawa ornamento agama Katolik dalam Prosesi saman itu juga mirip dengan yang sekarang dipakai dalam Semana Sancta Larantuka. Prosesi yang sekarang sejak lebih dari 500 tahun lalu masih tetap langgeng berjalan di bumi Nagi ini.

Seorang paderi Dominikan (dalam banyak literatur disebut Paderi de Magdalena) yang dibawa orang-orang Katolik awal ke tempat Patung Tuan Ma ditempatkan merasa sangat terharu dan dengan yakin mengatakan, “Yesus yang saya ajarkan kepada kalian semua itu, inilah Bunda Maria IbuNya..!” katanya terbatah-batah karena bahagia campur terharu. Maka gemparlah semua orang termasuk Raja dan para petinggi kerajaan lainnya yang mendengar hal ini. Semua orang takjub. Patung Keramat yang begitu cantik dan sempurna itu ternyata bukan “Nitung” atau Peri dari kayangan atau jelmaan roh penunggu lautan tetapi malah Ibu dari Tuhan Yesus.

Orangorang Katolik mulai berdatangan dari segala penjuru, termasuk orang-orang non Katolik dan bersembayang di tempat itu seijin Suku Resiona dan Raja Larantuka untuk menjaga kesakralan Patung Bunda Maria itu.

Setelah Adobala dipermandikan menjadi Katolik, beliau menyerahkan tongkatnya kepada Bunda Maria Reinha Rosari. Penggantinya Don Gaspar DVG I mulai bersama umat Larantuka yang sudah beragama Katolik dan dengan persetujuan para Imam Dominikan menyertakan patung Tuan Ma dalam perjalanan prosesi kesengsaraan Yesus yang sakral dan mistis tersebut.

Kerajaan Larantuka mengalami pergolakan di saman ketika ada dua orang Portugis yang sangat kejam menguasai Larantuka yaitu marga  H’Ornay dan Da Costa. Saman mereka ditandai dengan perang besar antara orang-orang Larantuka yang bersekutu dengan mereka (Portugis)  dan orang-orang Belanda yang bersekutu dengan orang-rang Kupang dan Maluku, yang sudah mulai menanamkan pengaruh di Timor dan Flores untuk mengusir Portugis.

Banyak penjarahan dan pembunuhan serta kekacauan yang menyebabkan banyak imam Portugal ditarik ke Timor dan kembali. Ada masa di mana Larantuka mengalami kekosongan Imam hingga mulai berdatangan imam Belanda sejalan dengan peralihan Portugal ke Belanda.

Masa ini ditandai demgan peran besar Raja Larantuka dan para anggota Konfreria yang tetap dengan teguh mempertahankan agama dan tradisi Katolik.

“Kenapa orang-orang Nagi itu kewao dan suka rasa tinggi hati,” salah seorang temanku dari Manggarai bertanya. Dia adalan mantan pegawai yang dula kerja cukup lama di Larantuka dan sudah  pindah ke Cancar. Saya bertemu dia di Cancar tahun 1996 lalu.

“Hemm..jujur, kami orang Nagi itu anggap diri tinggi karena bisa jadi kami yang pertama merasakan budaya Eropa. Makan dengan piring, sendok dan garpu di meja makan, celana panjang dan kemeja, main gitar dan saxofone, trompet, makan coklat Eropa dan minum cognag, civas, sampagne Portu dan Spanyol,” jawab saya enteng.

“Nah..itu mulai kewao leee…”

“Hahahaha..eh, orang Nagi so berbahasa melayu, so ada agama 500 tahun lalu, so baca tulis sejak lamaaa. Kalian  baru seratus tahun lalu. Malah orang Larantuka yang datang ajarkan semua..,” lagi-lagi saya sombong. Bersambung..

Center Align Buttons in Bootstrap