Oleh: Frits O Fanggidae – Dosen FE-UKAW Kupang
Inflasi ibarat racun dan madu. Inflasi tinggi menjadi racun bagi perekonomian, tetapi terdapat segmen tertentu yang menangguk inflasi tinggi sebagai madu. Kalau demikian, bagaimana menyiasati inflasi tinggi agar racunnya dibuang dan madunya dapat diperas? Pada tingkat daerah, inilah saat yang tepat Kantor Perwakilan BI di daerah berinisiatif membuka ruang dialog dengan Pemerintah Daerah.
Pada aras global, perekonomian nasional menghadapi tantangan tekanan inflasi, disrupsi rantai pasok global, ketidakseimbangan permintaan (demand) dan ketersediaan penawaran (supply), peningkatan harga komoditas dan energi akibat pandemi COVID-19 serta perang di Ukraina.
Dalam kondisi normal, inflasi inti dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) bergerak beriringan. Namun saat ini, kondisi ekonomi global yang tidak stabil memicu tingginya inflasi IHK, yang bersumber dari komponen inflasi volatile food dan administered price berupa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi. Inflasi IHK Agustus 2022 tercatat 4,69% (yoy), melebihi batas atas sasaran 3,0±1%.
BI tidak merespons first round effect dari kenaikan inflasi volatile food dan administered price, melainkan dampak rambatannya (second round effect) yang berpotensi memengaruhi inflasi inti yang mencerminkan fundamental permintaan. Secara tahunan, inflasi inti Agustus 2022 masih terjaga rendah sebesar 3,04% (yoy) didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi.
Sebagai bentuk langkah mitigasi untuk mengendalikan inflasi inti, diperlukan sinergi kebijakan yang lebih kuat antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas harga dan meningkatkan ketahanan pangan melalui Rapat Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi (TPI dan TPID), serta akselerasi pelaksanaan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).
GNPIP mengoptimalkan upaya dan aksi nyata dalam stabilisasi harga pangan (dari sisi suplai) dan mendorong produksi guna meningkatkan ketahanan pangan, yang lebih terintegrasi serta berdampak nasional berlandaskan pada kerangka 4K (yaitu Ketersediaan Pasokan, Keterjangkauan Harga, Kelancaran Distribusi, serta Komunikasi yang efektif), sehingga mendukung daya beli masyarakat dan pemulihan ekonomi nasional.
Pengendalian inflasi tersebut antara lain dilakukan melalui urban farming, learning center bawang putih, modern farming, digital farming, pengembangan klaster pangan, optimalisasi penggunaan anggaran pemerintah untuk subsidi ongkos angkut, operasi pasar, perluasan Kerja sama Antar Daerah (KAD), optimalisasi peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pada titik inilah Pemerintah Daerah memiliki peran besar menyiasati inflasi, dengan memperkuat kelompok tani/produsen dan industri skala mikro dan kecil melalui mekanisme APBD.
Sesuai siklus penyusunan dan penetapan APBD, pada saat ini Pemerintah Daerah sedang menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), untuk selanjutnya dibahas dan disepakati bersama DPRD. Pada tahap ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Daerah, sejatinya perlu berinisiatif membuka ruang dialog dengan Pemerintah Daerah, agar agenda-agenda pokok GNPIP dapat diterjemahkan atau diakomodir dalam penyusunan KUA-PPAS dan selanjutnya ditetapkan menjadi APBD tahun 2023.
Inflasi tinggi yang diyakini terjadi sampai akhir tahun 2022, akan berdampak pada tahun 2023. Banyak pihak berkompeten meramalkan, tahun 2023 perekonomian terus memasuki masa suram, inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi terkontraksi, akhirnya stagflasi. Pengangguran meningkat dan menciptakan berbagai problematik sosial. Dalam kondisi demikian, dunia usaha menghadapi suku bunga tinggi dan memaksa mereka untuk tidak melakukan ekspansi, bahkan sebagian menyesuaikan kapasitas produksi dengan permintaan yang semakin menurun. Pasar memiliki keterbatasan untuk menciptakan solusi, karena itu peran pemerintah menjadi penting sekali.
Keterlibatan Pemerintah Daerah hanya dimungkinkan melalui mekanisme APBD. Karena itu penyusunan APBD 2023 sangat krusial untuk mengatasi berbagai kesulitan ekonomi tahun 2023. Sejalan dengan kebijakan besar BI, terutama berhadapan dengan inflasi yang berasal dari volatile food dan menyanggah permintaan agregat agar tetap berada pada posisi kondusif, pada tingkat daerah, program ekonomi yang fokus pada penguatan kapasitas produksi kelompok tani dan UMKM perlu mendapat porsi pembiayaan yang memadai melalui APBD.
Di Nusa Tenggara Timur misalnya, basis ekonomi masih berada pada sektor pertanian. Sektor perdagangan yang juga bertumbuh baik, banyak mengandalkan perdagangan komoditas pertanian, tetapi dengan nilai tambah yang relatif rendah, karena berupa bahan mentah. Tantangan bagi sektor perdagangan untuk meningkatkan nilai tambah terletak pada integrasi sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Karena itu perlu dipastikan dalam program ekonomi tahun 2023, bahwa program peningkatan produksi dan pengolahan komoditas pertanian perlu diprioritaskan. Multiplier effect yang tercipta melalui segitiga pertanian-industri-perdagangan, diharapkan menjadi kekuatan untuk meredam inflasi dan mendorong perekonomian tetap tumbuh positif. inilah yang menjadi madu yang harus diperas dari inflasi yang terus menanjak.*/)