Oleh Tuan Kopong MSF
Pendeta Gilbert; “Roh-roh kegelapan seperti ini ada karena kita semua percaya. That developer never work for free setan (setan itu tidak pernah kerja gratis). Saya mengetuk hati Menteri BUMN yang terhormat seorang yang sangat berprestasi bapak Erick Thohir. Masa kapasitas seperti bapak masih percaya pada dukun-dukun. Masih percaya pada paranormal-paranormal, klenik-klenik seperti itu. Sungguh sangat memalukan Pak.” ( https://makassar.tribunnews.com/2022/03/28/pendeta-gilbert-lumoindong-soal-pawang-hujan-di-mandalika-setan-tak-pernah-kerja-gratis).
Pak Pendeta, Saya tidak sedang dalam posisi percaya atau tidak percaya, mendukung atau tidak mendukung tindakan mbak Rara yang diundang oleh Pak Erick Tohir untuk melakukan pawang hujan pada perhelatan Moto GP di Mandalika beberapa hari yang lalu. Tapi saya lebih menempatkan posisi sebagai seorang tokoh agama yang tidak menghakimi dan mengadili tindakan mbak Rara.
Saya menempatkan posisi demikian karena saya menyadari posisi saya sebagai seorang tokoh agama Katolik sedang mbak Rara sendiri bukan penganut Katolik dan juga menyadari bahwa agama juga tidak bisa menjadi satu-satunya alat ukur untuk menilai tindakan orang lain, termasuk agama juga menjadi satu-satunya solusi bagi persoalan kehidupan.
Jika agama bisa menyelesaikan semua masalah, mengapa masih saja ada ujaran kebencian, kebohongan, fitnah antar sesama umat beragama? Mengapa masih saja ada yang menjadi atheis? Mengapa masih ada korupsi, pelecehan seksual, kekerasan dan intoleransi atas nama agama? Jika kemudian muncul alasan bahwa itu adalah keputusan, pilihan dan tindakan pribadi serta kesalahan dalam menafsirkan ajaran agama sehingga adanya situasi demikian, namun dalam kenyataanya agama juga yang dibawa dan dijadikan pembelaan atas tindakan buruk mereka dan juga menunjukan bahwa tindakan ataupun aksi mbak Rara adalah sebuah pilihan dan keyakinan pribadi mbak Rara.
Saya sejatinya telah mengulas aksi mbak Rara dalam konteks kehidupan sosial bermasyarakat dan tidak perlu dilupakan bahwa kita hidup ditengah dan berdampingan dengan kearifan lokal yang kalau dilihat dari konteks agama memang tidak memiliki keterkaitan namun bukan berarti untuk dihakimi dan diadili bahkan hingga menilai sebagai tindakan setan.
Jika pak Pendeta mengatakan bahwa tutup saja semua rumah sakit karena kearifan lokal kita dari dulu adalah dukun, maka saya juga bisa mengatakan untuk apa ada agama kalau toh masih ada yang memilih menjadi seorang atheis, atau hanya menjadikan agama sebagai tameng dan perisai untuk melindungi keburukan seperti ujaran kebencian, fitnah dan hoax pada agama lain? Mengapa masih ada banjir di mana-mana ketika hujan turun, kalau agama bisa menyelesaikan semuanya?
Kita bisa mengatakan bahwa sikap intoleran dan penyebar ujaran kebencian, fitnah dan hoax pada agama lain bukanlah orang beragama seperti para teroris tetapi mengapa semuanya itu lahir atas nama agama? Apakah orang atheis ataupun kejawen seperti mbak Rara, pernah terdengar di negeri ini melakukan aksi-aksi intoleran atas nama keyakinan dan pilihan mereka?
Maka dari itu menurut hemat saya penilaian Pak Pendeta atas aksi mbak Rara di Mandalika sudah terlalu jauh dan offside pak. Alasannya; Mbak Rara bukan salah satu dari jemaat pak Pendeta dan karena itu menjadi salah alamat ketika menilai aksi mbak Rara dengan menggunakan ajaran agama bapak. Seharusnya pak Pendeta menyadari bahwa ajaran agama bapak pertama-tama adalah untuk mengajari dan menilai tindakan dan perilaku jemaat bapak dan bukan untuk menilai aksi mbak Rara. Sebagai sesama tokoh agama kita perlu menyadari hal ini juga. Ada batasan yang perlu juga kita hargai.
Lantas mengapa korupsi, intoleransi, ujaran kebencian, penyebaran fitnah dan hoax serta teroris harus kita nilai dan kutuk meskipun pelakunya bukan jemaat kita? Karena tindakan mereka menimbulkan keresaan dan perpecahan dalam kehidupan bersama. Tindakan mereka menodai martabat kebaikan bersama yang menjadi cita-cita semua umat manusia dan beragama. Maka pertanyaannya; “apakah aksi mbak Rara merusak persatuan dan kesatuan bangsa dan negara? Apakah aksi mbak Rara menodai martabat kebaikan bersama? Menjadi rusak dan menimbulkan keresahan karena banyak orang termasuk bapak menilai aksi mbak Rara yang sejatinya untuk kebaikan bersama dari kacamata agama yang bapak anut.
Maka sekali lagi agar penilaian kita tidak menimbulkan kegaduhan butuh kebijaksanaan untuk melihat apakah aksi mbak Rara itu menimbulkan kerugian pada pihak lain dalam seperti: banyak orang beragama akhirnya memilih untuk tidak beragama lagi dan bahkan tidak percaya lagi sama Tuhan. Kalau itu yang terjadi bapak boleh menilai. Tapi kenyataannya tidak ada yang memilih menjadi atheis atau juga tidak ada yang tidak lagi percaya pada Tuhan melainkan yang terjadi semakin beriman kepada Tuhan bukan karena aksi mbak Rara tetapi karena memang sudah menyatu dan berakar dengan Tuhan yang diimani.
Penilaian bapak saya anggap offside karena pak juga mengatakan setan itu kerja tidak ada yang gratis. Lantas uang yang bapak terima dari hasil pelayanan bapak, dari mana? Kalau selama pelayanan bapak semuanya gratis, maka saya memuji kemuliaan hati bapak. Namun benarkah demikian? Hanya pak Pendeta dan Tuhan yang tahu. Jika pak Pendeta mengatakan bahwa setan itu tidak pernah kerja gratis artinya kita semua mulai dari Presiden termasuk para karyawan biasa serta saya dan bapak adalah setan juga. Toh kita semua mendapatkan upah dari pekerjaan kita, artinya tidak gratis. Aneh tapi menggelikan pak Pendeta.
Maka dari itu, daripada pak Pendeta menghakimi aksi mbak Rara termasuk pak Erick Tohir yang dari aksi mereka itu tidak menimbulkan kerugian material apa-apa, termasuk juga tidak merusak persatuan dan kesatuan bangsa, akan menjadi lebih terhormat dan bermartabat kalau pak Pandeta mengurusi dan mendampingi terlebih dahulu sesama rekan oknum pendeta yang juga memfitnah agama lain, menyebarkan kebencian dan kebohongan yang dengan jelas dan tegas justru merusak persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Kalau mengaku pengikut Kristus maka “sakit hati” yang dialami karena merasa sebagai minoritas yang katanya jauh dari keadilan tidak harus dibalas dengan ujaran kebencian dan fitnah tetapi dengan cara yang santun sesuai dengan ajaran Kristus.
Bagi saya mereka yang menyebarkan kebencian dan fitnah dan menjelekan agama lain adalah lebih “setan” karena merusak persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara daripada aksi seorang mbak Rara di Mandalika.
Saya juga merasakan adanya ketidakadilan yang dialami oleh agama saya Katolik, tetapi apakah kemudian atas nama alasan itu saya kemudian menyebarkan kebencian dan fitnah serta menjelekan agama yang lain? Tidak! Saya tetap memberikan kritikan namun tetap mengedepankan kesantunan dan etika.
Maka dari itu pak Pdt. Gilbert, sebagai sesama tokoh agama lebih terhormat kita mengurusi umat kita dulu termasuk dalam hal ini baiklah bapak mendampingi sesama rekan oknum pendeta yang suka mengujarkan kebencian dan fitnah pada agama mereka sebelumnya sehingga menjadi lebih baik dan betul-betul menghidupi semangat dan spiritualitas ajaran dan karya Yesus Kristus yang mencintai, mendoakan dan bukan membalas kejahatan dengan kejahatan (bdk. Mat 5:38-39).
“Jika masih merasa gusar dengan aksi mbak Rara, saya justru mengatakan bahwa itu adalah pertanda mereka sedang terombang-ambing oleh imannya sendiri bahkan mulai ragu dengan kemahakuaasan Tuhan yang diimani.”**)Manila: 30 Maret 2022