Oleh Marlin Bato
Salus populi suprema lex; barangkali ini ungkapan yang sepadan untuk menggambarkan harapan masyarakat Ende akan hadirnya seorang pemimpin yang bisa mendampingi Bupati hingga akhir masa jabatan. Menilik perkembangan dinamika diskursus akhir-akhir ini berkaitan dengan tarik menarik antara para stakehoder Ende dalam menentukan calon wakil Bupati, betapa publik berharap agar proses penjaringan akan segera tuntas. Namun apa hendak dikata, hingga detik ini belum nampak ada kesepahaman diantara masing-masing pengambil kebijakan.
Publik dipaksa harus terus menunggu kendati kekosongan kursi wakil bupati nyaris memasuki tahun kedua. Tentu saja ini preseden pertama dalam sejarah dialektika politik Ende pasca reformasi.
Sejarah mencacat sejak tahun 1958, Kabupaten Ende hanya memiliki 3 wakil bupati hingga detik ini, yaitu; Bernadus Gadobani, S.Ag, Drs. Achmad Mochdar dan Drs. Djafar H. Achmad, M.M. Sementara telah ada 9 bupati yang pernah memimpin Ende yaitu; Mauritus Geradus Winokan, Hendrikus Antonius Labina (Pjs), Haji Hasan Aroeboesman, Herman Joseph Gadi Djou, Drs, Drs. Johanes Pake Pani, Letkol. Frans Gadowolo, Drs. Paulinus Domi, Drs. Don Bosco M. Wangge, M.Si, Ir. Marselinus Y. W. Petu, Drs. Obaldus Toda, MM (Pjs), dan yang sedang menjabat sekarang Drs. Djafar H. Achmad, M.M.
Ini berarti, betapa sulitnya mencari sosok yang bisa mendampingi Bupati Ende. Entah disebabkan oleh faktor regulasi dan mekanisme yang ribet maupun karena faktor komunikasi politik di masing-masing parpol. Sebab itu, terkait tarik menariknya figur yang akan ditentukan kelak, saya pun jadi mahfum karena ini akan menjadi negosiasi yang paling rumit sepanjang peradaban politik Ende. Hal ini tentu berbeda dengan proses penjaringan calon kepala daerah ketika menjelang pilkada. Tentu saja, proses penjaringan cakada lebih mudah sebab ada dealine waktu yang diatur oleh penyelenggara pemilu.
Kebudayaan dan kebijaksanaan, sopan santun dan sebagainya berasal dari dunia timur. Maka Ende sebagai salah satu kota kecil di belahan timur Indonesia dapat disebut Ex oriente lux – Cahaya datang dari Timur. Karena disinilah rahim tercetusnya lima butir mutiara yang menjadi dasar negara ini. Tentu saja Ende memberi kontribusi besar terhadap kelangsungan berdirinya republik ini. Didalam republik inilah musyawarah mufakat serta keadaban politik kita terpatri sesuai norma-norma budaya kita. Ende harus menjadi jendela dunia dan potret Indonesia mini. Hal ini harus tercermin dalam benak-benak politisi lokal Ende.
Al-Farabi, seorang pemikir filsafat politik dalam studi komperatif mengemukakan bahwa individu yang berbeda memiliki watak yang berbeda pula. Sebagian mereka ada yang memerintah dan sebagian lainnya lebih suka diperintah. Nampaknya pemikiran Al-Farabi ini menjadi gambaran dialektika Ende hari-hari ini. Tarik menariknya beberapa spektrum kekuatan di Ende tentu saja hanya seperti menggenapi pernyataan Al-Farabi; siapa memerintah siapa, dan siapa patuhi siapa. Namun ada sisi lain yang hilang disini, keselamatan rakyat Ende pasti akan terabaikan.
Berkaitan dengan kekosongan posisi Wakil Bupati Ende yang menjadi perbincangan dan perdebatan di berbagai elemen masyarakat saat ini, informasi dan skenario terus berkembang terkait siapakah Wabup Ende kedepan. Ini menandakan betapa besar harapan dan penantian masyarakat pada kondisi terkini dimana sedang tidak komplitnya dua unsur kepemimpinan daerah saat ini. Publik Ende menunggu kepastian dan solusi yang diambil oleh para pengambil kebijakan serta berharap agar diksi-diksi dan narasi yang beredar ditengah masyarakat segera berakhir dengan dipilihnya seorang Wakil Bupati yang akan mendampingi Bupati dalam menjalankan roda pemerintahan.
Berbagai spekulasi terus bermunculan dirana public tentang siapakah pengganti posisi Wabup yang ditinggalkan Drs. Djafar H. Achmad, M.M yang telah dilantik menjadi Bupati devenitif. Saban hari, ada kabar yang berkembang kalau wabup kedepan itu dapat ditunjuk oleh Bupati sendiri. Ada juga isu yang beredar salah satu dari anggota keluarga bupati (alm) Ir. Marsel Petu yang paling dekat akan menempati posisi sebagai Wakil Bupati. Selain itu juga beredar kabar bahwa ada kader partai pengusung yang berambisi akan mengisi jabatan wakil bupati yang sedang lowong tersebut. Sementara-parpol koalisi pengusung paket MJ terbelah akibat beda sikap.
Adanya berbagai spekulasi siapa yang akan menjadi wakil Bupati Ende itu sah-sah saja, yang terpenting semua pihak berfikir objektif dan dapat menahan diri dalam mengeluarkan statement agar tidak menimbulkan kegaduhan baru yang memicuh mispresepsi public.
Jika ditinjau sesuai mekanisme perundangan, pergantian posisi bupati dan wakil bupati yang lowong sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu 1 tahun 2014 tentang Pilgub, Pilbup dan Pilwalkot menjadi UU.
Dalam konteks posisi Wakil Bupati Ende yang kosong setelah Drs. Djafar H. Achmad dilantik sebagai Bupati defenitif, maka merujuk aturan yang berlaku yaitu Pasal 176 UU Nomor 10 Tahun 2016. Pasal 176 ayat 1 dan 2 menjelaskan tentang mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil bupati. Dikatakan sesuai ayat 1 dan 2 maka partai politik atau gabungan partai politik pengusung mengusulkan 2 nama calon wakil bupati kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui bupati untuk dipilih dalam rapat paripurna dewan. Disini dapat dipahami bahwa penentuan Wakil Bupati Ende dilakukan melalui pemilihan di DPRD Ende berdasarkan usulan dari partai pengusung.
Jika dikalangan public kondisi kekosongan dan kebutuhan keberadaan wabup menjadi perhatian, lalu bagaimana halnya dikalangan pihak yang berkompeten dalam ranah tersebut? Jika kita cermati dalam perkembangan terkini, belum adanya proses apapun secara normative terkait pengisian posisi wabup kedepan. Sebagaimana diketahui bahwa mekanisme pengisian posisi wabup yang lowong merupakan ranahnya Partai pengusung, Bupati dan DPRD, yang mana mekanismenya adalah Partai atau koalisi partai pengusung mengajukan dua nama ke DPRD melalui Bupati untuk kemudian paripurnakan.
Namun hingga saat ini baik di pemerintahan maupun parpol (koalisi) pengusung sepertinya belum bersepakat, atau mungkin saja belum berproses, bahkan belum ada pembahasan terkait calon wabup. Demikian pula di DPRD belum ada proses terkait keberadaan wabup. Yang menjadi pertanyaan public adalah apakah kondisi kekosongan seorang wabup itu tidak menjadi penting atau tidak menarik bagi parpol dan politisi itu sendiri? Ataukah memang ada factor lain sehingga pengisian posisi wabup tersebut terjadi stagnan.
Masyarakat Ende perlu mengingatkan bahwa masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati Ende periode ini (2018-2023) masih tersisa selama 2 tahun. Ada baiknya posisi Wakil Bupati yang lowong hendaknya harus segera diisi. Hal ini menjadi penting demi akselerasi program pembangunan yang telah dituangkan dalam visi dan misi serta RPJMD. Kekosongan posisi wakil bupati tidaklah baik berlarut-larut. Sebab keberadaan seorang wakil bupati sangatlah penting guna membantu tugas-tugas yang menunjang kinerja bupati. Tanpa seorang Wabup roda pemerintahan bisa saja pincang dan dinilai tidak efektif. Maka, menjadi sangat penting ada seorang pendamping yang membantu kinerja bupati dalam mengurusi daerah dengan jumlah penduduk 274.599 jiwa lebih (data tahun 2020) dan dengan luas wilayah mencapai 2.047 km² yang terdiri dari 21 Kecamatan dan 255 desa. Terlebih dimasa pandemi virus covid-19 ini pemerintah harus kerja extra keras dan berfikir demi daerah dan rakyatnya.
Perlu diingatkan juga bahwa Pimpinan partai koalisi dan Pemda perlu kiranya segera dan serius memproses pengisian Wabup yang lowong tersebut. Sebab ini akan menjadi tolak ukur kinerja bupati dan partai-partai koalisi. Persoalan kekosongan wabup tidak boleh dianggap sepele atau tidak penting. Ini adalah suatu kebutuhan dan keharusan, apa lagi jika sampai kekosongan posisi wabup yang begitu lama. Publik dapat beranggapan bahwa pemerintahan dan partai koalisi gagal melaksanakan program dan visi misi paket MJ di periode kedua ini. Maka oleh karena itu, hendaknya semua pihak yang berjibaku dengan masing-masing kepentingan harus berfikir demi kemaslahatan masyarakat Ende. Karena itu, diharapkan Parpol koalisi partai pengusung untuk segera melakukan langkah-langkah konkrit sesuai mekanisme dan regulasi untuk mengusulkan calon wabup ke DPRD, serta berkoordinasi dengan bupati agar dapat menentukan dua nama calon wakil bupati untuk di paripurnakan agar struktur organisasi pemerintah Kabupaten Ende kembali lengkap dan berjalan maksimal kedepan.
Dan yang terpenting dari semua itu, salah satu dari dua nama calon wakil bupati yang akan dipilih tersebut haruslah selaras dan mempunyai kemistri dengan Bupati untuk mensukseskan visi misi maupun program paket MJ. Karena itu, saya ingin mengatakan; ‘Ne sutor supra crepidam” – Janganlah ada tukang sepatu di atas sandal. Janganlah memilih calon yang belum mampu memahami tugas-tugas pokok dan fungsinya, lalu justru membebani kinerja bupati itu sendiri. Dia harus mampu bermitra sekaligus berakselerasi serta memahami pola-pola kerja yang dinginkan Bupati. Agar kelak diakhir masa jabatan dapat dikenang dengan sebuah pepata Bugis; ‘Pura babbara sompekku, Pura tangkisi’ golikku’ yang berarti ‘layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang. Atau dengan seruan khas Lio; Wake Ende Ngere Mase-We Lio Ngere Lele; artinya mengibarkan dan menegakkan Ende Lio. Duc In Altum – Bertolak lebih dalam. Come on…**)