Oleh Pater Tuan Kopong MSF
Ramai bahkan saling “menghujat”, “menggugat” dan beradu gagasan mewarnai media sosial ataupun group facebook anak Adonara. Ketika duka masih melanda, kami ramai dengan segala logika dalam segala bentuk gugatan dan adu gagasan. Ketika duka sedang menimpa seharusnya kita semua lebih bisa menahan diri untuk saling mengklaim penyebab bencana itu terjadi.
Bahwa kemudian ada klaim yang sudah dimulai pasca bencana, baiklah tidak diikuti oleh klaim-klaim selanjutnya yang justru kita sesama anak lewotanah Adonara sendiri pada akhirnya ribut tanpa mau peduli dengan persaan saudara-saudari kita yang kehilangan keluarga dan rumah, yang saat ini masih tinggal di posko-posko pengungsian.
Maka tulisan yang saya buat ini tidak untuk mempertentangkan atau melawan tulisan-tulisan sebelumnya, tetapi merupakan sebuah hasil permenungan saya sebagai seorang yang beragama Katolik dan seorang Imam serta sebagai Anak Adonara yang berbudaya (beradat).
Baik agama dan adat yang merupakan bagian dari budaya sama-sama merupakan ekspresi kepercayaan. Agama yang menjadi ekspresi iman kita tidak serta merta menghapus ekspresi rasa dan kepercayaan dalam budaya kita yang salah satunya adalah adat.
Sebagai seorang Katolik dan seorang imam ekspresi iman saya adalah melalui ajaran-ajaran iman Katolik yang didalamnya juga ada ritus yang dilaksanakan dan dirayakan. Demikian juga sebagai seorang anak Adonara sayapun mengekspresikan identitas saya sebagai orang Adonara dalam kebudayaan termasuk di dalamnya adat bersama ritusnya.
Agama yang saya anut menjadi pedoman hidup beriman dan bermoral saya sebagai seorang Katolik, yang didalamnya ada banyak pedoman ataupun aturan yang wajib saya ikuti untuk menegaskan hubungan saya dengan Tuhan yang saya imani, dengan sesama dan dengan makhluk ciptaan yang lain termasuk semesta. Untuk menjamin keharmonisan hubungan saya sebagai perwujudan nyata iman saya maka ada pedoman atau aturan yang harus saya taati untuk mencapai keselamatan.
Artinya ketika saya tidak setia mengikuti pedoman atau aturan yang saya imani sebagai kehendak Allah sendiri maka saya jatuh dalam dosa dan karena saya berdosa, saya menolak tawaran keselamatan dari Allah. Untuk bisa mencapai keselamatan adalah bertobat, memperbaiki sikap hidup saya dan memulihkan hubungan saya dengan Tuhan, sesama dan ciptaan lain.
Salah satu sarana untuk membangun pertobatan, menyesal dan mengkaui kesalahan secara jujur tanpa menutup-nutupi yang kemudian disertai dengan penitensi (“denda”) dan absolusi sebagai tanda bahwa saya diampuni dan dilepaskan dari segala dosa saya adalah sakramen pengakuan dosa.
Sakramen pengakuan dosa dilakukan karena dengan dosa yang saya perbuat, saya sejatinya merusak nama baik Gereja, Tuhan dan sesama, maka secara sadar tanpa disuruh saya haru mengakukan dosa saya.
Rahmat pengampunan hanya bisa berdayaguna ketika saya tidak menutup-nutupi kesalahan yang saya lakukan dan sungguh-sungguh bertobat. Jika dosa adalah menyangkal keselamatan dari Allah, tidak mau masuk dalam tawaran keselamatan Allah maka sakramen pengakuan dosa menjadi jalan untuk masuk dalam tawaran keselamatan Allah.
Demikian juga dengan adat istiadat. Ada istiadat yang merupakan salah satu bagian dari budaya dengan segala ritual dan aturan-aturannya pertama-tama harus dilihat bukan hanya sekedar sebagai simbol identitas tetapi lebih dari itu sebagai sebagai pedoman bagi moral, tutur kata dan tingkah laku para anggotanya.
Maka Cliford Greetz, seorang Antropolog dan Sosiolog berkebangsaan Amerika mengatakan bahwa kebudayaan dengan segala perangkatnya yang didalamnya termasuk adat merupakan satu kesatuan sistem sosial yang memperkuat identitas kelompok masyarakat tersebut.
Sebagai pedoman moral baik tutur kata maupun tindakan dan perbuatan maka Adat memiliki berbagai pedoman atau aturan yang wajib ditaati atau dilaksanakan dan juga berisi larangan yang tidak boleh dilanggar. Kalau kita melihat dengan hati dan kepala yang jernih maka kehadiran adat pertama-tama adalah untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan dengan yang transenden yang dipercaya, dengan sesama manusia dan dengan alam ciptaan yang lain.
Adanya pengakuan dan pemulihan yang dilakukan, itu juga dalam rangka menjaga seluruh tatanan keharmonisan dan keseimbangan relasi imanen dan relasi sosial. Alasan mengapa dilakukan pengakuan dan pemulihan karena tindakan melanggar atau tidak melaksanakan kewajiban secara jelas merusak nama baik masyarakat tersebut termasuk merusak relasi sosial dengan yang lain termasuk ciptaan yang lain.
Dalam konteks ini kita bisa kembali melihat bagaimana relasi Santi Fransiskus Asisi dengan makhluk ciptaan yang lain yang ia sapa sebagai sahabat. Sahabat Air, sahabat tanah, sahabat matahari, sahabat harimau dan lainnya.
Maka seperti Agama, adatpun memiliki tujuan yang baik yaitu sebagai pedoman moral dan hidup bersama sebagai satu komunitas keluarga dan masyarakat. Lantas apa korelasinya dengan bencana yang terjadi?
Berhadapan dengan setiap bencana yang harus kita ingat adalah;
Pertama; berhenti “mempersalahkan” Tuhan. Setiap terjadi bencana kita selalu mengatakan ini adalah ujian atau cobaan dari Tuhan. Ini kehendak Tuhan. Tuhan yang kita imani adalah Tuhan yang mahabaik dan penyayang. Bagaimana mungkin Tuhan yang mahabaik mau mencobai anak-anak-Nya dengan penderitaan. Mari kita lihat lebih dalam; kita yang berdosa dan berbuat salah, tapi Putera-Nya yang dikorbankan untuk keselamatan kita. Lalu bagaimana mungkin Allah yang mahabaik menghadirkan penderitaan bagi kita.
Allah sudah menciptakan semuanya baik adanya, tetapi kita manusia yang dipercaya untuk menggunakan dan merawatnya justru tidak menggunakan dan merawatnya dengan baik. Kita buang sampah sembarangan, kita potong dan tebang pohon tapi tidak mau menanam kembali (bdk. Kej 1&2).
Ketika monyet masuk kampung dan merusak ladang serta mengambil makanan di kampung karena mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal untuk makan dan minum karena tempat tinggal mereka sudah dirusak oleh manusia, apakah itu kehendak Allah? Bukankah itu perbuatan manusia?
Kedua; jangan salahkan adat sebagai bagian dari budaya. Adatpun dengan segala perangkatnya tidak mengajarkan yang buruk. Yang kemudian merusak tatanan nilai adat adalah pola perilaku manusia, mental manusia yang tidak mau menghargai orang lain, tidak mau merawat dan menjaga lingkungan dengan baik. Soal menjaga lingkungan itu juga merupakan bagian dari ajaran adat Adonara yang dalam satu bahasa “gelekat”.
Gelekat tidak hanya saling membantu tetapi gelekat juga adalah bersama menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup dengan lingkungan sekitar kita. Dengan penjelasan ini bukan berarti saya menghakimi siapapun. Karena saya yakin tite wahan kae juga pernah menjadi lakon dalam tindakan dan perbuatan yang merusak lingkungan sekitar kita. Dengan demikian bukan adat yang merusak tatanan hidup sosial, melainkan tite atadiken yang sering menjadi perusak tatanan nilai-nilai adat yang baik dan benar.
Ketiga; mengajak kita semua untuk berhenti berdebat tetapi marilah kita bahu membahu dalam semangat gelekat untuk saudara-saudari kita yang adalah keluarga kita yang sedang menderita seraya mendoakan mereka yang sudah mendahului kita.
Bahwa kemudian ada pembicaraan-pembicaraan lain di kemudian hari, baiklah itu menjadi jalan untuk memperbaharui diri kita menjadi lebih baik dan benar dalam hidup kita. Percaya atau tidak, baiklah itu menjadi rahasia pribadi kita. Tapi sebagai manusia kita tidak hanya beragama namun juga beradat dan sebaliknya tanpa harus saling menghujat dan menggugat.
Keempat; yang paling penting adalah peristiwa yang kita alami seharusnya menyadarkan kita sebagai yang beragama dan beradat sebagai anak Adonara; “apakah perilaku, moral dan sikap hidup saya sudah mencerminkan sikap hidup dan moral sebagai orang yang beragama dan manusia beradat Adonara atau tidak”?
Apakah saya sudah melaksanakan kewajiban saya sebagai yang beragama dan beradat Adonara yang dipercaya oleh Tuhan sendiri untuk merawat dan menjaga lingkungan cipataan-Nya dengan baik dan benar?
Semoga tulisan kecil namun agak panjang ini mampu mengajak kita semua untuk melihat diri kita, tingkah laku kita masing-masing sebagai yang beragama dan beradat Adonara. Salam Nusa Tadon Adonara.*) Manila, 18-April 2021