Tak Ada Satupun Daerah di NTT yang Berstatus Hijau Stunting

236
Gubernur NTT, Viktor BUngtilu Laiskodat ketika meninjau pelaksanaan Posyandu bagi anak-anak di PAUD Teratai Indah, Kelurahan Kampung Sawah, Kabupaten Sumba Barat, Selasa (14/2/2022). Foto: SelatanIndonesia.com/Laurens Leba Tukan

KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) menempatkan seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berada dalam status merah dan kuning prevalensi stunting atau kekerdilan.

Dari hasil studi tersebut ditemukan, ada lima Kabupaten di NTT masuk dalam prevalensi sepuluh daerah dengan angka kekerdilan atau stunting tertinggi dari 246 Kabupaten/Kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting di Indonesia. Lima kabupaten tersebut antara lain Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur.

Bahkan, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara menempati urutan pertama dan kedua yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di Indonesia karena berada di atas 46 persen. Secara keseluruhan setidaknya ada 15 Kabupaten dari 22 Kabupaten/Kota di NTT yang berstatus Merah stunting.

“Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, NTT memiliki 15 Kabupaten berkategori Merah. Pelabelan status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen,” demikian keterangan tertulis yang dikeluarkan Biro Umum dan Humas Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Jumat (4/3/2022) dilansir dari cnnindonesia.com.

15 Kabupaten di NTT yang belabel merah stunting atau prevalensi di atas 30 persen adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka.

Dengan prevalensi stunting yang masih berada di atas 30 persen dan berstatus merah itu menempatkan NTT pada urutan teratas daerah dengan angka stunting yang sangat tinggi dibanding provinsi lainnya.

Dalam keterangan tertulis tersebut juga disampaikan NTT memiliki tujuh kabupaten dengan status kuning karena prevalensi stunting di kisaran 20-30 persen. Sehingga tidak satupun daerah di NTT yang berstatus hijau atau prevalensi stunting dibawa 20 persen.

Tujuh kabupaten/kota yang berstatus kuning antara lain Ngada, Sumba Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang, dan Flores Timur. Dari tujuh kabupaten tersebut ada tiga kabupaten yang hampir mendekati status merah yakni Ngada, Sumba Timur dan Nagekeo.

Dengan tingginya angka kasus stunting menjadikan NTT sebagai salah satu dari 12 provinsi prioritas yang memiliki prevalensi stunting tertinggi menjadi fokus utama dari BKKBN.

Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo menegaskan pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, kecamatan hingga kelurahan/desa harus segera dibentuk. “Keberadaan TPPS di semua tingkatan pemerintahan sangat membantu pencapaian target penurunan angka stunting,” ujar Hasto.

Hasto mengatakan persoalan stunting di masyarakat bukan saja menjadi urusan pemerintah tapi persoalan stunting adalah persoalan bangsa yang harus dituntaskan bersama dan membutuhkan kolaborasi di semua kalangan.

“Komitmen Presiden Joko Widodo pada tahun 2024 nanti angka stunting nasional harus berada di angka 14 persen,” ungkap Hasto yang juga Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Nasional.

Untuk itu lanjut Hasto, sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting Indonesia (RAN PASTI) yang digelar di Kupang pada Jumat (4/3/2022) sangatlah penting untuk menyamakan persepsi dan meningkatkan kolaborasi diantara seluruh pemangku kepentingan agar dapat segera mengatasi masalah stunting di Indonesia.

BKKBN Glontorkan Rp 123 miliar

Presiden RI, Joko Widodo telah menetapkan angka stunting pada tahun 2024, harus mencapai 14 persen. Dengan sisa waktu yang amat  singkat, sekitar 2 tahun lebih  upaya dan aksi nyata percepatan penurunan stunting terus digalakan. Upaya itu harus berawal dari pendataan.

“Konvergensi dan komitmen boleh tinggi tapi kalau data salah, aksi menjadi tidak tepat sasar serta hasilnya sama. Kami sudah mengembangkan aplikasi Elektronik Siap Nikah Siap Hamil (Elsimil). Tiga bulan sebelum nikah, pasangan yang akan menikah dicatat identitasnya, NIK, Umur dan dikakukan pemeriksaan anemia. Khusus calon pengantin wanita  diukur berat badannya berapa, tinggi berapa, lingkar lengan atas berapa serta indeks masa tubuhnya. Kami punya pasukan lapangan (pendamping keluarga,red) yang akan membantu pencatatan sekaligus memasukan data  dalam aplikasi Elsimil,” sebut BKKBN, Hasto Wardoyo ketika berbicara pada Sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) di di Hotel Aston Kupang, Jumat (4/3/2022).

Kegiatan yang dilakukan secara luring (luar jaringan) dan daring (dalam jaringan) tersebut dihadiri Gubernur NTT, pejabat tinggi madya  dari BKKBN, para Bupati dan Wakil Bupati se-NTT, Wakil Walikota Kupang, Wakil Ketua Tim Penggerak PKK NTT, Kepala Perwakilan BKKBN NTT, Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten/Kota se-NTT, Pimpinan Perangkat Daerah yang terlibat dalam penanganan stunting baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota se-NTT. Juga dihadiri secara daring oleh Deputi dari Sekretariat Wakil Presiden,Deputi III dari Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Dirjen Pembangunan Daerah (Bangda) Kemendagri, dan Dirjen Kesehatan Masyarakat (Kesmas) dari Kementerian Kesehatan.

Menurut mantan Bupati Kulon Progo Provinsi  Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut, aplikasi Elsimil merupakan data pencatatan  dan pelaporan yang sifatnya by name by address. Dengan laporan yang diberikan secara terus-menerus oleh pendamping keluarga yang jumlah mencapai 4.200 lebih orang yang tersebar di semua desa/kelurahan di NTT, Gubernur dan para Bupati punya data di mana calon pengantin dan bayi yang lahir yang punya potensi stunting.

“Pada dasbor pa Gubernur, setiap hari bisa terlihat  dan terpantau bayi yang lahir hari ini yang panjangnya kurang dari 48 cm itu siapa dan dimana, alamatnya di mana. Saya titip di Kaper (Kepala Perwakilan BKKBN NTT,red) agar buat dasbor ini untuk pa Gub (Gubernur,red) supaya pa gub tahu yang nikah hari ini siapa, yang lingkar lengan kurang dari 23 cm siapa dan di kabupaten mana.  Kalau tidak dikerjakan dan ditreatmen, akan  ketahuan. Kuncinya di situ. Aplikasi ini  lebih efisien karena kita tidak  mungkin bisa terapi semua masyarakat. Kami juga sudah dapat dukungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika  untuk dukungan server demi kelancaran aplikasi ini,” kata Hasto.

Lebih lanjut, Hasto menjelaskan dalam aplikasi tersebut juga akan  terekamm data keluarga beresiko tinggi stunting. Hal tersebut  dilakukan dengan  memetakan keluarga yang kalau hamil dan melahirkan bisa stunting atau tidak.

“Ini bisa diketahui dengan memotret lingkungannya seperti tidak adanya air bersih atau jambang, rumah tidak layak huni. Atau pun karena terlalu dekat melahirkan, terlalu banyak anaknya, usia terlalu muda atau terlalu tua. Semuanya  by name by adress. Semua data ada pada kami, bupati dan walikota  tak perlu cari lagi. Datanya riil dan sudah dicocokan dengan aplikasi Elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-ppgbm). Data ini juga sesuai dengan (dapat dipakai untuk,red) data kemiskinan ekstrem. Selisihnya hanya nol koma sekian persen ,” ungkap Hasto.

Untuk mendukung ini, BKKBN  mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program BKKBN di  NTT termasuk untuk penanganan stunting  sebesar Rp. 114,26 miliar pada tahun 2021. Tahun 2022 meningkat menjadi Rp. 123 miliar.

“Kami telah mengalokasikan anggaran untuk penguatan kelembagaan seperti pembentukan satgas di luar TPPS (Tim Percepatan Penurunan Stunting) yang anggotannya bukan PNS dan  melibatkan tim pakar untuk lakukan audit stunting. Insentif uang pulsa untuk para pendamping Rp 100 ribu per bulan per orang dan berbagai kegiatan lainnya. Kami juga akan membantu memberikan pendampingan bagi para bupati/walikota dalam melakukan proyeksi penurunan angka stunting berdasarkan data yang ada,” pungkas Hasto.

Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat  memberikan apresiasi kepada Kepala BKKBN karena kehadirannya telah memberikan energi baru bagi Provinsi NTT. Rencana Aksi Penurunan Stunting dari BKKBN sudah sangat jelas disertai data yang sangat baik.

“Terima kasih Kepala BKKBN yang sudah  hadir dan memberi energi (baru) bagi kami. Apa yang disampaikan oleh Kepala BKKBN terkait rencana aksi sangat komprehensif dan jelas. Saya pastikan mulai hari ini, seluruh data kita berbasis pada data pada BKKBN. Dengan data, by name by adress kita bisa langsung  kerjakan dan  lakukan langkah-langkah aksi. Melalui perencanaan yang sudah sempurna seperti itu kita tinggal eksekusi. Kalau  tidak berhasil berarti tim yang bergerak di lapangan bermasalah. Perencaan yang baik dan tepat berarti  50  persen kegiatan kita telah berhasil,” sebut Gubernur.

Ia meminta para Bupati/Walikota untuk bekerja ekstra ordinary atau secara luar biasa dan out of the box atau di luar  cara-cara yang umum. Terus menerus turun ke desa-desa dan  mempropagandakan cara penurunan stunting kepada masyarakat agar mereka punya pemahaman dan pengetahuan.

“Kalau kita bermimpi menciptakan generasi unggul NTT pada tahun 2045, maka bupati atau walikota  tidak boleh hanya berdiam diri di kantor. Harus turun ke desa-desa dan lapangan. Kita sudah berulang-ulang kali rapat tentang stunting. Saya harapkan kepada para bupati/walikota untuk bangun motivasi dan  keinginan yang kuat dalam lakukan perubahan yang besar dengan rencana yang sudah ada.  Saya yakin, kita semua tidak mau kalau pemerintah pusat terus  menempatkan  NTT sebagai provinsi dengan anak-anak stunting terbanyak di Indonesia. Karenanya,  rencana kerja  ini harus dilanjutkan sampai di tingkat desa. Sekembalinya dari sini, kita harus lakukan aksi nyata. Enam  bulan dari sekarang kita bisa lihat parameter mana yang tidak dapat dilakukan. Di kabupaten mana, kecamatan mana, dapat kita lihat,” jelas Gubernur Laiskodat.

Menurutnya, harus ada satu kesatuan gerak bersama sampai ke tingkat desa dalam dalam menurunkan angka stunting. Karena penanganan masalah stunting sebenarnya soal kepedulian dan komitmen yang kuat dari pemimpin.

“Saya harapkan ini jadi komitmen kita  bersama. Kalau kita sudah rapat begini hebat, harus ada aksi nyata berupa penurunan stunting.  Saya tegaskan ini harus jadi rapat terakhir. Kita harus malu. Saya lihat sudah mulai ada perubahan cara kerja para bupati. Kita harus meninggalkan cara kerja lama,” jelas Gubernur Laiskodat.

Dikatakan, semua telah disiapkan mulai dari perencanan, sumber daya, anggaran  serta regulasinya sudah jelas. “Lalu kalau angka stunting masih tinggi berarti kita tidak punya kepedulian. Dan sesungguhnya kualitas kepemimpnan kita diukur di situ. Saya akan diskusikan dengan Presiden agar  bupati atau walikota yang tidak turun stuntingnya, DAU-nya harus dipotong. Saya harapkan kita jadi satu kesatuan tim kerja yang baik dan  dalam semangat kolaboratif yang utuh untuk berikan martabat bagi bangsa ini khususnya provinsi yang kita cintai dan kabupaten atau kota  yang kita pimpin,” pungkas Gubernur Laiskodat.

Kegiatan Sosialisasi RAN PASTI ini dilakukan secara ofline  di 12 Provinsi yang punya angka Prevelensi Tinggi yaitu Provinsi NTT,NTB, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan,  Kalimantan Barat, Aceh, Jawa Barat, Banten,Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

Prevalensi stunting  di NTT terus mengalami tren penurunan sejak tahun 2018 yakni sebesar 35,4 persen, 2019  menjadi 30 persen. Selanjutnya tahun 2020 menjadi  24,2 persen dan tahun 2021 menurun  ke 20,9 persen. )*/cnn/biroAP

Editor: Laurens Leba Tukan

Center Align Buttons in Bootstrap