Oleh: Pius Rengka
Tanggal 9 Februari saban tahun dikenang sebagai hari pers nasional. Tiap kali mengenang hari pers, para jurnalis seolah dibawa ke sebuah taman kenangan yang maha luas.
Saya di sini mencatat serba sedikit keadaan media massa antara tahun 1960-an hingga akhir 1999 sebagaimana yang saya alami. Isi dan bentuk media massa tidak sebagaimana sekarang. Tahun 1960-an berita diperoleh dari media cetak dan radio. Pertengahan 1976, TV hitam putih masuk. Saya pertama kali nonton tv di Surabaya, di rumah tetangga, dekat rumah sakit RKZ.
Dapatlah dibayangkan raut muka saya saat pertama kali menonton tayangan di TVRI itu. Saya berdiri di tepi pagar. Menonton melalui celah jendela. Pemilik rumah, orang baik. Dia mengajak saya masuk. “Ayo dik duduk di sini saja,” ajaknya. Dengan segala super sopan santun, saya masuk. Duduk bersimpuh dekat pintu. Rambut gondrong, celana komprang, sisir belah samping. Maklum saya baru tiba dari Flores menumpang kapal barang dari Pelabuhan Kedindi Reo dan berlabuh di Tanjung Perak, Surabaya. Pengalaman itu sungguh membekas.
Khalayak penikmat berita, mengikuti perkembangan sosial melalui surat kabar, radio dan televisi. Tetapi, jumlahnya terbatas. Media cetak, hanya dibaca orang kota. Oplah surat kabar dan majalah di bawah 200 ribu eksemplar. Jumlah pembaca media cetak di Indonesia, sangat rendah dibanding pembaca negara lain di Asia, Australia, Eropa dan Amerika. Penelitian Unesco (tahunnya kulupa) mengkonfirmasi, bahwa satu eksemplar surat kabar di Indonesia dibaca 50 orang, sedangkan Jepang, Amerika dan Eropa, satu orang membaca dan bahkan melanggan tiga surat kabar sekaligus.
Maka, tidaklah heran bila tradisi membaca di Indonesia amat sangat rendah. Terkait fenomena ini para penulis dan aktivis mahasiswa UGM berdiskusi. Dari diskusi kalangan terbatas itulah, lahirlah sejumlah kelompok study mahasiswa di Jogyakarta. Meski sebelumnya, memang sudah ada kelompok study Realino – yang melahirkan orang sekaliber Ahmad Wahib – dan kelompok study asrama Dharma Putra UGM di Baciro yang memproduksi banyak jurnalis di berbagai media massa utama seperti Kompas, Sinar Harapan dan Tempo.
Saya sendiri tahun 1978 sudah mulai menulis opini di harian Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional dan Mingguan Exponen, media cetak terbitan Yogyakarta. Saya pun menulis untuk harian Angkatan Bersenjata, Jayakarta, Harian Ekonomi Neraca, Bisnis Indonesia. Sedangkan di harian Suara Karya, saya biasanya menulis kritik drama televisi dan menimbang lirik lagu Ebiet G. Ade dan Frangky and Jane. Itu saya lakukan dengan motif utama cari duit untuk meluputkan derita kemiskinan yang saya alami.
Kesan saya, kondisi buruk itu (tidak suka membaca) membawa gejala buruk lainnya, yaitu daya kritis masyarakat kita relative lemah dibanding masyarakat di negara-negara lain. Hal ini dapat dimengerti, karena saat itu, kita lebih mengutamakan beli makan dibanding beli surat kabar atau majalah atau membeli radio maupun televisi. Dengan kata lain, saat itu orang Indonesia mengutamakan urus perut dibanding urus isi kepala (olah otak). Akibatnya, kemampuan analisis kita terhadap masalah sosial amat sangat lemah dibanding orang Jepang, Korea, China, Taiwan, Eropa, Amerika dan Australia. Temuan akademik kita pun masih jauh di belakang dibanding Malaysia, Singapura, Jepang, Korea, China, India dan Negara-negara Eropa Kontinental dan Amerika, Australia.
Ketika kita di sini masih asyik urus perut ditambah korupsi akut, orang di tempat lain sudah terbang meloncat urus lalat (artinya sudah menjadi ahli lalat atau Profesor lalat). Tulisan dan pikiran mereka tentang beberapa topik dijadikan rujukan pemerintah dan kaum intelektual di tanah air. Hasil riset dan temuan ilmiah mereka pun sangat maju dan mendunia.
Para dosen di negara-negara maju, rajin melakukan penelitian dan menulis hasil penelitiannya di jurnal-jurnal ternama di dunia. Mereka kerap melontarkan catatan kritis di media massa dengan pola artikel, opini atau esei.
Perguruan tinggi kita, bernasib sial. Academicus Indonesia, terkesan sepi tarung akademik. Mungkin saja ada hasil penelitian mereka yang berkelas dunia, tetapi publikasi di jurnal dan media massa amat langka.
Tahun 70-an, saya temukan majalah khas, semisal Prisma yang menampung tulisan para ahli ilmu sosial. Peminat sastra menulis di Majalah Horison. Ilmu Psikologi ada Majalah Anda. Majalah umum Mingguan Tempo menyiapkan kolom esei. Artikel kebudayaan, beraroma filsafat ditemukan di majalah Basis. Melacak dinamika intelektual Indonesia dapat ditemukan di berbagai media serius di tanah air. Tetapi, tampaknya prinsip publish or perish belum menjadi kultur.
Selain surat kabar dan majalah, Indonesia memilik Radio Republik Indonesia milik pemerintah. Radio swasta amat langka. RRI menyiarkan kepentingan pemerintah terkait pembangunan. Berita yang disiarkannya seputar kepentingan konsolidasi politik Orde Baru. Amat jarang terdengar debat bupati dengan wakil rakyat, atau debat para pengamat politik tentang proses pembangunan. Jadi, informasi yang diberikan bersifat satu arah. Para pendengar seolah dipaksa mengkonsumsi berita yang ditata pemerintah.
Namun, para pendengar radio meluas sampai ke pelosok-pelosok. Cilakanya, orang kampung mendengar siaran radio itu saat setelah mereka pulang kerja sawah atau ladang atau usai menghalau kawanan ternak di padang penggelambalaan. Menjelang tidur malam atau pengantar tidur mereka dihibur lagu-lagu. Dilantunkan sangat merdu oleh penyanyi legendaris seperti Titiek Sandora, Muksin, Mus Mulyadi, Bop Tutupoly, Ervina, Tety Kadi dan lain sebagainya. Sesekali rakyat menikmati suara bariton Jim Reeves atau Convey Twitty, Vaya Condios The Cats, Imagine The Beatles, Rock and Roll Elvis Presley, Pussy Cat, Mama Mia ABBA, Rolling Stone atau lagu-lagu hit dari group keluarga Carpenters.
Menariknya, semua lagu yang disiarkan itu dibaptis sebagai lagu-lagu hiburan malam. Pertanyaan saya, mengapa disebut “lagu-lagu hiburan malam?” Apakah memang tidak ada hiburan siang atau petang? Rupanya, ada alasan politik idiologisnya. Rakyat memang harus terus-menerus dijejali dengan hiburan setiap malam agar mereka dijauhkan dari keterlibatan politik terutama proses kontrol pembangunan dan jejak buruk praktek kekuasaan. Rakyat rupanya sengaja disuguhi “hiburan” agar mereka lupa mengoreksi cara kerja kekuasaan. Akibatnya kekuasaan Orde Baru tidak dikontrol dan memang tidak mau dikontrol.
Sementara itu, orang kota adalah penikmat berita serius. Mereka mendengar berita pembangunan atau mendengar sandiwara radio. Sifat isi tidak lebih dari hiburan jenis lain.
Petunjuk Kelas Sosial:
Awal tahun 1960an, pembeli radio amat sangat terbatas. Kepemilikan radio semacam petunjuk untuk menandakan peringkat kelas sosial tertentu. Misalnya, seorang pemuda kampung, sebut saja bernama Dorus.
Dorus dianggap orang kaya karena dia memiliki radio yang tidak dimiliki orang lain di kampungnya. Karenanya, seperti ketiban takdir, Dorus dianggap layak saja melamar gadis paling cantik di seantero kedaluan bahkan sekecamatan, meski mungkin potongan total Dorus belum tertata baik.
Pemilik radio adalah the haves. Penampilan adab pemilik radio pun berbeda dengan warga lain, sekurang-kurangnya cara berlagak berbeda. Dia membawa dirinya dari kelompok elite, sepertinya dialah penentu masa depan komunitas sekampung. Bagaimana tidak.
Calon istrinya gadis tercantik di seantero kedaluan, meski Dorus sendiri jarang mandi dan malas cuci gigi. Kulitnya pun kotor jorok. Rambut bagai mie taputar sehingga sulit diorganisir karena jarang disinggahi sampo. Tetapi, dia toh pemilik radio satu-satunya di kampung.
Demi mendengar siaran radio, orang sekampung harus rela menempuh masa adventus menanti kapan kiranya dia berhati baik. Gejala ini banyak ditemukan di kampung-kampung pedalaman saat itu. Ceritera tentang kepemilikan radio ini pun meluas diiringi gossip yang dilebih-lebihkan dari bibir ke bibir yang suka dunia keterlaluan. Diceriterakan dengan nada kagum.
Pemilik radio pun dapat menukarkan radio itu dengan tanah berhektar-hektar. Saya koq menduga (agak spekulatif) pemilik tanah sangat luas di Labuanbajo adalah hasil barteran tanah dengan radio. Pemilik radio penukar tanah itu hari-hari ini, barangkali, telah berubah fungsi sebagai pedagang atau calo tanah. Dia kaya raya.
Mengapa begitu? Karena radio, selain benda amat langka, tetapi juga radio berfungsi menghubungkan dan menyatukan pendengar dengan orang Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sulawesi. Radio juga terkait dengan Inggris (BBC London), Belanda (Suara Belanda), Amerika (Voice of America), Jerman (Deuche Welle) dan Australia (ABC), sehingga wawasan orang di kampung bertambah luas. Di Jawa, radio juga berfungsi sebagai alat penyiar lawakan, ketoprak, wayang dan lain sebagainya. Intinya radio itu hebat dan luar biasa. Karenanya pemilik radio adalah orang yang luar biasa dan hebat.
Jurnalis:
Jumlah jurnalis juga terbatas. Tahun 60-an hingga paruh akhir tahun 1999 jumlah jurnalis di tiap kota tak lebih dari lima orang. Media cetak ternama (Kompas, Sinar Harapan, Media Indonesia dan Tempo) mungkin hanya menempatkan satu jurnalis di tiap ibukota provinsi.
Untuk menjadi wartawan di jaman itu, tidak gampang. Mereka harus lolos ujian tertulis maupun lisan. Lulus test psikologi yang diselenggarakan lembaga credible. Hasilnya? Wartawan berkelas wahid. Cerdas dan berwawasan luas.
Wartawan itu adalah profesi bergengsi yang membanggakan. Jurnalis disebut intelektual, peneliti, karena sifat pekerjaan dan cara kerjanya sama dengan periset di Universitas. Bedanya cuma satu. Hasil kerja jurnalis dapat langsung dikonsumi publik dalam waktu relatif cepat, sedangkan hasil kerja periset kampus menunggu beberapa lama hingga karyanya disiarkan majalah atau jurnal ilmiah. Tetapi dua profesi ini bergerak di medan tugas yang sama antara lembah konteks sosial dan bukit-bukit perspektif.
Banyak orang pandai dari Universitas ternama di Indonesia memilih profesi sebagai wartawan karena sangat bergengsi. Kita kenal misalnya, Jacob Oetama di Kompas dari UGM, Goenawan Mohammad di Tempo dari UI. Dicatat pula generasi setelahnya Ninok Leksono (ITB) di harian Kompas, Saur Hutabarat (UGM) di Tempo kemudian pindah ke Editor lalu belakangan di Media Indonesia. Begitupun Rikard Bagun, dari STF Driyarkara dan UI, bekerja di Kompas, juga Maruli Tobing dari UGM di Kompas, Hermin Kleden dari UGM di Tempo. Mereka ini dikenal cerdas. Aco Manafe kesohor sebagai wartawan perang terkemuka yang dimiliki harian petang Sinar Harapan. Begitu pun Om Valens Goa Doy, wartawan Kompas peraih dua hadiah Adinegoro untuk dua tulisan di bidang berbeda, yaitu olahraga dan pariwisata. Masih banyak jurnalis lain yang tidak sempat disebutkan di sini, tetapi tulisan mereka dirujuk berbagai pihak lantaran isi dan gaya tulisannya merangsang diskusi dan serentak dengan itu bernuansa edukatif.
Misalnya, rubric Catatan Pinggir Mingguan Tempo yang ditulis Goenawan Mohammad. Tulisan GM, begitu ia biasa disapa, merupakan kritalisasi dari berbagai bacaan yang kritis menafsir gejala actual. Catatan Pinggir Tempo itu telah dibukukan beberapa edisi. Moto Tempo, enak dibaca dan perlu.
Mingguan Tempo pulalah, yang pertama memperkenalkan teknik penulisan berita dengan gaya berkisah atau bertutur. Mereka cenderung menghindari tulisan style straight news, tetapi seperti tandas pada gaya penulisan feature tanpa kehilangan unsur-unsur mutlak dari tulisan itu. Liputan mendalamnya juga begitu kuat, sehingga tulisan di Tempo selalu dirujuk tidak hanya oleh para peminat bacaan yang nikmat, tetapi juga dihitung serius oleh pengambil kebijakan public dan para politisi. Kita mencatat, liputan Tempo yang menguak kebobrokan yang terjadi di Kementerian Sosial belum lama ini. Kita juga mencatat, Tempo jugalah yang membongkar korupsi istana mantan Presiden Soeharto.
Pada satu masa di Indonesia, para pembaca serius baru merasa telah membaca berita jika sudah membaca Kompas, Sinar Harapan dan Tempo. Mengapa? Karena tulisan yang disiarkan di tiga media massa itu, selain enak dibaca dan perlu juga datanya akurat sambil tetap setia mematuhi kode etik jurnalistik yang sangat ketat dihormati. Akibatnya, tiga media cetak itu, memanen kepercayaan massa.
Berbeda:
Namun, jurnalis hari ini berbeda. Format medianya pun beda. Setiap orang yang agak tahu menulis kalimat hari ini dapat saja dengan enteng membangun medianya sendiri. Karena itu selain jumlah jurnalis di tiap kota makin banyak, bahkan sangat banyak, melampaui yang diperlukan, tetapi system rekruitment juga sangat lumer karena tiadanya test kemampuan tertulis, psikotest dan lain-lain. Hasilnya?
Kita semua sama tahu. Tulisan yang disiarkan agak sering minus coverbothside atau multisides untuk berita-berita beraroma hukum politik dan ekonomi. Jurnalisnya jarang terjun ke lapangan melihat langsung peristiwa dengan metode check and receck serta crosscheck. Bahkan yang lebih mengerikan ialah membagi berita tanpa sedikit pun kesadaran serius si penerima berita untuk mencek ulang kebenaran tulisan yang dibagi sama rata itu.
Kita tidak pernah tahu apakah berita yang dibagi itu kejadian obyektif ataukah kejadian imajinatif yang dijadikan obyek. Maka yang kerap terjadi adalah media online sebagai sarana massif untuk meluaskan kabar bohong. Kabar bohong itu muncul dari tiadanya fakta atau peristiwa yang ditulis atau tiadanya tanggung jawab penulis untuk mencermati kebenaran tulisannya atau laporannya. Jika sinyalemen ini empiris, maka fungsi informative dan fungsi edukatif media massa kehilangan rohnya.
Selain itu, untuk memperoleh jabatan-jabatan fungsional dan structural juga tidak ruwet. Gampang sekali. Intinya, pembuat dan pemilik media paralel dengan pangkat structural dan fungsional.
Maka hari ini, media massa itu nyaris sama banyak dengan jumlah massa. Karenanya saya menyarankan agar para pengelola media online rajinlah berdiskusi tiap akhir pekan untuk saling tukar pikiran dan pengalaman. Siapa tahu dari keseringan bertemu, kita pun dapat mempertemukan perspektif dan dapat belajar dari kesalahan yang sama kita lakukan. Hal ini diperlukan karena masifikasi media online telah memenangkan pertempuran pengaruh sosial dan dapat mengubah perilaku sosial. Cilakanya kemenangan itu mungkin diperoleh tanpa sedikit pun kehormatan. Begitulah. ***)