Oleh Mini Temaluru (Desainer Gereja Reinah Rorasi)
Once upon a time in 2001. Tuan Ma chappel..True History, Eternal Legend and Great Mistery.
Pagi itu, Pa Margono dan tukangnya sudah datang lebih dulu. Tidak seperti biasanya. Cuaca kota tua ini cerah. Saya berdiri depan tangga lama yang mau dirubah lebih luas. “Pa, saya boleh cerita gak, ada yang mau saya tanyakan,” sapa Pa Mar pagi itu setelah duduk sejenak.
“Oh boleh mas,” jawab saya sambil melirik Om Baco Hadjon, tukang tua asal Waibalun yang juga barusan datang. “Semalam saya mimpi pak.” “Mimpi apa mas, ” saya bergurau. “Ada seorang wanita yang berdiri di pintu kapel ini lalu tersenyum pada saya. Dia memakai kerudung warna biru seperti orang-orang dari Arab sana. Wajahnya cantik, dan cuma tersenyum pada saya lalu menghilang ke dalam kapel ini. Saya agak takut karena baru melihat wanita itu,” cerita Mas Mar sedikit terlihat bingung dengan mimpinya. Wajah bulatx terlihat sepert ingin tahu.
Saya tersenyum saja dan mengatakan, “Nanti mas tahu siapa yang datang dalam mimpi mas,” ujarku.
Mas Margono bersama Mas Yadi dan teman-temannya adalah tukang asal Jawa beragama muslim yang diminta panitia untuk mengerjakan Kapel Tuan Ma bersama tukang-tukang Nagi. Mereka ditugaskan untuk mengerjakan tampak depan yang terlihat agak rumit.
Setelah ditunju foto Tuan Ma, Mas Mar sangat terkejut dan berguman. “Jadi Ibu ini yang saya lihat semalam. Aduuh, ampunn,” kata Mas Mar kaget. Pekerjaan mereka itu jalan tanpa kendala dan dilanjutkan hingga akhir pencapaian desain sesuai gambarnya.
Suatu sore, saat masih sibuk-sibuk menunjukan gambar teknis pada tukangtukang itu, seorang ibu datang agak tergesa-gesa. Ada beberapa tukang asal Jawa yang sedang bekerja di depan kapel. Dengan rasa ingin tahu yang tinggi, beliau menanyakan, apakah ini sebuah kapel ?.
Saya kebetukan berada di tempat itu, langsung mengajak ngobrol ibu itu. Dia bermobil abu-abu sepertinya mobil izusu panther. “Pak, kalo benar ini kapel maka saya boleh berdoa ?” pintanya dengan sopan.
“Saya datang tadi berdiri lama depan pagar. Mencocokan ingatan saya dalam benak saya denagn model dan warna pagar dan suasana kapel ini. Saya dari Bajawa pak. Saya disuruh datang ke sini dalam doa dan terlihat dalam mimpi beberapa malam lalu, suami saya sakit pak. Saya melewati banyak kapel di pinggir jalan selama perjalanan dari tempat saya dan tidak saya temukan apa yang nampak dalam penglihatan saya itu. Dan baru saya rasa legah setelah saya menemukan yang saya cari. Dan tidak salah, inilah kapel yang saya cari. Bentuk pagar, warna, bentuk bangunan semuanya persis pak,” ujar Ibu itu dengan penuh semangat.
“Iya ini kapel yang sedang direnovasi bu. Ini kapela Tuan Ma. Ibu boleh berdoa dulu,” kataku sejenak. “Oh.. Boleh pak?”
Beliau sedikit kaget ketika tahu ini kapel Tuan Ma. “Boleh saya berdoa di dalam?” “Boleh Bu.” Saya memanggil Tesereru om Stanis Bala yang tiap hari datang membersihkan kapel dari kayu-kayu bekas dan kotoran semen bekas kerja, untuk antar ibu itu berdoa.
Setengah jam kemudian beliau keluar dengan wajah sumringah. “Makasih Tuhan dan Bunda. Saya dari Bajawa pak. Ternyata kapel itu ada di Larantuka, dan ternyata kapela Tuan Ma yang terkenal itu,” ujarnya sebelum pamitan. “Semoga suami Ibu cepat sembuh yah..”
Seminggu kemudian, ibu itu membantu sedikit dana yang akhirnya dipakai buat keramik dan lain-lain. Jika itu mukjizat, itulah kenyataannya bahwa suaminya sembuh setelah itu dari berbagai pengobatannya..!
Bagaimana keyakinan bahwa Tuan Ma mencintai tanpa batas. Siapa saja, Agama apa saja, dari mana saja, kaum apa saja,. Her Love No Limit.
Tuan Ma
Seorang Mama, Ina, Ema…dengan wajah jujur yang memancarkan kelembutan tiada taranya. Sampai saat ini, tidak ada bukti otentik apapun soal kedatangan Tuan Ma. Entah apa itu negeri asal maupun siapa yang bawa maupun tepatnya tahun berapa. Hanya bercerita tentang siapa yang menemukan. Sumber tertulis sangat minim karena Tuan Ma masuk Larantuka, orang dulu masih banyak yang kafir dan buta huruf. Angka tahunnya dihitung berdasarkan ekspansi dagang dan missioner Portugal dan Spanyol ke kepulauan Solor waktu itu. Dan, sepertinya hanya ada 2 armada itu yakni Spanyol dan Portugal yang lebih mungkin menjadi asal muasal patung sakral itu. Dan ini cerita turun temurun secara lisan. Tradisi lisan dgn pesan imperatif,” cerita bebeto, cerita salah, tanah makan engko.!”.
Om Kobus Resiona, mantan guruku di salah satu SDK tertua di NTT yang oleh Raja Don Gaspar Seberang DVG bersama pastor Yohanes Hubertus Casper Franssen SVD membangunnya dalam tahun 1862 agar putri tunggalnya Dona Maria Agtha DVG bersama 24 murid lainnya bersekolah di situ, yakni SDK Santo Don Bosco. Om Kobus bertutur dengan lancar dengan tatapan yakin dari balik kacamatanya.
“Moyang Resi itu dibawa Portugal untuk sekolah di Malaka, jo di Makasar legi. Dan bale dengan bawa banyak patung. Cuma terada betau ada ba mo patung Tuan Ma. Me dia yang lebe dulu “bewa” Nagi betau ada patung yang tempu itu dianggap cukup besa dan sempurna dengan muka tengadah seperti sedang berdoa. Dan dua tangan terentang membuka di depanNya. Benar mewakili karakter kuat Bunda yang mencintai tanpa batas anak-anaknya,” Om Kobu mulai cerita.
“Cuma gini No Mini, moyang itu cerita turun temurun dalam keluarga awal-awal, Tuan Ma tu nene Resi pereto dapat pegari besa waktu pi inte ika, sipo mo bela terite dedika buat tambo di lao pante, yang ada ae Kongga, tepi para dan terapung ke tepi pase yang ada warna-warna dike. Sepertinya dalam teluk, depan Keuskupan sekarang no. Bisa jadi deka mo kantor Perikanan tu,” Om Kobu mengawali ceritanya.
“Tuan Ma yang moyang lia tu, sementara nyanyi, me lagu apa, tetua tu te tau. Bahasa lua datang no..bukan bahasa Nagi. Jo moyang tanya, engko sapa. Jo dia ambe sipo ato di pase tu jo pele mo bebatu sedike besa supaya jangan ae ba bale. Jo moyang lari bale pangge kaka ade mo raja yang dulu memang tingga di Lentukan. Sepurepu jo geroe lari kalao me so so tediam, te menyanyi legi, so te ido legi, so jadi patung tu.” “Jo om?”
“Jo moyang Resi teringa data buke tempa kebonnya tu ada Korke, (rumah Pemali tempat sesajen), tempa beri makan nene moyang mo leluhur data guno turon, Wato Wele mo Pati Golo. Itu dulu cuma sembayang kepada Bapa Ratu Lera Wulan mo Ema Nini Tanah Ekan. Jadi waktu itu, mo raja anta nae rerame mo org Nagi semua. Awal-awal tu mo kaka ade de ba Pante Besa nae jaga data tu, me dorang banya yang mesi tingga di Balela mo Pante Kebi,” lanjutnya.
” Jo sapa yang mulai bua adat tu om..?” Rasa ingin tahuku mulai bergerak naik.
“Patong tu dianggap sangat suci, keramat dan membuat torang semua sangat hormat. Jadi sebagai koten kerajaan, Raja ka no yang pimpin bua adat. Dorang pung hak tu walau patung tu dorang akui moyang Resi yang dapa jadi ba ke tempat moyang Resi pung tempa stadu sembayang. Waktu itu agama Katolik belo ada no Mini, jo waktu raja Adobala permandian tu, patong so ada lebe dulu,” jelasnya.
“Jadi semua Raja Larantuka yang ato. Sampe sekerang setelah turunan nene Resi sembayang jo org laen belo me Raja lebe dulu mengaji.”
“Oh iya Om” ujarku sebagai tanda mengerti sekarang.
“Dulu tu persisang bukan data Postu mulainya. Me sini San Domingo. Anta ke ba Pante Besa jo bale belok iko asam lubang di tepi jalan tu, jo kelao dike baru anta bale nae. Itu meka remida (Armida) pertama dari dulu sampe sekerang ni di patung Misseri Cordia Pante Besa pung,” tegasnya.
“Hemm, masih banyak yang harus kugali.” Benakku dalam diam. “Mistery yang sarat mukjizat, ahh,” gumamku.
Kawesa bersambung waktu berikutnya di rumah Rumpo yang katanya dibangun setelah korke terbakar di bukit Tuak Eha itu. Rumah yang masih mengikuti bentuk dan bahan-bahan pembuat rumah pemali dalam kerajaan Larantuka saman animisme dan dinamisme yang mengental sebelum semuanya berubah karena karya besar Allah dalam diri Maria dan Yesus sehingga jadilah Larantuka hari ini.
Untuk diingat bahwa sebagian kisah ini akan terekam dalam. “Negeri Elok di Ufuk Timur” judul buku yang sedang saya selesaikan. Mmohon doa dan dukungannya.
Saya juga mencoba menggali secara historis ilmiah dengan kaidah yang lain soal patung Tuan Ma berada. Juga kronologis kejadian kedatangan pelaut Portugal dan Spanyol lebih dara 500 tahun itu dari berbagai literatur dan bahasa tutur.
Salah satunya dengan cerita yang disematkan pada salah satu Tanjung Batu Karang di desa Bliko, Adonara Barat yang terkenal karena ganasnya arus itu. Di sebuah kampung kecil tempat banyak orang kerajaan saman dulu berada di sana. Tanjung kecil bernama Tanjung Gonsalu, baca Gonsalves (orang Nagi sebut, Aro Gonsalu).
Ada korelasinya dengan adanya Patung-Patung kudus di Nagi?. Apapaun pembenaran historisnya peristiwa dan fenomena Tuan Ma adalah Mukjizat tak terbantahkan bahwa Tuan Ma datang dalam Kebesaran Karya Allah sebagai sebuah misteri yang ajaib dalam adat, budaya, tradisi yang akhirnya mengkristal dalam kehidupan ber-Agama kerajaan Larantuka hingga hari ini.*) Bersambung…