Oleh Pater Tuan Kopong MSF
Tanah itu identik dengan manusia dengan seluruh kehidupan dan keberadaannya. Sebagai pengikut Kristus; pak Gubernur pasti tahu dan paham betul bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah dan akan kembali menjadi tanah (bdk. Kej 2:7; Pengkotbah 12:7). Artinya tanah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia dan manusiapun tidak bisa dipisahkan dari tanah.
Peristiwa beberapa hari lalu di Sumba (27/11/2021) dimana pak Gubernur hadir di depan rakyatnya, masyarakatnya sendiri dan orang tuanya sendiri bukannya menjadi seorang pelayan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan namun dengan terang benderang anda hadir ibarat seorang “preman” berdasi yang leluasa tanpa sopan santun dan etika mengancam memenjarakan rakyat yang seharusnya anda lindungi beserta hak-hak hidup mereka dan bahkan dengan kasar pula mengeluarkan kata “monyet” hanya karena protes dari mereka.
Dalam setiap kunjungan kerja anda sebagaimana yang terekam dalam beberapa video di chanel-chanel youtube, pak Gubernur selalu menyuarakan pembebasan masyarakat NTT keluar dari kemisikinan dan kebodohan. Suara pembebasan ini tentu menjadi sebuah perjuangan untuk melahirkan manusia-manusia NTT yang berkualitas sebagai manusia yang bermoral dan beradat. Dan karena misi besar ini membuat anda untuk meninggalkan Jakarta demi membangun NTT sebagaimana yang anda cita-citakan.
Namun peristiwa di Sumba beberapa hari lalu itu menjadi sebuah panggung pertunjukan yang memperlihatkan kemiskinan dan kebodohan siapa yang harus diubah? Masyarakat NTT kah? Atau sang pemimpin yang selalu mengandalkan suara keras bahkan bentakan dan ancaman memenjarakan rakyatnya sendiri serta yang menyapa rakyatnya dengan panggilan “monyet” yang harus dirubah? Pak Gubernur sejatinya menyadari bahwa kebodohan itu datang ketika tutur kata dan tingkah lakunya tak menunjukan kualitas pendidikan yang ditempuh.
Tanah untuk sebagian masyarakat di NTT identik dengan kehidupan dan harga diri, pak Gubernur. Maka pak Gubernur tentu tahu dan sadar bahwa sebagian besar konflik di wilayah NTT itu selalu berhubungan dengan tanah. Maka demi tanah mereka berjuang untuk mempertahankannya, meskipun nyawa menjadi taruhan di medan perjuangan.
Maka ketika berbicara soal tanah di wilayah NTT bukan sekedar berbicara soal administrasi namun berbicara soal kepemilikan secara turun temurun. Berbicara soal kepemilikan yang diwariskan secara turun temurun yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan “tuan tanah.” Hampir di seluruh wilayah NTT, dalam konteks masyarakat adat, kepemilikan tanah tidak bisa dilepaskan dari sistem kepemilikan yang dikenal dengan “tuan tanah.” Maka cara pendekatannya pun harus melalui sebuah pembicaraan secara “adat” artinya berbicara melalui kearifan lokal masyarakat tersebut.
Keberadaan “tuan tanah” dan memiliki hak kepemilikan tanah bukan tanpa alasan. Salah satu alasan adalah karena mereka memiliki suara dan berjuang pada masa itu untuk mempertahankan tanah leluhur dari rampasan masyarakat maupun orang lain.
Pendekatan terkait status tanah di wilayah NTT mau tidak mau melalui pendekatan kearifan lokal. Di mana bukan semata-mata berbicara atas nama pemerintah dan mengklaim sebagai tanah pemerintah seraya melupakan kepemilikan masyarakat adat atas hak tanah ulayat.
Pak Gubernur NTT sebagai orang NTT tentu lahir juga dari kearifan lokal dengan segala etika, moral dan kesopan santunan yang menjadi nafas kepemimpinan pak Gubernur sebagai pelayan seluruh masyarakat NTT. Saya tetap percaya akan kearifan dan ketulusan masyarakat NTT yang akan selalu memberikan tanah mereka jika itu untuk kepentingan bersama. Banyak sekolah berdiri di wilayah NTT, itu juga berkat kebaikan para pemilik tanah “tuan tanah” yang secara tulus memberikan tanahnya demi kemajuan dan kebaikan bersama di NTT.
Jika pak sedikit membuka hati dengan penuh kesabaran mendengarkan suara Umbu Maramba Hawu bersama masyarakat yang dengan segala ketulusan telah memberikan sekian banyak hektar tanah untuk pemerintah, maka anda akan mendapatkan sebuah ketulusan dan kearifan dari masyarakat yang dilayani yang selalu mendukung kinerja bapak.
Sebagai masyarakat tentunya mendukung setiap program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini bapak sebagai Gubernur NTT. Namun keberhasilan sebuah pembangunan tidak serta merta merusak kearifan lokal. Keberhasilan pembangunan juga ditentukan oleh keberhasilan dalam menjaga, merawat dan menghidupi kearifan lokal masyarakat termasuk didalamnya mengedepankan etika, moral dan sopan santun sebagai masyarakat beradat.
Dari kejadian di Sumba itu, saya akhirnya menjadi sadar bahwa kearifan lokal bagi bapak hanya menjadi alat kampanye saat anda menyuarakan janji-janji manis kampanyemu untuk sebuah kemenangan dan kekuasaan, namun setelah kekuasaan didapatkan kearifan lokal tidak lagi menjadi teman seperjalananmu didalam membangun NTT melainkan ego sebagai penguasa yang mengancam dan merendahkan masyarakatnya sendiri.
Pak Gubernur NTT: Viktor Laiskodat, Jangan lupa bahwa anda juga lahir dari dan dalam kearifan lokal salah satu masyarakat adat di NTT. Maka bangunlah NTT dengan hati dan dengan kearifan lokal sebagaimana juga dilakukan oleh Presiden kita pak Jokowi.***
Manila: 30 November 2021