KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi NTT membantah bahwa minyak goreng sedang langka di NTT. Bahkan, dinas yang kini dipimpin oleh Muhamad Nazir itu menyimpulkan bahwa kepanikan warga NTT jauh lebih tinggi dibandingkan harga minyak goreng di pasaran.
“Berita soal kelangkaan dan penimbunan minyak goreng di NTT, saya pertama yang bantah. Dimana ada kelangkaan, semua orang pakai minyak goreng. Kalau terjadi kekurangan stok iya, bahkan bimoli mungkin masih ada jika dicari. Memang hanya di beberapa tempat saja, jadi bukan ada kelangkaan atau ada penimbuan minyak goreng. Kepanikan warga lebih tinggi daripada harga minyak goreng di pasar,” sebut Kadis Perindag Provinsi NTT, M. Nazir melalaui Kabid Pengembangan Perdagangan, Kirenius Tallo yang dihubungi SelatanIndonesia.com, Rabu (23/3/2022).
Kirenius mengatakan, sekarang tidak ada lagi dikotomi bimoli dan bukan bimoli tetapi semua sama dalam kemasan. “Menurut ketentuan Kementrian Permendag No 6 membedakan antara minyak goreng berkemasan premium, kemasan sedeharan dan curah. Diberlakukan dengan harga premium Rp 14.000/liter, kemasan sederhana Rp 13.500/liter, sedangkan mintak goreng curah Rp 11.500/liter. Namun dalam perjalanan terjadi banyak ketimpangan baik dari distribusi dan harga. Memeng ada yang ikut HET (Harga Eceran Terendah) tapi masih ada pelaku usaha yang tidak taat HET,” jelas Kirenius.
Atas kondisi itu, sebut Kirenius, Pemerintah Pusat mengevaluasi dan memberikan solusi lain dengan cara mencabut Permendag No 6 tahun 2022, lalu diterbitkan lagi Surat Edaran lalu terakhir muncul Pemermendag nomor 11 tahun 2022. “Karena ketidaktaatan pedagang lalu dibaut lagi kebijakan ridak ada minyak permium dan sederahan, yang ada adalah minyak goreng berkemasan, dan itu tidak ada lagi pemberlakuan HET tetapi mengikuti mekanisme pasar,” ujarnya.
Dikatakan Kirenius, Pemda NTT tidak bisa berbuat banyak ketika mekanisme pasat yang diperlakukan. “Kita dari Disperindag NTT hanya bisa menyarankan ke para pedagang. Karena kalau pedagang beli mahal maka jual mahal, kalau mereka beli murah maka jual murah, karena mereka juga mau untung. Kemudian muncul lagi surat yang mengatur tentang minyak curah lalu ada HET yang sudah berubah menjadi Rp 14.000/litar dan 15.500/Kg,” sebutnya.
Diakatakan Kirenius, Disperindag NTT hanya bisa menghimbau para pedagang untuk tidak mengambil keuntungan yang terlalau besar pada masyarakat. “Kita hanya bisa mengawasi minyak goreng curah yang sudah ada HET-nya, sedangkan minyak goreng lainnya diserahkan ke mekanisme pasar secara bebas. Palingan kita hanya berkewajiban moral untuk melakukan pengendalian, artinya hanya bisa memberikan penyadaran pada pelaku usaha dengan himbauan bahwa kalau mau untung tapi jangan teralalu mencekik, karena akan berdampak pada daya beli masyarakat yang lemah,” katanya.
Diakuinya, Dinas Perindag hanya bisa masuk ditengah, tetapi tidak ada instrumen normative karena sudah dicabut. “Mereka bebas jual, bahkan diantara mereka juga ada yang menjual tidak sama, bahkan ada yang menjual Rp 24.000-25.000/liter yang imbasanya pada masyarakat,” katanya.
Irenius mengatakan, kedepan pihaknya akan melakukan operasi pasar namun harus ada partisispasi dari para distributor. Jika para distributor juga dalam kekurangan stok maka sulit untuk melibatkan para distiribustor dalam operasi pasar. “Kondisi terakhir sedang kosong, dan saat ini stok habis dan masih dipesan, dan dalam waktu dekat akan terisi lagi,” ujarnya. Ia membantah bahwa sedang terjadi penimbunan minyak goreng oleh pihak-pihak tertentu. Yang ada adalah para distributor sedang menunggu pengiriman dari Jawa. ***Laurens Leba Tukan