Larantuka, Negeri Elok di Ufuk Timur Sebuah Keajaiban (Part 4)

402
Korke (rumah mistik), Gambar Tuan Ma dan latar belakang makam Watowele. Foto: Dok.Mini Temaluru

 Oleh Mini Temaluru (Desainer Gereja Reinah Rorasi)

Sore itu agak mendung. Langkah kaki mendaki mulai terasa berat. Perjalanan dari kaki menuju puncak bukit kecil itu makan waktu 2,5 jam jika baru pertama kali ke sana. Kita melewati jalan yang terjal dengan posisi letih. Namun udara sejuk ketika hendak mencapai puncak membuat segalanya terasa bergairah.

Beberapa pohon yang besar yang berusia kira-kira lebih dari ratusan tahun berdiri kokoh di tepi jalan kecil yang kadang licin karena lembab oleh lumut. Mendekati puncak, aura mistis sedikit terasa. Ada nuansa gaib seperti menyelimuti area itu. Ada gerombolan pohon palawan yang berdiri kekeringan, dengan kulit kayunya yang putih menambah suasana lengang. Kita tibah di puncak bukit yang landai dan datar.

“Ini tempat pengawalnya yang berasal dari daratan Timor. Mereka ini sakti dan setia terhadap Pati Golo selama menjadi suami Watowele,” seseorang menjelaskan ketika tahu bahwa kami cuma diam.

Melewati area yang bebatuan seperti disusun di tepi jalan menuju makam, kami merasa udaranya begitu sejuk. Ada damai dengan suasana hati yang adem namun tetap terasa aura mistis itu. Area ini bersih, lengang.

Di satu sudut di tepian datar menuju lembah yang curam, terlihat ada susunan batu membentuk sebuah pusara. Ada pohon kamboja di tepi “makam” itu dengan sisa-sisa lilin dan bekas sesajen berupa sirih, pinang, tembakau dan beberapa botol sisa arak.

Setelah bersujud dan berdoa dan meletakan bawaan kami, saya mencoba berjalan menyusuri hutan kecil itu ke arah utara. Area itu landai, sediki menuruni puncak bukit datar itu. Sejuk dan sedikit gerimis yang membuat suasana jadi lain. Sedikit ragu, tapi saya berjalan terus mendekati lembah. Sayang datang hujan.

Anehnya saya malah mendengar bunyi gemuruh seperti lautan arau sekurang-krangnya genangan air yang besar di sebuat dam atau kolam besar yang sedang bergolak karena angin. Entah dari mana datangnya.

Saya berbalik dan bertanya pada teman-teman lain. Astaga, semua mendengar suara itu. Keheranan dan cuma basa bingung.

“Ade dari mana,” tanya saya pada anak laki-laki saya Jey Temaluru yang baru datang bersama ponakan Wely dan Tilman. “Torang pi tempa mandi di ba kali. Ada batu besa yang tampung ae, berisi beto. Kita ambe hatu botol,” katanya.

“Sepertinya itu tempat mandi nene moyang dulu. Agak tersembunyi dan ada beberapa batu besar yang tampung ae hujan dalam lubang batu,” timpal Wely.

Kami akhirnya berdoa memohon apa saja dalam hati masing-masing. Jujur, tempat ini dulunya ada beberapa rumah atau gubuk tempat tinggal.

Memiliki aura mistis yang kuat termasuk tentunya suara gemuruh tadi.

Watowele, fenomena manusia wanita pertama di Ile Jadi nan sakti yang ditetas dari telur burung Karude/Karuda  yang menetaskan dua anak manusia kembar laki dan perempuan. Nama saudara kembar Watowele yang laki-laki adalah Lian Nurat yang menurunkan masyarakat Baipito, sebelah utara Mandiri. Sang lelaki ini mendiami bagian utara (belakang guno)  dan wanita berdiam di selatan (muka guno).

Watowele yang mendiami bagian Selatan Ile Jadi akhirnya menikah dengan seorang Pengeran Timor turuna Jawa bernama Patih Golo Arkian (Rarkryan dalam nama-nama pangeran Jawa). Memiliki 3 anak laki-laki yang masing-masing menjadi penguasa daerah Larantuka.

Dan salah seorang anaknya Padu Ile akhirnya menurunakn raja 2 Larantuka yang meletakan dasar struktur permanen Kerajaan Larantuka yakni Sira Demon Pago Molan. Bentuk dan sistem kerajaan yang mengadopsi sistem Kerajaan di Jawa yang tertata dengan apik.

Watowele, yang berani menghukum siapapun yang bersalah baik kata dan tindakan dengan sangat keras.

“Dulu kalo orang Nagi salah banya, jagong padi te jadi. Kekera makan abi. Hujan te turon. Nanti minta ampo, ba mo sesajen di rumah pemali baru bisa dapa hasil,” kata nene Tatu.

“Banjir tu pake mata. Jalan cari orang pung rumah yang tesala mala. Te sembarang. Kalo mo banjir selalu ada tanda-tandanya. Puncak guno tu awan teba tuto berhari-hari. Jo nanti ada bau sarong yang so keluo tu dari data turo. Itu te lama jo banjir,” katanya.

“Dulu kala cerita tetua Nagi, sebelum ada banjir besa di nagi selalu ada tanda di guno. Asap api, kalo tida kekera mo babi utan lari turon guno. Jo bau sarong keluo  keliling tempa banjir. Banjir tu macam ula naga, jalan iko matanya. Me anehnya ae jalan dulu baru lumpo,” lanjutnya yakin.

Dari nenek yang satu ini saya mendapatkan banyak cerita sejarah Nagi tanah dari bahasa tuturnya yang runut. “Waktu banjir tahun 1979, kapela Tuan Ma dan Tuan Ana yang lurus jalur banjir te kena sedike po ne. Tori-tori kece tu po te kena. Semua luput. Ae mo lumpo te maso. Rumah belakang, kiri kanan bahkan di muka kapela anco lulo, me kapela  te sento,” katanya sangat yakin dengan kepercayaan bahwa Watowele yang menghukum tidak akan merusak kapel-kapel itu.

“Watowele te akan bua rusa Tuan Renha ka Tuan Deo pung rumah termasuk barang-barang. Te akan no…engko lia jo..”

“Tatu tau dari ena..?”

“Oyang Watowele itu selalu likolindo anak cucunya yang mengabdi mo Tuan Ma mo Tuan Ana jo mo tori-tori semua tu. Itu anak cucu dara dagingnya semua. Anak hatu turun di Bembalun, hatu di Balela dan hatu sini Nagi yang jadi Raja. Di Bembalun tu ada tempa sembayang data deka kampu Ijo dula. Dorang di Balela tu jaga kapela di Santo Pelipu.  Dulu dara pohon Rita tu ada Korke teruna Laha Lapan pung no. Sekerang so ne..so ganti Kapela.  Jo di Lewonama, Ponsire, Lohayong mo Lekea tu sebelumnya ada rumah Pemali Besa tempa kumpo Kapitan, Koten Kabelen mo Raja. Di muka rumah Pemali tu tempa dorang tandak, menyari rame kalo ada acara adat beri makan nene moyang termasuk kalo Raja kawen. Teruna Padu Ile Nagi tu jaga kapela tuan Ma mo Tuan Ana yaitu suku Resiona, DVG dan suku-suku semana mo suku-suku  Koten Kabelen Lewo dan Kapitan Jentera dorang. Dorang semua ni teruna Watowele mo Pati Golo. Jadi te mungkin Watowele bua rusak tempa sembayang ana cucunya!”

Sekarang saya mengerti. Orang tua dulu begitu yakin bahwa bukan kemarahan Tuan Ma jika kita bersalah tapi keyakinan yang kuat bahwa ada ikatan Beyond Reality antara kekuatan Watowele menjaga “Ike Kwaat” yang jadi etika leluhur yang adiluhung dengan Spiritualitas Bunda Maria (Tuan Ma) yang jadi Roh kehidupan manusia Nagi tanah ini.

“Nagi ni tesala kata ka tesala bua apa-apa atau bua sembarang dengan kota Tua ini maka tanda yang jadi peringatan selalu ada. Baik gempa, angin, kapal tenggelam atau banjir,” bathinku setelah selesaikan coran salib Katerdral Larantuka di puncak menara itu, tiga hari sebelum bencana banjir 2003 lalu. Melihat realitas intrinsik antara kesaktian Watowele yang membuat kerajaan  Larantuka begitu kuat sebelumnya dan bgmaina peralihan ke Tuan Ma yang menjaga anak-anakNya hingga sekarang membuatku sadar dua tokoh wanita lain ranah dan ruang ini benar-benar “in” dengan orang di tanah Lamaholot ini.

Seandainya dulu Watowele sudah kuat ikuti Patigolo yang sudah lebih dulu terpengaruh paham Hinduisme maka Nagi menjadi Hindu seperti Bali. Namun Watowele seperti menunggu datangnya “SEBUAH” kepenuhan kekuatan yang bisa membuat turunannya bernilai bagi banyak orang. Dan Tuan Ma sudah menggantikan posisi Watowele menjadi bagian terdalam dari kristalisasi nilai-nilai luhur yang terjaga sejak dulu bahkan sebelum agama ini masuk.

Watowele juga Tuan Ma yang membuat anak-anak mereka hidup dalam damai karena keutamanan nilai yang inheren dengan jiwa dan kebinekaan yang utuh bukan dari perbedaan pakaian agama yang dipakai masing-masing. Orang-orang Lamaholot sadar, Tuan Ma bukan hanya untuk Katolik atau orang Nagi. Juga Watowele bukan hanya untuk orang Nagi di kaki Ile Jadi. Karena kekuatan Watowele dan Patigolo dulu sampai ke Perbatasan Alor, Timor Utara, Labuan Bajo dan Laut Flores.

Kami berkunjung ke makam Watowele untuk meminta restu dalam rangka membangun monumen yang jadi ikon Kota Reinha yaitu patung Maria Protegente setinggi 25 meter di bukit Postoh. Monumen itu saya desain mirip gambaran Tuan Ma yang asli, di tempat Nagi lama di saman purba dulu yaitu Bukit Posto, Kampumg Potu, Nagi Lama, yang ada tempat tandaknya. Patung itu akan dibangun di samping makam Raja Don Gaspar Seberang Dvg, sesuai permintaan Yang Mulia Uskup Mgr. Frans Kopong Kung Pr.

Semoga dengan kunjungan ini restu Watowele dapat menguatkan kami. Sayang sejak itu datang pandemi Covid 19 sehingga masih tertunda.

MARIA PROTEGENTE adalah motto tahbisan Yang Mulia Mgr. Gabriel Manek SVD. Beliau menyerahkan umat Keuskupan Larantuka dibawa perlindungan Bunda Maria, Maria Protegente berarti Maria melindungi dunia/kota, keuskupan.

Tuan Ma?

Bahkan seluruh dunia akhirnya tahu bahwa 500 tahun lalu, Tuan Ma sudah memiliki orang-orang yang setia kepadanya di kota pelabuhan kecil di selat sempit yang jauh dari pusat-pusat kota dunia lainnya, Lewonama Larantuka.  Di sini, di kota Tua ini, dua tokoh  ini menjadi  sentra etika  hukum adat leluhur dan sentra etika spirtual Allah yang sempurna. Dua ajaran yang berbeda namun memiki satu muara. Iman pada Wujud Tertinggi.

Sinkretisme ini muncul dengan kuat dalam ritual Semana Santra yang mengawinkan adat, tradisi dan agama sekaligus yang resultansinya terwujud dalam perpaduan liturgi dan devosi secara akut sejak saman lampau.

Saya mencintai Tuan Ma dari jiwa tapi saya tidak bisa melepas Watowele dari eksistensi diri saya. Dua kekuatan yang menyatu secara ajaib dalam kehidupan manusia di Nagari kecil ini.

Bagaimana Portugis masuk dan mengeliminasi kokohnya kepercayaan asli orang-orang Lamaholot termasuk paham hindu? Bagaimana cara Portugis bekerja dari jiwa ke jiwa bahkan sampai ada  baberapa Padre mereka yang jadi martir? Siapa kekuatan dari kaum Portugal yang mengharu biru kerajaan Larantuka? Larantuka sebagai satu-satunya kerajaan Kkatolik di Indonesia…Sekedar beri tongkat dan selesai? Bersambung…

Center Align Buttons in Bootstrap