KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Penanganan stunting di Provinsi NTT kini menunjukan hasil membaik. Sejak tahun 2018 pada posisi 42 persen, kini data per 5 Mei 2021, jumlah kasus gagalnya tumbuh kembang seorang anak karena asupan gizi yang rendah pada saat masih sekitar 1.000 hari pertama kehidupan di NTT kini sisa 23,2 persen.
Capaian itu disebutkan Ketua Pokja Percepatan Pencegahan dan Penanganan Stunting Provinsi NTT, Ir. Sarah Lerry Mboeik kepada SelatanIndonesia.com belum lama ini di Kupang. Menurut Lerry, penanganan kasus stunting di NTT harus dimulai sejak 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Pasalnya, jika penanganan stunting tidak dilakukan dengan baik maka berdampak pada saat dewasa, anak dengan mudahnya terdampak penyakit tidak menular seperti diabet dan darah tinggi serta dampak ikutan lain berkaitan dengan sumber daya manusia.
Dikatakan Lerry Mboeik, data sasaran balita riil di NTT hingga Februari 2021 mencapai 441,311 dan yang telah dilakukan pengukuran tinggi dan berat badan mencapai 376.588 anak. “Dari data tersebut, ditemukan balita yang dalam kondisi sangat pendek sebanyak 23.327, bayi pendek 64.193 dan bayi stunting sebanyak 87.520 anak. Sehingga presentase jumlah stunting di NTT hingga kini sudah mulai turun mencapai 23,2 persen,” jelasnya.
Disebutkan, ketika berbicara tentang stanting, berarti diperhadapkan dengan persoalan bakal sumber daya manusia dan itu adalah persoalan terbesar.
“Kita tahu bahwa untuk bawa NTT dengan tack line NTT Bangkit Menuju Sejahtera maka mainset dan tingkat intelektual dari masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya generasi muda itulah yang harus dibangun,” ujarnya.
Dikatakan Lerry Mboeik, penanganan stunting di NTT tidak bisa dikerjakan oleh OPD Pemerintahan semata sehingga Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat membentuk Pokja karena dibutuhkan kolaborasi semua stekholder untuk terlibat dalam pencegahan stunting.
Menurut dia, tantangan paling berat pada penanganan stunting adalah pengetahuan tentang gizi keluarga yang baik kepada keluarga yang masih minim. “Dimana ada kantong kemiskinan, maka disitu angka stanting tinggi, artinya stanting itu overlap dengan kemiskinan,” ujarnya.
Disebutkan, masyarakat yang berpendapatan rendah diyakini tidak mampu mendapatkan asupan gizi untuk memenuhi kebutuhan 1000 HPK. Selain itu, kesediaan air bersih yang masih menjadi kendala hampir di seluruh NTT. “Juga tentang pola asuh dan pola makan pada anak menjadi hal yang prioritas, serta sanitasi pada rumah tangga miskin hampir di seluruh NTT sanitasinya masih buruk dan itu dalam konteks 1000 HPK,” katanya.
Ia menilai, para Pimpinan OPD di NTT belum memahami secara mendetail tentang penanganan stunting secara kolaboratif dan apa itu stanting dari penyebab dan penanganannya. “Kami berharap, perencanaan dalam anggaran tahunan harusnya berbasis pada 1.000 HPK (hari pertama kelahiran) sehingga mereka paham bahwa dari 25 indikiator, setiap OPD bisa mengerti apa yang harus dilakukan oleh OPD yang bersangkutan untuk memenuhi 1000 HPK di suatu lokasi,” katanya.
Dikatakan Lerry, jika semua OPD terlibat secara serius baik itu lembaga agama, lembaga adat, pemerintah dan masyarakat sipil semua terlibat dan mengambil peran, maka dalam rentang waktu yang singkat, jumlah stunting bisa ditekan bahkan bisa mencapai nol persen.
Ia juga mendorong semua elemen masyarakat untuk mengkonsumsi makan makanan yang bergizi dan makanan lokal yang ada di NTT. “Ada potensi makanan lokal kita mulai ubi-ubian, kacang-kacangan kita termasuk ikan teri yang memiliki kandungan omega tiga yang luar biasa. nya itu akan membantu kita dalam masa-masa yang akan datang,” sebutnya.
Menurut Lerry, jika stunting bisa diatasi dan dicegah maka kedepannya anak-anak NTT mampu bersaing dan berkompetensi dengan masyarakat dari wilayah lain di Indonesia.***Laurens Leba Tukan