Bloto, Jalan Setapak di Jagat Maya

138
Kondisi jalan menuju Kampung Bloto, Kecamatan Adoara Timur, Kabupaten Flores Timur. Dipotret Senin (18/10/2021) Foto: Dokumen Kornelis Abon Tabi

Oleh: Kornelis Abon Tabi

Bloto Wai Matan, lebih tepat kampung di atas awan. Dari ketinggian kampung ini, bahu Adonara dan bibir pantai dapat dipotret. Sejauh mata memandang, Tanjung Naga di Lomblen Lembata dan tidur manja dirisau kemarau Solor macam ada di pelupuk mata.

Berada di sini serasa di atas awan. Kabut tipis tipis dengan udara sejuk. Di Utara kampung ini, berdiri kokoh Ile Ludu, menjulur menggenggam kampung ini. Ile Ludu dari namanya berarti bukit gundul, bukit tanpa tumbuh popohonan. Ile Ludu hanya ditumbuhi semak belukar, rerumputan, dan ilalang. Reboisasi dan Penghijauan dari program Pemerintah, gagal tumbuh. Orang kampung ini meyakini sebagaimana nama Ile Ludu, tiada apa pun pepohonan bisa hidup dan tumbuh, apalagi rimbun, lebat menjulang mencakar langit di bukit ini.

Sekalipun itu, ada kehidupan di sini. Ekosistem membentuk kehidupan, dengan mata rantainya di sini. Bloto, wajah kampungnya relatif belum banyak berubah saat ini meski ada gegap gempita dan gemerlap pembangunan.

Senin ( 18/10/2021), untuk suatu acara kedukaan sanak saudara di sana, saya datang lagi ke kampung ini, kampung ibuku, perempuan yang menggendong saya hingga hari ini.

Saya berusaha meluangkan waktu ikut acara penguburan sanak saudara ini. Dia teman saya waktu usia SD. Saat liburan ke rumah nenek di kampung ini, dia teman bermain. Dia difabel. Saya membawa dia Nowing seorang diri biarpun matanya sudah tertutup. Saya hanya ingin memberi tahu dia, sekalipun dia punya keterbatasan, dia tetaplah lelaki. Dia tetaplah seorang lelaki yang dikarunia perasaan suka, rasa cinta pada perempuan. Seperti di usia jelang dia menua umur di dunia, dia boleh mendapat seorang gadis pujaan hatinya sedari dulu meskipun kehadiran perempuan itu hanya merawati saat saat dia digerogoti penyakit tak lazim bagi orang normal. Dia jugalah yang saban kali Pemilu kami daftar dia sebagai Pemilih Disabilitas. Kehadiran ini sekaligus penghormatan untuk beliau sebagai mendiang Pemilih Kaum Difabel.

Sudah lama saya tidak ke sini. Alasannya pasti klise. Sibuk, belum punya waktu tampan, dan pelbagai alasan lain. Panorama kampung ini tak banyak berubah. Kampung yang eksotic, natural. Kampung bertangga-tangga. Block rumah warga dipisahkan oleh atu, kota (talud) dari batu alam dengan sentuhan tanah. Atu atau Kota dibangun semenjak dulu, pada saat orang belum banyak kenal semen. Menaiki tangga pun tidak dari semen, tapi dari lekak lekuk batu yang sedikit menjorok ke luar membentuk tangga alam.

Di beberapa lorong kampung sudah dipoles dengan sedikit semenisasi sehingga menghilangkan sentuhan tangga alam dari batu dan jalanan kampung berbadan tanah. Batu batu besar, sedang dan kecil dengan mozaik putih bercak bercak di punggung batu berdiri kokoh di tengah kampung, juga di kintal rumah warga tetap terjaga seperti dulu dulu. Kampung yang natural ini tidak pudar warnanya tergerus elok zaman.

Jarak dari Jalan Raya ke kampung ini kurang lebih 5 kilo meter, ke kota Kecamatan kurang lebih 10 kilo meter. Kampung ini punya area persawahan kurang lebih 1 kilo meter dari jalan raya utama. Warga menghasilkan padi dari sawah ini. Selain itu diselingi tanaman palawija dan hortikultura.

Sayang sekali, banjir bandang April silam ikut menerjang area persawahan warga. Kanal-kanal irigasi rusak diterjang banjir, air masih sulit dialirkan ke area persawahan. Belum ada semacam program rehabilitasi jaringan irigasi biarpun berskala rendah, pasca banjir bandang April silam.

Jalanan menuju ke kampung ini menanjak. Dulu ada proyek Padat Karya Pangan dari Yaspensel Keuskupan Larantuka menjamah jalan ini. Membuat badan atau bahu jalan raya lalu menanam batu hutan agar dapat menahan laju banjir musim hujan. Warga terbantu. Truck pengangkut penumpang dan barang bisa masuk kampung. Biar naik truck badan sakit, tak mengapa. Asal waktu tempuh lebih cepat dan barang tidak dipikul lagi.

Tapi tidak berlangsung lama. Banjir juga menggerus jalanan. Warga kembali seperti semula. Jalan kaki ke cabang Watanpao lalu menunggu truck ke pasar Waiwerang. Warga beruntung punya program Alokasi Dana Desa (ADD). Warga dan pemerintah pakai dana itu separuhnya untuk semenisasi jalan.

Senin kemarin, pas saya melintasi jalanan itu, jalanan sudah bergelombang. Bopeng sana sini, lubang sana sini. Mana selokan mana jalan sudah sulit kita bedakan. Jalanan ke kampung ini payah tergerus banjir. Hari hari warga melintasi jalanan ini dari kampung ke sawah tempat mereka menanam dan menyulam kehidupan hari hari.

Sekalipun jalan kampung mereka bopeng begitu, mereka orang-orang kampung ini tidak suka “berteriak”. Mereka tak biasa menyerang pemerintah yang memegang otoritas. Menagih apalagi menuntut keadilan pun sepi terdengar dari mulut mereka.

Warga kampung ini tahu betul, “orang-orang” mereka jangankan di panggung kekuasaan, di area yang dekat dengan pengambil kebijakan semisal ASN, birokrat pun hampir tiada. Mereka baru punya 1 orang ASN. Itupun sebagai Petugas Penyuluh Lapangan. Lain dari itu? Belum.

Mereka adalah generasi terlambat sekolah. Kalaupun sekolahan, paling yang sudah jadi ASN itu adalah guru-guru dan mereka mengabdi negara dari kampung saja. Bermimpi punya wakil rakyat bisa perjuangkan nasip mereka? Mereka tentu sudah sering memilih wakilnya tiap kali Pemilu. Kalaupun jarang ada wakil rakyat yang menjumpai mereka sesemarak saat jelang Pemilu 5 Tahunan, mereka tipe bukan orang penagih dan penuntut janji.

Kilau kemilau jalan raya di pelosok lain yang mereka tahu dari jagat maya, cukup membawa mimpi mereka ke suatu saat kelak…. Entah. Rindu kembali pulang ke kampung ini. Manja digendong Ile Ludu.*)

Center Align Buttons in Bootstrap