MEREKA YANG TANPA UPAH DAN MISKIN

150
Dr. Frits O Fanggidae

Oleh: Frits O Fanggidae – Dosen FE UKAW Kupang

Mereka yang miskin, karena bekerja tanpa upah, jumlahnya cukup banyak, yaitu 697.213 orang atau 60,82 persen dari total penduduk miskin NTT sebanyak 1.146.280 orang (Sept 2021). Mereka adalah Angkatan Kerja, yang berdasarkan Status Pekerjaan Utama, berada pada kategori Pekerja Tanpa Upah. Mereka miskin, karena tidak mempunyai pendapatan untuk mendukung pengeluaran per kapita per bulan di atas garis kemiskinan. Pada periode September 2021, BPS menetapkan Garis Kemiskinan NTT sebesar Rp. 437.606 per kapita per bulan.

Fakta ini memberi informasi kepada kita, bahwa berdasarkan konsep kemiskinan absolut yang digunakan BPS untuk mengukur kemiskinan, persoalan kemiskinan di NTT bersangkut-paut dengan persoalan pendapatan yang akut. Persoalan ini dikuatkan dengan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yang tinggi. Artinya, persoalan pendapatan yang akut tersebut sudah mendalam dan parah.

Karena itu, solusinya adalah persoalan pendapatan yang akut tersebut harus diatasi, melalui transformasi status pekerjaan utama, dari pekerjaan tanpa upah ke pekerjaan dengan upah di atas garis kemiskinan. Bagaimana transformasi ini dapat terjadi?

Dari segi Lapangan Usaha, sebagian besar angkatan kerja bekerja pada sektor pertanian. Karena itu, angkatan kerja tanpa upah tersebut diduga sebagian besar bekerja pada sektor pertanian, dan sebagian bekerja pada sektor informal perkotaan maupun perdesaan. Dengan demikian, transformasi status pekerjaan utama tersebut dapat berlangsung secara internal dan eksternal.

Transformasi internal pada lapangan usaha pertanian diarahkan untuk menjadikan mereka pekerja upahan atau menjadikan mereka memiliki usaha tani secara mandiri. Berarti masalah skill dan penguasaan faktor produksi (lahan dan modal) perlu mendapat perhatian. Transformasi eksternal dapat terjadi melalui pengalihan angkatan kerja tanpa upah dari sektor pertanian ke lapangan usaha non pertanian. Idealnya, dari pertanian ke industri dan jasa. Transformasi internal dan eksternal tersebut memerlukan kebijakan makro dan mikro yang kuat dan terukur.

Pada aras kebijakan makro, transformasi status pekerjaan utama adalah bagian dari transformasi struktur ekonomi. Struktur ekonomi NTT saat ini berkembang secara anomali dengan merujuk pada pattern fo development yang dikemukakan Chenery and Syrquin (1975). Mereka mendalilkan bahwa, perubahan struktur ekonomi kearah yang kuat dan dinamis, ditandai dengan peran relatif sektor pertanian yang semakin menurun, yang diikuti dengan meningkatnya peran relatif sektor industri, sementara sektor tersier tumbuh melandai.

Sampai sejauh ini, struktur ekonomi NTT menyimpang dari dalil Chenery and Syrquin; peran relatif sektor pertanian sedikit menurun, tetapi pertumbuhan sektor industri kecil dan stagnan; sementara sektor tersier meningkat secara signifikan. Artinya, sektor pertanian tidak berkonvergensi dengan sektor uindustri, tetapi condong ke sektor perdagangan. Akibatnya, sektor perdagangan hanya menjual (ekspor) komoditas pertanian dalam bentuk bahan mentah. Hasilnya adalah terciptanya perekonomian yang nir nilai tambah. Hal inilah penyebab besarnya angkatan kerja pada kategori pekerja tanpa upah, karena tidak tercipta lapangan usaha produktif dan kesempatan kerja yang renumeratif (berupah tetap) yang cukup.

Itu berarti dari perspektif makro, kita perlu kebijakan makro yang kuat untuk menciptakan konvergensi sektor pertanian dan industri, yang ditopang dengan sektor tersier. Jika dikaitkan dengan struktur PDRB dari sisi pengeluaran, laju pertumbuhan ekonomi NTT dalam keadaan normal stagnan pada angka 5 persen. Penyebabnya adalah sebagian besar nilai tambah dari Konsumsi RT, investasi Pemerintah dan Swasta serta Ekspor, tergerus oleh tingginya Impor barang konsumsi. Karenanya, kebijakan makro sebagaimana dimaksud harus ekspor oriented. Ekspor harus melebihi impor. Sektor industri dikembangkan dan didorong mengolah hasil pertanian dan diekspor melalui sektor perdagangan. Pada titik ini diperlukan roadmap penguatan ekspor sebagai panduan kebijakan makro. Peningkatan dan perluasan ekpor komoditas hasil pertanian olahan akan menciptakan lapangan usaha produktif dan kesempatan kerja renumeratif yang signifikan untuk menampung angkatan kerja tanpa upah.

Pada aras kebijakan mikro, perluasan lapangan usaha produktif dan kesempatan kerja renumeratif, belum menjamin terjadinya transformasi pekerja tanpa upah ke pekerja dengan upah atau pendapatan tetap, bila tidak diikuti capacity building angkatan kerja yang tepat dan terukur. Untuk itu diperlukan data yang akurat tentang keberadaan 697.213 angkatan kerja tanpa upah mersebut. Siapa nama mereka, tinggal dimana, umur berapa, keahliannya seperti apa, apa yang dapat mereka kerjakan dan apa yang paling mereka butuhkan untuk bisa bekerja produktif. Mereka inilah yang harus menjadi sasaran capacity building, terutama melalui pendidikan vokasi (informal) dan dilanjutkan dengan program ekonomi yang tepat untuk mereka.

Jika kebijakan makro dan mikro tersebut dapat disusun dan diimplementasi dengan baik, niscaya penduduk miskin NTT akan berkurang secara signifikan dalam waktu yang relatif singkat. Kalkulasinya demikian: bila transformasi status pekerjaan utama berhasil menjadikan 50% angkatan kerja tanpa upah (384.607 angkatan kerja) menjadi angkatan kerja dengan upah di atas garis kemiskinan, maka persentasi penduduk miskin NTT akan berkurang dari 20,44 persen menjadi 14,22 persen.*/)

 

Center Align Buttons in Bootstrap