
Oleh Marsel Robot (Dosen Undana, Budayawan)
Akhirnya, tergoda juga oleh aksi dan seksinya kasus Irjen Ferdy Sambo. Semula, saya tak perduli sedikit pun sejak peristiwa ini disemburkan oleh media sosial beberapa waktu lalu. Saya berpikir, tak ada yang luar biasa dari kasus ini. Toh, dewasa ini perselingkuhan nyaris tak tabu lagi dan tidak menjadi semacam rasa sial sosial yang harus dikutuk. Dan kasus yang seperti ini terjadi pula di kampung saya. Semisal, Lina Nduing (bukan nama sebenarnya) seorang perawan desa dengan lekukan bibirnya yang menyodok libido dan tatapannya yang memagut rasa, diselingkuhi oleh Nius Bonok. Diketahui Lius Kimpur. Tapi, Nius Bonok bukan orang sembarang di Kampung. Ia Tu’a Golo (tua adat) yang berperan sebagai penjaga moral masyarakat di kampung. Karena rasa tak tahan, atau ada motif untuk menciptakan mitos tertentu, Lius Kimpur membocorkan kasus itu kepada Gnes Rengus (istri Kraeng Nius Bonok). Rekayasa dikonstruksi dalam kelam sekelam kasus itu. Episode horor (pembunuhan) pun terjadi demi menghapus jejak hitam.
Nah, yang menarik dan menjadi magik kasus ini oleh karena: Pertama, ada unsur sandiwara yang melibatkan pendekar-pendekar hebat. Teaterikalnya begitu apik, rumit, sangar, dan kru yang luas. Ada petinggi atau pati-pati kepolisian. Itulah sebabnya, getaran kasusnya menghentak dan membentak banyak orang. Kedua, kasus ini terjadi di institusi kepolisian yang didaulat negara sebagai penjaga moral masyarakat. Institusi yang dipandang berwibawa. Lihatlah, polisi megenakan seragam resmi berwarna cokelat sebagai simbol kewibawaan, bijaksana, dan tidak berpihak. Ketiga, yang lebih nyentrik lagi, kasus ini ditutup-tutupi dan cara penyelesaiannya dibuatkan lika-liku yang begitu terjal. Kondisi ini justeru terkesan menggadaikan wibawa dan profesionalitas kepolisian. Dan barangkali, karena banyak aktor yang terlibat, sehingga begitu sulit untuk memilah siapa yang digadang dan siapa yang disayang. Rumit memang dan memang rumit. Bagai merangkai badai dengan kafan. Keempat, masyarakat mudah mengandaikan bahwa kasus yang ditangani polisi selalu membelitkan dan memberatkan. Bayangkan, kasus yang terjadi dalam rumah tangga sendiri begitu pelik dan rumit, apalagi menangani kasus yang terjadi di luar sana.
Simpang-siurnya kasus ini dimanfaatkan secara jitu oleh pihak ketiga. Lantas, siapa pihak ketiga yang membuat kasus ini heboh, menyingkirkan semua isu lain, termasuk isu kandidat presiden 2024? Tentu bukan AKP Rita Yuliana yang terus-menerus dibrondong pistol tuduhan itu. Malahan, dalam tawanan dugaan itu, Rita semakin genit dan cantik menyimpan misteri. Rita, dengan tubuh montok menggergaji pikiran, cahaya matanya menggelapkan akal, relief dagunya merenggut nafsu begitu hemat berbicara. Pihak ketiga yang menghebohkan kasus ini adalah media sosial. Dia tak kalah genitnya dari Rita Yuliana. Dialah yang paling terlibat dalam menggemburkan keadaan dan menghamburkan kasus ini setiap jengkal waktu. Nyaris tak ada peristiwa nasional sesensasi ini. Tak ada film kolosal Korea sesentimentil ini. Hanya sedikit jedah oleh penampilan Farel Prayoga yang bernyanyi lagu cinta di depan Presiden Jokowi dan para pejabat negara pada perayaan HUT 77 RI di Istana Negara. Para menteri dan undangan bergoyang riah. Undangan mengenakan pakaian daerah masing-masing menuansakan suasana kebangsaan begitu lengket di langit Indonesia.
Kembali ke agenda media sosial. Bayangkan, semua platform media sosial menayangkan kasus ini. Anda dibuatnya tergantung pada peristiwa ini. Ia menuntun Anda untuk ikut menikmati dan memikirkan kasus itu. Semakin kuat karakteristik gosip dalam berita itu, semakin viral berita itu. Kondisi ini sangat relevan dengan masyarakat komunal yang mempercayai sesuatu kasus karena viralitasnya itu.
Pertanyaan genting yang melenting-lenting dalam pikiran Anda, mengapa media sosial begitu lebay dan bergairah mengeksploitasi kasus ini? Hemat saya, oleh karena: Pertama, media sebagai lidah masyarakat dipandang perlu memeriksa kelakuan polisi yang sering memeriksa masyarakat. Media (sosial) bertugas mewartakan, sekaligus menjalankan tugas kontrol sosial. Tanpa media sosial, kasus setengik ini boleh jadi dibiarkan ditelan monster waktu. Kedua, karena ada gelagat dari kru Ferdy Sambo untuk menguburkan kasus ini bersama Brigadir Josua. Sengaja ditutup-tutupi karena banyaknya aktor yang terlibat tadi. Dengan demikian, ketika diusut sana diusut sini, maka kena di sana, kena di sini. Kapolri terkesan tak berdaya, sampai-sampai Presiden Jokowi empat kali mewantikan Kapolri untuk segera mengungkapkan kasus itu secara terang dan apa adanya.
Sebagaimana seks, informasi mengandung unsur erotis. Semakin ditutup-tutupi dan disingsing sedikit demi sedikit, maka hasrat dan libido keingintahuan pembaca kian kuat, kencang, dan tegang. Belum lagi, teknik pewacanaan media yang mencicilkan unsur news (mirip gosip) atau sengaja menghilangkan unsur what (apa) misalnya, untuk menyisahkan kasus itu dalam benak pembaca, sekaligus mendorongnya untuk menginterpretasi dan terus-menerus meniupkan kasus itu ke aula massa. Dengan kata lain, media sosial begitu rajin menaburkan sekaligus mengaburkan kasus, sehingga efek magik news terasa merebut rasa ingin tahu masyarakat. Pada pihak lain, media sosial sungguh memahami bahwa berita mirip gosip adalah makanan lezat bagi masyarakat komunal dengan tingkat literasi di bawah rata-rata. Karena itu, medsos begitu genit mencari informasi sensasional yang bersentuhan atau sengaja disentuhkan dengan kasus Sambo ini. Pekerja media pun paham psikologi massa, bahwa masyarakat paling doyan melahap berita yang menjelekkan atau doyan membuka aib orang.
Hari-hari ini terasa kejam merajam institusi kepolisian. Meski perlahan, siuman dari kesurupan akibat terperosok dalam percobaan sosial yang menyakitkan. Namun, boleh jadi, ada bulir-bulir pesan yang tumbuh di antara lumpur masalah itu. Setidaknya, Ferdy Sambo adalah tokoh antagon yang membawa pesan positif dengan cara negatif. Ia sedang membuka jendela kecil bagi tuan-tuan polisi untuk “menengok ke dalam sebelum bicara”, kata Ebied G. Ade. Tak usalah memberikan dekorasi masalah hingga hilang esensinya. Tak usalah meromantisir keadaan dan mendramatisir kasus. Katakan apa adanya, bukan karena adanya apa. Letakkan sangkur di pojok ruang tengah. Lalu, berangkatlah “ke dalam” (diri). Ketahuan, kita hanya rongsokan dengan diri penuh luka dan lekang oleh duka. Sesekali kita mendengar nasihat sendu Pance Pondag dalam lagu “Jangan Salahkan Siapa”. Dalam kata-kata yang sayu, Pance mewanti:
Sampai kapan kau menutupi
Apa yang di hatimu
Sampai kapan lagi kau hindari kenyataan.*/) (Artikel ini pernah dimuat di Harian Victory News, Senin 22 Agustus 2022)