Oleh : Lucky F Koli-Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT
“Kemiskinan adalah fenomena pertanian. Jika pembangunan pertanian dan pangan sukses, kemiskinan di NTT pasti turun”
Pendahuluan
Tanaman jagung sebagai sumber karbohidrat bagi kebutuhan manusia dan ternak adalah jenis tanaman pangan yang sudah dikenal luas oleh masyarakat NTT. Oleh karena tanaman ini “pernah” menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat NTT. Tanaman jagung juga mudah dibudidayakan dan dapat tumbuh di seluruh wilayah NTT.
Pada tahun 2021, luas tanaman jagung di NTT mencapai lebih kurang 305 ribu ha dengan produksi sekitar 735.000 ton atau rata-rata produksi 2,4 ton per ha. Produktifitas jagung di NTT tergolong rendah, jika dibandingkan dengan produktifitas jagung nasional yang sudah mencapai 5,09 ton per ha.
Permasalahan utama rendahnya produktifitas tanaman jagung adalah keterbatasan modal usaha dan jaminan pemasaran hasil. Akibatnya petani menanam jagung menggunakan benih lokal yang berasal dari produksi sebelumnya tanpa dukungan sarana produksi (pupuk, obat-obatan) yang memadai. Ketidakmampuan petani menyediakan sarana produksi berupa benih unggul, pupuk, obat-obatan dan alsintan, sudah berlangsung sangat lama dan tidak ada upaya pemerintah untuk merubah kebiasaan tradisional itu, dengan menerapkan system budidaya tanaman jagung yang lebih modern menggunakan inovasi dan teknologi budidaya dengan dukungan pembiayaan yang memadai. Padahal salah satu factor yang paling menentukan dalam peningkatan produksi tanaman jagung adalah ketersediaan sarana produksi berupa : benih unggul, pupuk, obat-obatan, dengan dukungan alsintan sehingga memudahkan petani saat penanaman dan panen.
Kondisi ini memicu pemerintah untuk menyiapkan program yang diharapkan mampu menjadi solusi atas berbagai permasalahan petani dalam skema ekosistem pembiayaan pertanian yang dengan tagline Tanam Jagung Panen Sapi yang dikembangkan dengan pola kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
Ekosystem Pembiayaan TJPS Pola Kemitraan
Tanam Jagung Panen Sapi Pola Kemitraan (TJPS-PK) merupakan program pertanian terintegrasi antara tanaman pangan dengan peternakan yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi masyarakat yang dilaksanakan dengan pola kemitraan antara masyarakat, pemerintah dan dunia usaha. Disebut ekosystem pembiayaan karena program ini dibiayai sepenuhnya oleh Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Lembaga penjaminan (Asuransi) serta keterlibatan perusahaan yang berfungsi sebagai Off Taker yang akan membeli hasil jagung petani.
Program TJPS PK diawali dengan sosialisasi pemerintah provinsi dalam hal ini Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT kepada pemerintah kabupaten dengan melibatkan perangkat daerah terkait, pemerintah kecamatan dan desa serta tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, para penyuluh pertanian, dll. Adapun tahapan proses pelaksanaan program TJPS PK, adalah sebagai berikut :
- Sosialisasi
- Pendaftaran calon wirausaha mandiri (wiman) dan calon lahan (CW/CL)
- Verifikasi CW/CL
- Pengajuan CW/CL ke bank penyalur
- Verifikasi oleh Bank Penyalur
- Penandatanganan Perjanjian Pinjaman
- Pencairan pinjaman
- Penyaluran Sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan, pengolahan tanah)
- Penanaman dan pemeliharaan
- Panen dan pasca panen
- Pembelian hasil produksi jagung oleh off taker
- Pembelian ternak
Untuk kelancaran pelaksanaan program TJPS PK, maka pemerintah memanfaatkan tenaga-tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL), pendamping lapangan TJPS dibantu anggota TNI/PLRI (Babinsa dan Babinkamtibmas) untuk melakukan berbagai tahapan di atas sekaligus melakukan pelatihan dan pendampingan selama proses pra tanam hingga pemasaran hasil.
Sarana produksi yang disediakan dalam program TJPS PK adalah: benih jagung hybrida dengan kapasitas produksi minimal 7 ton/ha pipilan kering, pupuk, obat-obatan, pengolahan tanah, sarana pra tanam dan pasca panen, serta tenaga pendamping lapangan. Pembiayaan sarana produksi memanfaatkan skema Kredit Merdeka dari Bank NTT dan skema dana KUR dari himpunan Bank Himbara di wilayah NTT. Seluruh kebutuhan sarana produksi disediakan oleh perusahan pembeli hasil jagung (off taker) dengan jenis dan spesifikasi sarana produksi ditetapkan oleh Dinas Pertanian Provinsi NTT.
Hasil produksi jagung petani dibeli oleh off taker dengan harga yang berlaku pada saat pembelian dan tidak melampaui batas harga terendah yang telah disepakati. Pendapatan petani dari hasil penjualan jagung disisihkan 30% untuk penyediaan ternak (ternak unggas berupa ayam atau itik, ternak kecil berupa babi atau kambing, dan ternak besar/sapi). Integrasi jagung-ternak dimaksudkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan bio-massa tanaman jagung yang terbuang sekian lama menjadi pakan ternak. Skema integrasi jagung-ternak diharapkan mampu menjamin ketersediaan pangan dan menjamin ketahanan ekonomi masyarakat karena dalam kurun waktu satu tahun, terjadi peningkatan produksi jagung, bertambahnya kepemilikan aset ekonomi berupa ternak, baik ternak unggas, ternak kecil maupun ternak besar.
Kolaborasi Pentha-Helix dalam Program TJPS PK
Untuk mencapai standar produksi 7 ton per ha, memanfaatkan sarana produksi yang ada dengan jangkauan sebaran lokasi di seluruh NTT, tentu bukan pekerjaan yang mudah. Sasaran produksi 7 ton/ha adalah cara pemerintah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat karena semakin tinggi produksi akan semakin tinggi pendapatan. Karena itu dibutuhkan kerja kolaborasi dengan melibatkan berbagai stakeholders untuk menjamin semua arahan dan desain dalam program TJPS PK dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Salah satu pendekatan kolaboratif adalah dengan konsep pentha helix.
Kolaborasi pentha-helix atau multi-pihak, melibatkan : unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media, bersinergi dalam satu kesatuan gerak untuk melipatgandakan input sebagai kekuatan besar yang memiliki daya ungkit dalam menggerakan pengelolaan sumberdaya local (sumber daya manusia, sumber daya lahan dan air, serta sumber daya buatan) untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat, melalui penyediaan pembiayaan, jaminan pemasaran hasil, penerapan inovasi dan teknologi, serta pelatihan dan pendampingan.
Dalam model kolaborasi penta-helix diperlukan peran dari masing-masing aktor dalam berkontribusi berdasarkan tugas dan fungsinya. Identifikasi dan peran para aktor dalam Program TJPS PK, sebagai berikut :
- Akademisi
Peran Akademisi dalam hal ini Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPTP) NTT, menyiapkan model pertanian terintegrasi (Integrated Farming System) khususnya jagung dengan ternak, kajian penggunaan benih unggul, penggunaan jenis dan dosis pupuk, pola tanam, formulasi pakan ternak. Universitas Nusa Cendana Kupang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pendampingan dan kuliah kerja nyata mahasiswa.
- Dunia Usaha/Bisnis
Dunia Usaha/Bisnis berperan menyediakan kebutuhan masyarakat yang dapat membantu pencapaian tujuan dari program TJPS-PK. Dunia usaha yang terlibat dalam program ini adalah Lembaga Jasa Keuangan untuk menyediakan bantuan modal kerja berupa sarana produksi melalui Kredit Merdeka Bank NTT dan dana KUR dari kelompok Bank Himbara, termasuk Lembaga penjaminan (Asuransi) untuk meringankan risiko kegagalan panen akibat force majeure. Dunia usaha lainnya yang terlibat adalah perusahaan pembeli hasil jagung (off taker) yang berperan untuk menyediakan sarana produksi dan mengumpulkan seluruh hasil jagung masyarakat dengan harga yang berlaku pada saat pembelian, termasuk kesepakatan batas harga terendah.
- Komunitas
Peran Komunitas sebagai akselerator dalam program TJPS PK. Berbagai Komunitas dapat menjadi operator lapangan dalam memelihara sekaligus memberikan masukan atas implementasi program. Unsur Masyarakat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, memberikan dukungan, perhatian dan membentuk kesadaran masyarakat dalam mengelola sumberdaya lahan dan air untuk peningkatan produksi dan produktifitas tanaman jagung.
- Pemerintah
Pemerintah bertanggung jawab atas keseluruhan program TJPS-PK, dalam hal perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian dan evaluasi. Pemerintah juga berperan dalam pengembangan inovasi dan teknolgi, dukungan kemitraan publik-swasta, serta memfasilitasi kerjasama antar pemangku kepentingan dalam ekosistem TJPS-PK.
Adapun peran pemerintah diantaranya : Dinas Pertanian menyediakan petunjuk teknis peningkatan produksi jagung, menyediaakan alat dan mesin pertanian baik di hulu (alat tanam, traktor, pompa air) maupun di hilir (alat pipil, alat panen, alat pengering) menyiapkan kerjasama operasional para pihak; Dinas Peternakan menyiapkan petunjuk teknis pemeliharaan ternak, memfasilitasi penyediaan bibit ternak, melakukan pelatihan dan pendampingan bagi petani peternak; Dinas Perindustrian dan Perdagangan memfasilitasi alat dan mesih untuk pengolahan dan memfasilitasi Kerjasama pemasaran hasil antara petani dan off taker; Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, memfasilitasi pemanfaatan lahan; Dinas PUPR memfasilitasi penyediaan sumberdaya air; TNI/POLRI bantuan pendampingan petani.
- Media
Dalam program TJPS PK, peran media baik media massa maupun media sosial ikut berpengaruh bagi penyebaran informasi terkait perkembangan program. Dampak positif media sebagai penyalur informasi, dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para petani TJPS PK untuk mempromosikan produksinya dalam waktu yang relatif cepat, mudah dan murah.
Dampak yang diharapkan
Dampak yang diharapkan dari program TJPS PK, adalah : (1) terjadi peningkatan produktifitas jagung menjadi 7 ton per ha; (2) meningkatnya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi petani; (3) terjadi perubahan cara pikir (mindset) masyarakat dalam mengelola sumber daya lokal; (4) meningkatnya luas tambah tanam dan indeks pertanaman (1 kali tanam setahun menjadi 2 hingga 3 kali tanam dalam setahun); (5) meningkatnya pendapatan petani; (6) meningkatnya produktifitas tenaga kerja perdesaan, dan (7) memberikan kontribusi dalam pembentukan PDRB dan pertumbuhan ekonomi daerah.*/)Artikel ini pernah tayang di DetakPasifik.com