SEKELUMIT TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BRIGPOL JOSHUA HUTABARAT

1536
Dr. Yanto M.P. Ekon, SH.,M.Hum

 Oleh Dr. Yanto  M.P. Ekon, SH.,M.Hum

(Dosen FH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang-NTT)

Tindak pidana pembunuhan yang menewaskan Brigpol J. HUTABARAT, yang bertugas sebagai ajudan seorang petinggi POLRI bernama Irjen FERDI SAMBO setiap hari menghiasi media baik media cetak, elektronik maupun media sosial. Menurut Prof Dr. Mahfud, MD (Menkopolhukam RI) bahwa tindak pidana pembunuhan Brigpol JOSHUA HUTABARAT terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yakni pelaku pembunuhan, pelaku yang menghalangi penyidikan (obstruction of justice) dan pelaku pelanggaran disiplin kepolisian.

Pelaku pembunuhan dapat diterapkan hukum dan hukuman sesuai dengan fakta-fakta hukum yang ditemukan dalam persidangan. Apabila fakta persidangan membuktikan perbuatan pelaku terbukti menurut hukum dan tidak ditemukan alasan pemaaf atau penghapusan hukuman maka pelaku dipidana. Sebaliknya apabila perbuatan pelaku terpenuhi tetapi terdapat alasan pemaaf atau penghapusan pidana maka pelaku dapat dilepaskan dari segala tuntutan hukum, sedangkan jika perbuatan pelaku tidak terbukti melakukan tindak pidana maka pelaku harus dibebaskan dari hukuman.  Persoalan yuridis yang ingin dianalisis dalam tulisan singkat ini adalah ketentuan hukum pidana manakah yang tepat diterapkan oleh penegak hukum kepada pelaku pembunuhan? Apakah terdapat alasan penghapusan pidana dalam peristiwa pembunuhan terhadap Brigpol J. Hutabarat?

Penerapan Hukum Bagi Pelaku Pembunuhan

Data dalam menentukan seseorang sebagai pelaku (tersangka, terdakwa, terpidana) tindak pidana pembunuhan, terdapat 2 (dua) jenis yaitu ketentuan hukum (rule) dan fakta yang berkaitan dengan hukum itu. Ketentuan hukum yang dapat diterapkan kepada seorang pelaku tindak pidana pembunuhan adalah Bab XIX Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa Orang, Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum materil dan Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum formil. Kemudian menurut berbagai pemberitaan media bahwa berdasarkan fakta yang ditemukan oleh penyidik dalam tindak pidana pembunuhan ini, telah ditetapkan  5 (lima) tersangka yakni Irjen Polisi FS, Bharada E, Bripka RR, KM dan PC dengan peranan masing-masing. Tersangka Irjen Polisi FS sebagai orang yang membujuk melakukan pembunuhan dan membuat skenario seolah-olah peristiwa tewasnya Brigpol JOSHUA (korban) karena terjadi tembak-menembak, sedangkan Bharada E sebagai orang yang menembak korban, Bripka RR dan K sebagai orang yang membantu dan turut menyaksikan peristiwa penembakan serta PC memiliki peran yang masih dalam pendalaman penyidik.

Berdasarkan hukum dan fakta penyidikan tersebut maka ketentuan hukum materil yang dapat diterapkan kepada tersangka Irjen Polisi FS dan Bharada E adalah Pasal 340 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP atau Pasal 338 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Sebaliknya Bripka RR dan KM dapat diterapkan ketentuan Pasal 340 Jo. Pasal 56 KUHP atau Pasal 338 Jo. Pasal 56 KUHP. Pasal 338 KUHP menetapkan: “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Unsur esensial dari Pasal 338 KUHP adalah “dengan sengaja menghilangkan nyawa orang”. Menurut Pasal 11 Crimineel Wetboek Nederland tahun 1809, sengaja (opzet) adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Jadi untuk terbuktinya unsur ini harus dibuktikan 2 (dua) hal yaitu pertama; adanya kematian korban dan kematian itu diakibatkan oleh perbuatan pelaku karena sengaja dan kedua; perbuatan pelaku menghilangkan nyawa korban harus dengan segera setelah timbul niat atau maksud dan tidak dipikir-pikir lebih lama. Sebaliknya Pasal 340 KUHP menetapkan “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”. Unsur ensensial dari ketentuan Pasal 340 KUHP yang berbeda dengan Pasal 338 KUHP adalah “pembunuhan itu direncanakan terlebih dahulu” artinya pelaksanaan pembunuhan ditangguhkan oleh pelaku setelah timbul niat untuk mengatur rencana tentang cara melakukan pembunuhan. Jarak antara waktu timbulnya niat dengan pelaksanaan pembunuhan masih ada, sehingga si pelaku masih dapat berpikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan atau waktu luang itu digunakan oleh pelaku untuk melakukan persiapan pelaksanaan pembunuhan.

Ketentuan Pasal 340 KUHP maupun  Pasal 338 KUHP dan dijuntokan dengan Pasal 55 atau 56 KUHP  dapat diterapkan kepada pelaku tindak pidana pembunuhan dalam bentuk dakwaan alternatif. Maksudnya ketentuan Pasal 340 dan Pasal 338 KUHP sama-sama didakwakan kepada para pelaku pembunuhan tetapi hanya satu ketentuan hukum yang dipilih dan dibuktikan dalam persidangan pengadilan untuk diterapkan kepada pelaku. Pembuktian tentang ketentuan Pasal 340 atau 338 jo. Pasal 55 atau 56 KUHP yang diterapkan kepada pelaku tindak pidana pembunuhan menggunakan alat bukti dan barang bukti. Alat bukti adalah alat yang digunakan untuk membuktikan terjadi atau tidaknya suatu tindak pidana, sedangkan barang bukti adalah barang yang digunakan oleh pelaku untuk melakukan tindak pidana atau barang yang memiliki hubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Alat bukti dalam tindak pidana pembunuhan ini adalah alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa sedangkan barang bukti mencakup senjata dan peluru yang digunakan untuk menembak, CCTV dan lainnya. Alat bukti dan barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan Brigpol J. HUTABARAT dipastikan telah dicari dan dikumpulkan oleh penyidik dan berdasarkan alat bukti dan barang bukti tersebut maka penyidik telah menetapkan 5 (lima) orang sebagai tersangka.

Menurut jumpa pers yang dilakukan oleh Bareskrim POLRI maupun berbagai pemberitaan media dapat diduga motif dan modus terjadinya tindak pidana pembunuhan diawali adanya tindakan dari korban Brigpol J. Hutabarat (alm) yang oleh tersangka Irjend Polisi FS dianggap melukai harkat dan martabat keluarganya pada saat berada di Magelang. Kemudian setelah tiba kembali di Jakarta, korban bersama-sama dengan para pelaku masih melakukan tes PCR di rumah pribadi Irjen Polisi FS, setelah itu korban dan para pelaku menuju rumah dinas Irjen Polisi FS dan setelah tiba di rumah dinas itulah terjadi pembunuhan terhadap korban dengan cara Irjen Polisi FS memerintahkan Bharada E melakukan penembakan terhadap korban. Namun direkayasa seolah-olah tewasnya Brigpol J. Hutabarat karena terjadi tembak menembak dengan Bharada E, melalui cara Irjend Polisi FS mengambil senjata milik korban dan menembak berkali-kali ke arah tembok guna membuktikan rekayasa tembak-menembaknya.

Apabila hasil penyidikan yang disampaikan oleh Bareskrim POLRI maupun berbagai pemberitaan media sebagaimana tersebut terbukti sebagai fakta di persidangan pengadilan maka menurut penulis, tindakan Irjen Polisi FS akan memenuhi unsur pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu sebagaimana ketentuan Pasal 340 KUHP berdasarkan beberapa alasan. Pertama; niat FS melakukan pembunuhan terhadap korban sejak berada di Magelang, tepatnya setelah mengetahui tindakan korban melukai harkat dan martabat keluarganya; kedua; niat untuk melakukan pembunuhan tidak langsung dilaksanakan, melainkan menunggu setelah tiba di Jakarta; ketiga; waktu perjalanan dari Magelang ke Jakarta membutuhkan waktu kurang lebih 7 (tujuh) jam, sehingga masih ada waktu luang atau cukup waktu bagi FS untuk memutuskan rencana pembunuhan itu tetap dilaksanakan atau dibatalkan; keempat; waktu kurang lebih 7 (tujuh) jam itu, justru digunakan oleh FS untuk mempersiapkan pembunuhan, memerintahkan korban ke rumah dinas dan memerintahkan Bharada E melakukan penembakan terhadap korban dan kelima; melakukan rekayasa seolah-olah peristiwa tewasnya korban Brigpol J. Hutabarat karena terjadi tembak-menembak dengan Bharada E.

Alasan Penghapus Pidana

Berbagai media memberitakan bahwa penembakan Bharada E terhadap korban Brigpol J. Hutabarat atas dasar perintah dari Irjen Polisi FS. Oleh karena itu, persoalan yuridisnya adalah apakah tindakan penembakan oleh Bharada E dapat menghapus pemidanaan terhadapnya karena perintah jabatan? Alasan penghapusan pidana karena perintah jabatan diatur dalam Pasal 51 KUHP yang menetapkan: (1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum; (2) Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak, tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah tadi”. Perbuatan pidana karena perintah jabatan sebagai alasan peniadaan atau penghapusan pidana harus memenuhi 2 (dua) syarat komulatif, yakni pertama; perbuatan pidana itu dilakukan oleh pelaku atas dasar perintah jabatan artinya antara pemberi perintah dan yang diperintah memiliki hubungan sebagai atasan dan bawahan serta yang diperintah memiliki kewajiban untuk mentaati perintah dari pemberi perintah dan kedua; pemberi perintah harus memiliki hak, kekuasaan atau kewenangan untuk memberikan perintah itu kepada yang diperintah atau pemberi perintah tidak memiliki hak, kekuasaan dan kewenangan memberi perintah tetapi oleh yang diperintah dengan itikad baik mengira pemberi perintah memiliki hak, kekuasaan dan kewenangan untuk memberi perintah dan harus ditaati.

Hubungannya dengan peristiwa penembakan yang dilakukan oleh Bharada E terhadap korban Brigpol J. Hutabarat atas perintah Irjen Polisi FS, telah memenuhi syarat pertama sebab antara Irjen Polisi FS selaku pemberi perintah dengan Bharada E selaku yang diperintah memiliki hubungan sebagai atasan dan bawahan yakni Bharada E merupakan ajudan dari Irjen Polisi FS sehingga Bharada E memiliki kewajiban untuk taat kepada perintah Irjend Polisi FS. Namun tidak memenuhi syarat kedua, sebab Irjen Polisi FS tidak memiliki hak, kekuasaan dan kewenangan untuk memerintahkan membunuh dengan cara menembak Brigpol J. Hutabarat sebagai ajudannya, hanya karena diduga melakukan tindakan yang melukai kehormatan dan martabat keluarganya. Demikian pula Bharada E patut dan layak secara hukum tahu bahwa perintah Irjen Polisi FS selaku atasan kepadanya untuk menembak mati rekan sejawat merupakan pelanggaran hukum, sehingga wajib menolak perintah itu berdasarkan Pasal 7 ayat (3) huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia, yang menetapkan “setiap anggota POLRI yang berkedudukan sebagai bawahan wajib menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum dan norma kesusilaan”. Tindakan selanjutnya yang harus dilakukan oleh Bharada E adalah melaporkan kepada KAPOLRI selaku atasan dari Irjend Polisi FS yang memberi perintah untuk menembak mati Brigpol J. Hutabarat berdasarkan Pasal 7 ayat (3) huruf d Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 yang menetapkan “setiap anggota POLRI yang berkedudukan sebagai bawahan wajib melaporkan kepada atasan pemberi perintah atas penolakan perintah yang dilakukannya untuk memperoleh perlindungan hukum dari atasan pemberi perintah”.

Penembakan yang dilakukan oleh Bharada E terhadap Brigpol J. Hutabarat dapat memenuhi peniadaan atau penghapusan pemidanaan, apabila dalam persidangan dapat dibuktikan bahwa tindakan yang dilakukan karena overmacht atau keadaan terpaksa yang tidak dapat dihindari sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP. Ketentuan Pasal 48 KUHP menetapkan “Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan, tidak boleh dihukum”. Keadaan terpaksa atau overmacht terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu: a. Overmacht bersifat absolut artinya pelaku tidak memiliki pilihan lain, selain harus melakukan tindak pidana itu. Misalnya si A dipegang tangannya oleh orang yang lebih kuat dan dipaksa menulis tanda tangan palsu; b. Overmacht bersifat relatif artinya pelaku dalam melakukan tindak pidana masih memiliki pilihan lain, selain kehendak dari kekuasaan yang memaksa. Misalnya si A ditodong dengan senjata api dan dipaksa untuk membakar rumah si B, dalam hal ini si A dapat memilih membakar rumah si B agar nyawanya selamat atau menolak dan memilih ditembak mati; c. Overmacht karena keadaan darurat artinya suatu keadaan yang memaksa seseorang melakukan tindak pidana. Misalnya untuk menolong seseorang dalam rumah yang terbakar, maka si A harus memecahkan kaca jendela rumah sebagai pintu masuk untuk menyelamatkan orang itu.

Berdasarkan 3 (tiga) macam overmacht ini, maka tindakan Bharada E dapat ditiadakan pidananya, apabila dalam persidangan dapat dibuktikan adanya overmacht secara relatif, yaitu  penembakan yang dilakukan oleh Bharada E terhadap Brigpol J. Hutabarat berada dibawah ancaman senjata api oleh Irjend Polisi FS. Ancaman dari Irjen Polisi FS haruslah benar-benar membuat Bharada E hanya dihadapkan pada 2 (dua) pilihan yakni mengikuti perintah untuk menembak agar nyawanya selamat atau menolak menembak dan harus kehilangan nyawanya. Sebaliknya terhadap Bripka RR dan KM yang oleh penyidik menyebutkan berperan membantu tindakan pembunuhan dan menyaksikan peristiwa itu, haruslah benar-benar dibuktikan bentuk bantuan yang dilakukan. Apakah bantuan itu diberikan setelah kejadian penembakan seperti membersihkan TKP ataukah bantuan itu diberikan atas dasar perencanaan bersama dengan Irjen Polisi FS.**/

 

 

Center Align Buttons in Bootstrap