KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Aliansi Mahasiswa Peduli Masyarakat (AMPERA) Flores Timur, menyoroti persoalan dana hibah yang saban hari dipolemikan di Kabupaten Flores Timur.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan Ketua Divisi Gerakan Masyarakat AMPERA Flotim, Leo Geko kepada media di Kupang, Sabtu (16/05/2020) disebutkan, sejak pengaturan hibah dengan Permendagri 32/2011 yang telah diubah empat kali (Perubahan keempat dengan Permendagri 123/2018), mekanisme penganggaran hibah di lingkup pemda tidak lagi menganut sistem paket (plafond), melainkan dengan mencantumkan daftar nama penerima, alamat penerima serta besaran hibah dan bantuan sosial (by name by address).
“Perubahan pola penggaran hibah dengan by name by address berimplikasi pada substansi pembahasan anggaran hibah antara TAPD dan DPRD, mencakup nama-nama calon penerima hibah dan besaran hibah yang diterima tercantum pada Rencana Kerja Anggaran (RKA) yang kemudian menjadi RAPBD untuk disahkan menjadi APBD. Setelah APBD ditetapkan, Kepala Daerah mencantumkan nama-nama penerima hibah, alamat dan besaran hibah yang diterima dalam Lampiran III Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD” beber AMPERA.
Dijelaskan, Permendagri tentang Hibah (Permendagri 13/2018) mengatur 5 (lima) kriteria minimal yang harus dipenuhi secara kumulatif dalam pemberian hibah: peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan, bersifat tidak wajib, tidak mengikat, tidak terus menerus setiap tahun anggaran, memberikan nilai manfaat bagi Pemda dan memenuhi persyaratan penerima Hibah.
Salah satu kriteria yang harus dipenuhi ialah tidak megikat atau tidak secara terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali diperuntukkan pada pemerintah pusat dalam rangka mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk keperluan mendesak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
“Terpahami bahwa calon penerima hibah tidak diperkenankan sebelumnya telah menerima hibah secara terus setiap tahun anggaran. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut secara limitatif diberlakukan untuk hibah kepada pemerintah pusat dengan keperluan mendesak dan calon penerima hibah yang ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, seperti Korpri, Pramuka, PMI, KONI dan sebagainya” jelas AMPERA
AMPERA Flotim menyoroti 2 (dua) persoalan krusial dalam proses perencanaan dan penganggaran hibah di Kabupaten Flores Timur, berdasarkan norma pemberian hibah tersebut, sebagai berikut, “Pertama, perencanaan dan penganggaran hibah tidak mengikuti pola by name by address, seperti pada tahun anggaran 2019 pemberian hibah kepada Agupena Flores Timur tanpa mencantumkannya dalam Lampiran III Perbup Flores Timur 73/2018 tentang Penjabaran APBD Tahun 2019. Pertanyaan hukumnya apakah pemberian hibah kepada organisasi tersebut melalui proses pembahasan anggaran antara TAPD dan DPRD Flores Timur? Kalau jawaban atas pertanyaan tersebut positif berarti terindikasi maladminsitrasi, sebaliknya apabila jawaban negatif maka terindikasi sebagai tindak pidana korupsi,” sebut Ampera.
“Kedua, terkait pengenaan kriteria tidak megikat atau tidak secara terus menerus setiap tahun anggaran, sesuai informasi Agupena Flores Timur telah menerima hibah dari Pemda setempat pada tahun 2018 dan 2019. Selain keterangan tersebut, dalam Lampiran III Perbup Flores Timur 74/2019 tentang Penjabaran APBD Tahun 2020 tercantum Agupena Flores Timur menerima hibah senilai Rp. 50 juta. Pertanyaan hukumnya, apakah organisasi tersebut tergolong sebagai satuan pemerintah pusat yang mendukung penyelenggaraan Pemda Flores Timur? dan apakah organisasi tersebut tergolong sebagai calon penerima hibah yang ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan? Kalau jawaban atas kedua pertanyaan tersebut negatif maka jelas ada indikasi tindak pidana korupsi dalam pemberian hibah kepada Agupena Flores Timur secara terus menerus setiap tahun anggaran” sorot AMPERA.***Laurens Leba Tukan