Oleh Pius Rengka
Komentar atas tulisan saya belum lama berselang (https://selatanindonesia.com, 8/2/2021) memang beragam. Tetapi juga mudah dimengerti.
Ada diantaranya yang memberi pujian dengan menunjuk jempol karena katanya, tulisan itu inspiratif edukatif mengundang permenungan lebih jauh. Lainnya berujar, itu tulisan agak menyindir realitas ontologis jurnalis kontemporer, sedangkan segelintir lainnya menyebut itu tulisan secara epistemologis agak jenaka. Bahkan tak luput komentar sahabat amat sangat dekat yang menyebutkan secara aksiologis itu tulisan mengandung keindahan satiris, tetapi riang jenaka.
Namanya pembaca. Komentator khalayak pasti beragam, tak harus sama bahkan tidak boleh diharapkan sama. Penulis yang mengharapkan komentar sama setiap pembaca, jika bukan sinting, ya sakit jiwa jenis lain.
Tiap pembaca adalah posisi. Tiap posisi menentukan disposisi. Tetapi, satu hal yang sudah pasti ialah bahwa itu tulisan ternyata mengundang perhatian khalayak dari beragam latar belakang.
Dari aspek saya, itu tulisan sudah memenuhi syarat novelty, terutama karena isu yang ditawarkan terkait dengan peringatan hari pers nasional. Tambahan pula, kisah yang ditulis bukan sesuatu yang langka, karena saya hanya membantu merumuskan ulang status ontology historis media massa di tanah air. Sampai di sini, maksud saya, rasanya tercapai.
Ditilik dari latar belakang para komentator dapat dibagi ke dalam sedikitnya tiga kelompok. Kelompok pertama, kaum jurnalis itu sendiri. Kalangan pemburu kisah berita peristiwa ini menyebutkan artikel saya itu menuliskan konteks historis sambil mewarnai itu tulisan dengan kisah jenaka. Secara dewasa dikatakan, memang ada perubahan sangat signifikan antara mutu jurnalis jaman lama dengan jaman baru. Menimbang nama-nama jurnalis yang saya sebutkan seperti Jacob Oetama, Goenawan Mohammad, Ricard Bagun, Saur Hutabarat, Hermien Kleden, Aco Manafe, Valens Doy, memang akan terasa jauh berbeda. Bukan saja beda jauh soal usia (kategorisasi waktu), tetapi juga beda jauh jam terbang. Mereka tidak saja jauh jam terbang dalam arti leksikal denotatif, tetapi juga dalam pengertian konotatifnya. Pengalaman mereka pun tak hanya lintas bidang peristiwa dan konteks sosial, tetapi juga lintas wilayah orientasi di seluruh dunia.
Apalagi jika saya tambahkan nama sastrawan yang juga adalah wartawan hebat itu, Gerson Poyk, Yulius Syaranamual, Peter Rohi, tentu saja membuat kita mau tidak mau patut berteduh di bawah rindangan kebajikan. Generasi lapisan kedua seperti Primus Dorimulu, Don Bosco Selamun, Christ Mboeik, Gaudensius Suhardi, dan masih banyak yang lain, menambah lengkaplah daftar pustaka jurnalis yang dikenal dekat dengan para sahabat jurnalis di sini. Terutama saya kenal mereka satu-satu dan cukup.
Kelompok kedua, adalah kaum akademikus (termasuk teman kelas saya di program study interdisiplin Satya Wacana, Salatiga). Kelompok ini mencermati tulisan itu sebagai sebentuk refleksi kritis untuk mempertimbangkan realitas empirik. Kata mereka, itu tulisan memenuhi momentum refleksi untuk peringatan hari pers nasional. Ada diantaranya, yang menyebutkan, tidak dapat dipungkiri jika banyak jurnalis potensial di NTT, tetapi mereka amat mudah tergoda menjadi jurnalis salon. Ketika kutanya apa itu jurnalis salon? Sambil tertawa ringan menjawab, jurnalis salon adalah jurnalis yang tak mau sedikit berkeringat mencari fakta obyektif lebih dalam atas fenomena empiric.
Diberinya contoh. Misalnya, kasus Covid19. Itu fenomena manifest. Mungkinkah jurnalis menggali lebih jauh apakah fenomena banyak manusia yang tumbang masuk rumah sakit dan atau yang meninggal dunia semata-mata problem rakyat, pemerintah ataukah ada juga hubungannya dengan sikap kultural manusia NTT yang gemar takenforgranted itu? Nah, sebagai pembaca media massa, katanya seolah mewakili kelompok kedua, tulisan yang ada hanyalah peristiwa tentang jumlah terpapar covid-19 yang jatuh sakit, dan jumlah pasien sembuh juga yang meninggal dunia. Data itu bukan tidak penting dan tidak relevan, tetapi mengapa jurnalis tidak menggali lebih jauh tentang adakah hubungannya pasien yang meninggal dunia dengan kebijakan public yang maaf, barangkali, kurang sensitive dengan konteks pandemic covid-19 itu.
Mendengar komentar beruntun itu saya lebih memilih diam. Mengapa? Karena saya adalah satu dari komunitas yang tidak melakukan apa-apa sebagaimana apa yang diharapkan akademicus itu.
Pada saat itulah saya berpikir, mungkin benar nasihat para bijak, bahwa bukan seberapa jauh Anda jatuh, tetapi seberapa tinggi Anda melambung. Calvin Coolidge (Presiden Amerika Serikat ke-30) menambahkan dengan santun: “Tidak ada sesuatu pun di dunia dapat menggantikan ketekunan. Tidak juga bakat; tidak ada yang lebih lazim dari pada orang gagal yang berbakat. Tidak juga kejeniusan; orang jenius yang tidak berhasil nyaris merupakan hal biasa. Tidak juga pendidikan; dunia penuh dengan orang gagal yang berpendidikan tinggi. Ketekunan dan tekad adalah yang paling berkuasa”.
Kelompok ketiga, adalah kaum penyuka jenaka. Mereka ini tidak mau berkomentar mengenai keseluruhan isi tulisan, tetapi mereka malah focus pada kisah pengalaman pertama saya menonton tv di Surabaya dan ingat sekali lagak laku Dorus, pemilik radio. Bagi mereka tulisan itu lebih dari sekadar cara saya untuk melucu. Tulisan itu bernuansa menghibur.
Umumnya yang berkomentar begitu adalah para ibu yang, mungkin karena bakat bawaannya dan juga mungkin latah saja, senang pada gosip-gosip. Apalagi mereka menertawakan Dorus karena ternyata Doruslah yang berhasil meminang gadis tercantik di wilayah edarnya hanya bermodalkan sebuah radio.
Mata Itu Tustel:
Saya ingin menceriterakan satu pengalaman kecil dengan Om Gerson Poyk. Sekali waktu, tanggal pasti sudah kulupa, saat itu saya wartawan Pos Kupang. Kami menggelar latihan jurnalistik, di Taman Ria, khusus teknik menulis feature (ficer).
Satu di antara penceramah yang diminta adalah Om Gerson Poyk. Beliau ada di Kupang dalam rencananya mementaskan drama kisah sengsara Jesus di alam terbuka. Rencananya, drama itu dipentaskan di bukit tak jauh dari Oesao atau dekat Noelbaki, Kabupaten Kupang. Itu dua bukit, menurut desas-desus secara topografis nyaris sama dengan bentuk bukit Golgota.
Kami pikir, mumpung Om Gerson Poyk sedang di Kupang, sekalian saja minta waktunya untuk mengajar di kelas teknik menulis ficer. Om Gerson datang. Saya moderator?
Bayangan saya, Om Gerson akan mulai cermahnya dengan urutan, apa itu ficer, apa saja bidang yang dapat ditulis dalam bentuk ficer, bagaimana menulis ficer yang enak dibaca dan kena. Tetapi, saya keliru. Tatkala saya memperkenankan Om Gerson untuk mulai. Beliau bertanya: “Memang saya diminta untuk omong apa?” Latihan menulis ficer Om, kata saya. “Oh baik,” ujarnya.
“Berjalanlah keliling kota atau kampung, lihat dengar dan rasakan. Lalu tulis apa saja yang dilihat, didengar dan dirasakan itu. Ambil satu atau dua hal yang menarik dan penting bagimu, lalu tulislah. Terimakasih saya pulang,” ujarnya.
Kami terperangah. “Om, mungkin beri tip lagi yang diangap perlu untuk bekal wartawan,” kata saya.
“Mata itu tustel, telinga itu ketepatan, rasa itu kepekaan dan keindahan. Tulis itu. Pasti bagus. Cukup ya,” ujarnya sambil berdiri pamit pulang. Kami tertawa terkekeh-kekeh, tetapi Om Gerson jalan terus mengendarai sepeda dayung.
Setelah jauh dia pergi sampai kemudian meninggal dunia dan meninggalkan kami, sastrawan itu terbukti benar. Mata itu memotret keadaan dengan tepat, telinga itu ketepatan pilihan diksi, dan rasa itu kepekaan humanisme yang dimahkotai nuansa keindahan kalimat.
Seminggu setelahnya, saya menemukan tulisan Om Gerson berupa cerpen di harian Kompas Minggu. Beliau menulis tentang pohon lontar (jika saya tak keliru). Tulisan itu enak dibaca dan bernas. Apa yang dilihat didengar dan dirasakan. Itulah yang tampak dalam tulisannya.
Kesetiaan:
Amat kerap jurnalis itu dituding, dipuji, diolok dan bahkan yang paling keji dihina, lantaran hanya satu paragraph tulisan panjang yang dianggap terlalu telanjang menelanjangi kasus yang telah menjadi desas-desus khusus.
Jika wartawan itu berpakaian agak necis parlente, mengendarai mobil murah, sertamerta dituding itu semua diperoleh karena wartawan memeras narasumber atau menjadi joki kepentingan politik actor tertentu. Bahkan ada yang menyebutkan, itu wartawan gemar amplopan. Mereka suka envelopment bukan development. Sebagai wartawan saya geram.
Bagi saya, semua komentar pembaca adalah sah pada dirinya sendiri, tetapi belum tentu benar pada realitas ontologisnya. Karena itu, saat ini wartawan mesti terus larut dalam gempuran kata-kata Mirabeau, dari periode revolusi Perancis, yang menyerukan, “Audax, audax, audax”. Untuk kita, ucapan itu berbunyi, “hati nurani, hati nurani dan hati nurani”.
Ajakan itu untuk mengingatkan agar jurnalis haruslah tetap peka. Komitment utama jurnalis dalam seluruh karyanya adalah menyuarakan, menapaskan, memperjuangkan suara hati, nilai-nilai kemanusiaan, segala yang mulia, yang adil, yang baik untuk mengangkat dan melindungi perikehidupan manusia, terutama rakyat yang sedang terlunta dan sakit menderita.
Kita membela kaum miskin papa dan berlumur duka, bukan karena mereka selalu pasti benar, tetapi karena mereka lebih membutuhkan perhatian dibanding elit politik (apalagi para tukang curi uang rakyat), yang hanya bercuap-cuap tanpa kesanggupan mengubah keadaan.
Meski demikian, kita pun menyadari bahwa tidak ada satu sistem pun yang sanggup menampung dan menyelesaikan seluruh persoalan manusia. Tidak selalu tersedia keleluasaan seperti yang dikehendaki, tetapi juga jangan karena ada keleluasan jurnalis menulis dan berucap tanpa kontrol adab yang patut. Tulisan itu adalah komunikasi. Komunikasi artinya kita setara dalam batas-batas kemanusiaan, terutama prinsip respected for the other person. Komunikasi itu adalah human compassion (keibaan manusia atas cinta sesama). Selamat bekerja.***)