Tak Menodai Jilbabmu, Juga Tak Mengotori Jubahku

718
Tuan Kopong dan seorang wanita muslim yang sangat berjasah yang oleh masyarakat sekampungnya dikenal sebagai kakak sulung. Foto: Dokumen pribadi Tuan Kopong

Oleh Tuan Kopong MSF

Ditengah hiruk pikuk mempersoalkan perbedaan seraya membanggakan agama dengan mengkofar kafirkan yang lain, mengharamkan yang satu dan menghalalkan yang oleh mereka benar walau buruk saya kemudian teringat pada seorang wanita yang oleh masyarakat sekampungku dikenal sebagai kakak sulung kami.

Gadis kecil puluhan tahun lalu, yang kala itu masih berusiah kurang lebih 4 tahun diambil dan dirawat oleh mama dan bapakku yang adalah Katolik sejati ketika sang ibu dari gadis kecil kala itu meninggal dunia.

Bapak dan mamaku tahu betul bahwa ayah dan ibu dari gadis kecil kala itu yang hari-hari ini kupanggil sebagai mama adalah beragama Islam sejati.  Bapak dan mamaku tidak mempersoalkan agama dari orang tua si gadis kecil kala itu lantaran kekeluargaan mempererat perbedaan kami sebagai satu keluarga.

Ketidakmauan bapak dan mama membaptis dia bukan karena takut pada sang ayah yang adalah om kandung mamaku tapi lebih pada penghargaan bahwa apapun agama yang dianutnya kelak, keputusan ada pada si gadis kecil kala itu ketika dewasa. Bapak dan mamaku hanya menjalankan kewajiban sebagai orang tua dengan membesarkan, merawat dan mendampinginya sebagai anak yang berbakti dan bermanfaat bagi keluarga.

Ketika ia dewasa dan menikah di tangan bapak dan mamaku serta memutuskan untuk tetap menjadi seorang Muslimah, sedikitpun tidak ada kekecewaan dan kesedihan yang ditunjukan oleh bapak dan mamaku. Bahkan ia juga yang kemudian merawat saya dan kakak-kakak saya ketika mama dan bapak mereka ke ladang.

Kadang ia datang ke rumah kami untuk menjaga dan menyiapkan makanan bagi kami ketika bapak dan mama ke ladang atau menitipkan saya di rumahnya selama beberapa hari walau jarak yang cukup jauh kala itu.

Masih jelas dalam ingatanku ketika saya masih SD hingga SMP, saya lebih banyak menghabiskan waktu saya di rumahnya. Tidur beberapa hari di rumahnya dan bermain dengan anak-anaknya yang adalah para sepupu saya.

Sebuah kenangan indah yang menarasikan sebuah perjumpaan iman dalam perbedaan. Ia yang kala itu dirawat dan dididik dalam sebuah keluarga Katolik tidak harus menjadi Katolik. Ia dibina untuk semakin menghidupi imannya dalam agama yang dianutnya secara baik dan benar.

Demikian juga saya yang kala itu mengalami pendampingan dan perawatan dari dia yang adalah seorang Muslimah tidak harus menjadi seorang Islam. Ia merawat dan mendidik saya untuk juga semakin kuat dan tegas menghidupi iman kekatolikan saya hingga menjadi seorang Imam bagi Tuhan dan Gereja.

Dia yang berjilbab sebagai seorang Muslimah dan aku yang berjubah sebagai seorang imam Katolik pernah lahir dan besar dalam didikan yang berbeda. Ia mengalami masa-masa kecilnya dari sebuah keluarga Katolik sederhana namun tidak menodai jilbabnya.

Demikian juga saya. Dirawat dan dibesarkan olehnya dan mengalami pendidikan darinya yang adalah seorang Muslimah tidak juga menodai iman kekatolikkan saya termasuk jubahku.

Sebaliknya Jilbabnya dan Jubahku justru menjadi pujian pada sang Kuasa;

“Ya Tuhan Engkau menyediakan Damai Sejahterah Bagi Kami, Sebab Segala Sesuatu Yang Kami Kerjakan, Engkaulah Yang Melakukannya Bagi Kami.” (Yes 26:12).*/)Keluwain-Adonara, 14 Juli 2022

Center Align Buttons in Bootstrap