Oleh Mini Temaluru (Desainer Gereja Reinah Rorasi)
Sesuatu tentang senyum abadi itu di hari-hari yang senyap. Nagari seribu yakin..!!
Sore itu mister bercerita dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih, di sisi kubur Raja Don Gaspar di bukit Postoh selagi saya masih menyelesaikan pekerjaan makam ini.
“Anda tahu tentang Gonsalves? Yang namanya masih tetap dipakai untuk arus deras di selat Adonara itu?” Tanya mister asal Inggris yang menikahi seorang gadis bersahaja dari Weri itu.
“Saya pernah menyelam di bawahnya, ternyata begitu indah seperti Surga. Seperti Istana yang ada terowongan arus yang sangat deras datang dan pergi. Ada sisa kapal yang hancur dan seperti ada beberapa sisa-sia barang dari kapal itu yang sudah ditutupi karang dan tumbuhan laut. Sangat misterius,” katanya serius.
“Loh, kok bisa mister? Pernah selam ke sana?,” tanya saya ingin tahu.
“Dua kali saya menyelam, setelah itu tidak lagi,” katanya. “Ada yang mau saya katakan, apakah ini berhubungan dengan ornamen portugis yang sekarang ada di Larantuka? Patung itu, yang tidak dibawa dari Malaka apakah dari kapal itu? Orang masih sebut nama Gonsalves (Gonsalu) bukankah ada Pelaut Portugal bernama Antonio Gonsalves? Mungkin saja beberapa patung termasuk patung Maria juga terdampar di sana dan ditemukan di pantai itu?” kata penyelam yang sudah menyelam di berbagai negara untuk mencari benda bernilai tinggi itu.
Beliau juga yang pernah meminta saya untuk masuk lubang Jepang di bawah bukit Postoh setelah dia membuat rekaan isi dalam sesuai pengalamannya di berbagai negara jajahan Jepang, namun belum terwujud dan beliau sudah meninggal beberapa tahun lalu di Weri.
“Saya sudah banyak baca tentang kapal-kapal Spanyol dan Portugal yang karam membawa banyak patung, barang-barang antik juga rempah-rempah yang tenggelan sekitar Flores. Dan itu sekitar tahun 1490 hingga 1520-an,” katanya yakin.
Pengalaman menyelamnya membuat saya juga mulai yakin tentang itu. “Apakah nahkoda kapal itu bernama Antonio Gonsalves atau ada nama Gonsalves lainnya, ” saya sengaja memancingnya sambil terus mengukir ornamen kubur moyang saya itu.
“Antonio Gonsalves atau Pedro Gonsalves, saya tidak yakin. Tapi saya sudah melihat ada bekas kapal yang hancur di bawah laut itu. Sayang arusnya sangat deras,” katanya seperti sedikit menyesal.
Cerita berlanjut dengan banyak topik menarik lainnya. “Hemm..semakin menarik dan semakin mistery tentang bagaimana Mama Bunda bisa sampai di Nagari orang Serani ini,” bathinku setelah beliau pamitan.
Literatur tentang Tuan Ma sulit terlacak dengan pasti seperti cerita apokrit yang dikumpulkan dari berbagai sumber yang masing-masingnya diyakini oleh penuturnya. Tetapi muaranya satu, mukjizat terbesar di tanah ini adalah Tuan Ma yang akhirnya menjiwai semuanya, segalanya. Sebuah “spiritual phenomenon” yang begitu agung. Datang dengan anggunnya dalam senyap dengan senyum teduhnya. Entah dari kapal atau lokasi di mana. Adalah cukup mudah dimengerti jika kapal Gonzalves memang karam di selat Gonsalu itu. Maka mudah dimengerti jika terdampar di pante depan Larantuka.
Tapi jika kapal lain yang membawa dan karam di luar pulau Flores. Laut Sawu atau laut Utara Flores, kok “patung itu” bisa melewati tanjung dan selat. Masuk dari selat Solor atau Waiwadan atau malah selat Kawalelo untuk memilih terdampar di Nagi. Dan mengapa Nagi dipilih dan bukan tempat lain? By Accident or..? Impossible.
Hufff..dan jika semisal terbuat dari bahan yang bisa tenggelam..ah..!!” Unbelief..!!
Semua analisa akhirnya berhenti di muara yang sama, sebuah bukit yang tandus di Tuak Ehak, di korke yang gaib itu. Sembari memandang wajahNya yang teduh..!
Nagi Tua yang kerajaannya sudah berdiri sekitar tahun 1340an dari Watowele dan Pati Golo Rarkyan (kata Dr. Yosep Yapi Taum ), di negri yang pernah punya pelabuhan terbesar Portugal kedua setelah Makau di Hindia Timur inilah yang akhirx dipilih. Sebuah kerajaan animisme yang awalnya dipengaruhi Hindu dengan wujud tertingginya dan tradisi Bau Lolonnya (Lera dan Wulan dan Tanah Ekan) yang akhirnya didatangi selagi orang-orang masih kafir dalam perspektif agama resmi dan akhirnya Portugal masuk dan akhirnya ada yang beragama Katolik dan akhirnya raja Ola Adobala yang bijak itu dengan bantuan Konstantino (yang duluan masuk Katolik ) menjadi Don Fransesco Dias Viera Godinho (Jalan yang Benar dari Allah). Dan Sang Raja akhirnya memeluk erat sang Bunda tepat di kakinya, di Korke tempatnya bersemayam selama lebih dari hampir 100 tahun hanya menjadi patung yang sakti dan penuh mistik (Nitung) yang disembah. Dan akhirnya Belanda masuk dengan kekakuan evangelisasinya tapi Sang Gaspar Seberang DVG II lalu menampik Residen Hasser dengan kata-kata heroiknya, “Lebe baijk mati semoeanja darie poetar Agama!”
Tatkala itu, dengan begitu mudahnya Raja Don Fransesco Ola Adobala DVG, menyerahkan tongkatnya lambang penyerahan total kekuasaan spiritualnya (yang sebelumnya animisme dan mengabdi ke gunung) sebagai hamba dan Abdi Tuan Ma (Servus Mariae). Dan benar-benar mengabdi. Dan penggantinya Don Gaspar DVG I mulai menyertakan Tuan Ma dalam prosesi yang mengawinkan adat, tradisi dan agama itu secara kokoh hingga saat ini.
“No..dulu waktu Belanda serang Larantuka, gagal total karena orang Portugal, Portugis itam, orang Nagi, orang belakang guno semua bersatu di bawah kaki Bunda. Jadi Belanda kalah jo lari. Kapal Belanda banya anco jo bale pi Solor mo Kupang. Bom te meledak. Jepang po sama, cuma liat laut jo..Nagi telia, biru data Nagi nih..,” Cerita nenek saya setiap kali mau persisan (prosesi).
Tuan Ma, yang dua tangannya terbuka hendak merangkul semua dan segala. Yang oleh Lorenso DVG II menjadi kekuatan menyebarkan agama ke seluruh wilayah kerajaannya termasuk ke Sikka dan Paga dan akhirnya menyerahkn tongkatx di tangan Tuan Reinha. Tuan Ma sebagai “Ike kwaat”, “chi”, “Soul” bagi siapa yang bernaung dibawah mantel birunya, yang bertahan hingga saman yang seharusnya bisa mengikisnya dengan segala aliran global yang menggelegar jiwa.
Tuan Ma yang dulunya membuat kota ini mati dari kegaduhan, baik hal-hal sekulir maupun spiritual menjelang tri hari suci. “Torang dulu, lewat kapela tu toleh jo semba lewado jo kru di dai. Te bole tesibu ka omo kerawa depan kapela. Mo persisan tu, mula mo terewa tu so mulai tenang. Apalagi Kamis malam mo Jumad tu tediam mati pung. Dulu tetua biasa tite jagong, sejak Kamis abi misa tu anta ampe Sabtu petang tu te boleh semuremu mo bunyi bebatu tu. Apalagi bunyi Radio, gramafone ka apa ka. Tetua betau patong di lua kepela, pintu kapela tebuka, tebole tesibu. Jadi rasa beto Tuan Deo pung sengsara. Sekerang so ne,” begitu mama Theresia Riberu itu kalo cerita.
Hemm…Mata itu seperti sembab, tapi tetap ada kasih yang jujur tersembunyi di balik senyumNya yang abadi. Eternal smile and love. Dan kita hari ini, entah seterusnya, apakah masih sama dengan merek-mereka dulu yang begitu utuh dan jujur?
“Ai sekerang nih, org Nagi bediri di tepi paga jo menonto pesiarah. Kelakinya Kamis malam tu mabo eso te iko persisan jadi menonto di belakang paga. Ma ma po sama, so te rasa macam yang jalan anta Ananya Yesus yang sengara tu Tuan Renya. Lepa Tuan Ma jalan sendiri mo peziarah. Me terabe roa bangga betau ini torang pung tradisi satu-satunya di dunia. Hemm..nanti tunggu mo angi besa ka banjir baru ae mata melele, tanga gemeta jo…” hendak berlindung ya santa Bunda Allah..!”
“Ana-ana muda po sama, ada yang jalan tetawa kiki ki…jo ba mo hp… foto sana sini..! What will we do now..!? Hufff…Bersambung…
(Watowele adalah tokoh sakti yang terpatri dalam keyakinan bahwa Ibu Ile Jadi itu adalah sentral kekuatan saman dulu, korelasinya dengan Tuan Ma?)