Tatkala Kabar Sabu Raijua Mendunia

1104
Pius Rengka dalam sebuah kesempatan di Kalabamaja

Oleh Pius Rengka

Pulau mungil, Sabu Raijua, terletak di tepi arus samudra Pasifik. Entah awalnya bagaimana sejarah pulau itu diberi nama, tetapi belakangan ini, itu pulau nyaris tak bebas dari kepungan perhatian khalayak. Tiada hari dan tiada media yang tidak berceritera tentang Sabu Raijua.

Peristiwa di Sabu belakangan ini jelas menghalau habis kisah coup d’tat (meski saya sendiri tidak suka dengan istilah ini) di Partai Demokrat. Semua orang, sepertinya diundang begitu saja tanpa sengaja, masuk dalam ruang diskursus membahas dan memperhatikan pulau mungil yang penuh pesona itu. Bahasan tentang Sabu dapat dilacak melalui media online, media sosial, dan terutama gosip dari handphone ke handphone. Halo, bagaimana sudah? Begitulah suara-suara pertanyaan yang sering berseliweran di daerah covid-19 ini. Tulisan ini, hanyalah satu cara agar orang tidak perlu lagi menelpon meminta pendapat saya atas kasus ini.

Mulai dari Sabu. Menilik masyarakat di pulau itu, tampak seperti orang India, setidak-tidaknya serupa dengan orang Gujarat yang gemar merantau dan berbisnis ke negeri jauh. Warga yang tinggal di perkampungan pulau itu, seperti terkantuk-kantuk dan kenyang dengan panen laut yang melimpah, terutama mengiris tuak yang kesohor ke mana-mana, sehingga langkah-langkah terakhir kehidupan paginya pun merias pesona cakrawala.

Gadis-gadis Sabu dikenal cantiq mempesona. Kaum prianya gagah legam tetapi liat dan kuat. Secara intelektual, manusia Sabu mengukir banyak temali sejarah di tanah air. Bahkan ada di antaranya yang menduga kuat, Patih Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit yang gagah perkasa itu berasal dari sana.

Orang-orang Sabu, sangat ramah. Setia berkawan, dan sangat sering lurus bertutur. Akibatnya banyak manusia Sabu dipercaya entah untuk urusan apa, termasuk menjadi Gubernur (El Tari dan Piet A. Tallo). Dari pulau mungil itu pun, lahirlah sejumlah intelektual kesohor yang hasil karya intelektualnya ditimba bak air bah oleh kebanyakan manusia Indonesia.

Pulau yang terletak seperti sangat terpencil soliter di kepungan air samudra itu, tak jauh dari Pulau Rote, agak jauh dari Semau, cukup jauh dari Pulau Timor. Tetapi manusia Sabu itu adalah perantau ulung. Sebut saja, sebagai misal, di NTT. Manusia Sabu ada di hampir semua pulau di provinsi NTT. Bahkan seperti dimaklumi begitu saja, bahwa di mana ada orang Sabu, pasti di situ ada sopi dan sawah, juga kios-kios kecil yang siaga hingga larut malam.

Di pesisiran pantai Pulau Flores, terutama di wilayah yang ditumbuhi pohon lontar, serta merta dapat dikatakan di situ pasti ada manusia Sabu. Di Sumba Timur juga begitu. Daerah persawahan dan pohon tuak, seluruhnya dihuni manusia Sabu. Apalagi, potongan antropologis mereka, yang pria gagah ganteng, yang perempuan jelita cantiq mempesona. Mereka perantau ulung. Itulah mengapa kita tak heran bila ada orang Sabu yang merantau jauh ke negeri nun tak tejangkau orang kebanyakan, hingga Eropa, Afrika, dan Amerika. Jangan bicara soal orang Sabu di Australia. Jumlah mereka banyak di sana. Mengapa? Karena mereka perantau jujur, cerdas dan pekerja keras.

Jika, misalnya, ada orang Sabu yang ditemui kurang jujur, tentu saja, menimbulkan kisah turbulensi satu kawasan, karena manusia Sabu itu selalu jujur, pekerja keras, dan enak diajak sebagai sahabat. Kadangkala, karena sedemikian seringnya komunitas Sabu berada di sekitar lingkungan pohon tuak di pesisir pantai, orang kemudian tahu begitu saja, bahwa itu pasti daerah kantung manusia Sabu di mana tradisi lebih penting dari kemajuan, di mana adat adalah kekuatan dominan. Di sana pun cinta yang lama ditimang-timang setekun orang memupuk dendam lama dan kesetian tali kekeluargaan serta ikatan feodal yang kusut berbelit-belit.

Jalan masuk ke Pulau Sabu, tak mulus. Melalui laut, kita selalu pasti dihadang gelombang laut yang berbuih putih menerjang buritan kapal. Dengan pesawat, jumlah penumpang tak boleh banyak, karena bandara teramat mungil seperti hendak menegaskan kemungilan pulau itu.

Untuk membedakan orang Sabu atau bukan, perhatikan saja bola mata dan rambutnya. Umumnya bola mata manusia Sabu indah, yang wanita lentik seperti menggoda sekaligus menolak. Jatuh cinta kepada perempuan Sabu atau pria Sabu, tentu saja, tidak sia-sia. Mereka umumnya orang baik, setia dalam berkawan, elok dalam bergaul dan gemar bekerja sama dan suka sama-sama bekerja. Itulah manusia Sabu. Jenis tambut manusia Sabu pun gampang diorganisir. Tak ruwet.

Namun, riuh kabar Sabu belakangan ini, hanya berkisah tentang satu hal. Kisah telah meluas hingga masuk ke relung terdalam pelosok tanah air bahkan mendunia. Apa pasal?

Sepekan terakhir, berita meluas perihal Bupati Terpilih Sabu Raijua, Orient P. Riwu Kore terjebak status kewarganegaraan ganda. Kewargaan Negara ganda atau dwi kewarganegaraan itu, oleh aturan hukum di Indonesia tidak boleh ikut pawai perebutan kekuasaan semisal Bupati. Tetapi, mengapa pencalonan bupati Bung Orient lolos dari jerat syarat dan prasyarat hukum? Bukankah dia berhak untuk mencalonkan diri sebagai bupati? Bukankah itu adalah bagian dari praktek hak-hak asasi manusia?

Saya Diam:

Tatkala berita ini meluas, pilihan sikap saya yang terbaik ialah diam di tempat sambil mencermati dan merenung ulang berkali-kali dimanakah gerangan masalah intinya. Saat itulah saya tiba pada jebakan ide yang dipikirkan George Wilhem Friedrich Hegel, filsuf kelahiran Jerman itu. Satu dalil yang sangat terkernal yang kemudian dikenal dengan munculnya aliran filsafat idealisme, ketika Hegel berkata bahwa semua yang riil bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat riil. Dalil ini kemudian merembes meluas ke seluruh dunia, sampai-sampai akhirnya orang sekaliber Francis Fukuyama menegaskan tentang filsafat Hegel ketika menulis buku The End of History.

Bagaimana jalan pikiran saya mengembara sampai meluas ke situ? Bagaimana pula Pulau Sabu yang terletak nun jauh di tepi perairan dalam laut Sawu dibawa-bawa ke Hegel atau Hegelian? Jalan ke situ sebetulnya sederhana.

Semua yang kini sedang terjadi pasti dimulai dari ide. Maksudnya luasnya rasio sama luasnya dengan realitas, sehingga realitas seluruhnya adalah proses pemikiran atau idea yang memikirkan dirinya sendiri. Maka apa yang kini terjadi hanyalah pantulan dari sejarah pemikiran Bung Orient dan semua pihak yang ikut membantunya.

Orient berpikir tentang realitas Sabu. Dia datang ke tanah kelahirannya, dan dia melihat semua yang ada belum sempurna adanya. Karenanya jalan sejarah yang membentuk ide Orient untuk pulang ke Sabu, tak lain tak bukan berbasis keprihatinan setelah melihat realitas ontologis Sabu merana. Demi keprihatinan itu, maka disusunlah jalan pulang.

Orient bertekad, bahwa dirinya sanggup mengeluarkan Sabu dari keterpurukan. Demi idenya bahwa Sabu dapat keluar dari kemiskinan hanya dengan jika dirinya sendirilah yang memimpin Sabu. Ide itu harus menyata dan mewujud dengan cara menjadi bupati. Ide untuk menjadi bupati itulah awalnya.

Maka, rencana disusun, dan team kerja pun dibentuk. Salah satu tugas yang harus dikerjakan para sahabat ialah membereskan semua jenis administrasi yang diminta aturan main yang tersedia untuk kepentingan itu. Motifnya sederhana, ialah mengikuti semua jenis aturan main, dan jangan main-main dengan aturan main karena aturan main akan saatnya memainkan manusia hingga tidak beraturan.

Lembaga-lembaga pengurus aturan main, didekati dan ditanyakan kejelasannya. Para pengawas aturan main ikut bekerja, agar para bakal calon bupati memenuhi aturan main. Badan-badan itu adalah KPU dan Bawaslu. KPU mengurus pemenuhan syarat, sedangkan Bawaslu mengawasi prasyarat apakah semua syarat dan prasyarat telah terpenuhi dengan tepat, benar dan terutama jujur. Rakyat menyaksikan, melihat dan tersenyum.

KPU menjalankan tugasnya sesuai tuntunan aturan, dan pemenuhan aturan main. Ditemukan semua jenis aturan main untuk menjadi calon terpenuhi, karena itu Orient boleh menjadi calon bupati Sabu dan kemudian terpilih. Pesta kemenangan memang belum digelar, tetapi ucapan selamat telah berkelindan dari waktu ke waktu sesaat setelah dinyatakan menang telak. Orient menang mengalahkan petahana.

Namun, dalam perjalanan, Bawaslu telah mengingatkan KPU berdasarkan logika biasa saja awalnya. Orient selama pulahan tahun tinggal di AS, dan datang ikut Pilkada. Bagaimana dengan status kewarganegaraannya? KPU bukan tidak melakukan verifikasi. Hasil verfikasi menerangkan, semua prasyarat dan syarat telah terpenuhi, antara lain Kartu Tanda Penduduk sesuai dengan syarat yang diminta Undang-undang.

Ditemukan kelak hari bahwa syarat yang terpenuhi itu dipenuhi Orient belakangan belum lama berselang, sembari dia belum kehilangan atau pencabutan status kewarganegaraannya sebagai warga AS. Lalu pertanyaan itu kian meluaskan sakwasangka, karena ternyata kartu tanda penduduk Orient ada tiga. Dua dari Jakarta, dan satu Kota Kupang. Bagaimana mungkin satu manusia memiliki tiga tanda penduduk yang menandai status yang sama? Tiga kartu penduduk dan satu kartu penjelasan sebagai warga Negara AS.

Diskusi kian meluas karena, KPU bersikukuh menyatakan dari syarat yang diminta aturan main, Orient memenuhi prasyarat dan syarat aturan main. Jadi memenuhi unsur formal aturan main, sehingga memang Orient tidak main-main dan karenanya dia layak menjadi calon. Bawaslu mengatakan Orient menyimpan masalah, mungkin soal jujur saja.

Diskursus kian melebar ke mana-mana, ketika para jurnalis mengejar kasus ini hingga ke partai politik. Dua partai politik pendukung Orient menyebutkan kecolongan, tidak tahu menahu kalau Orient masih berkewarnegaraan AS. Kedubes AS pun memberi bukti. Tetapi bagaimana mungkin pemerintah Kota di Kupang, dan Jakarta, meloloskan Orient sampai dia memperoleh kartu penduduk? Bagaimana mungkin Orient memperoleh tiga kartu penduduk atau keterangan status penduduk itu semua terjadi?

Hegel menjawab dengan tandas, semua yang riil bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat riil. Pertanyaannya rasionalitas macam apakah yang membentuk Orient saat mengurus semua syarat itu sampai semua yang dipikirkannya menjadi riil?

Tampaknya bukan perihal status ontologis yang harus dikejar dalam kasus ini, tetapi bukan pula soal epistemology untuk urusan itu, melainkan ini soal, termasuk ide yang dimaksud Hegel, berubah menjadi urusan etis atau etika. Ketika menjadi urusan etis atau etika, maka pertanyaannya patut diubah, yaitu bagaimana manusia harus hidup agar dia berhasil sebagai manusia? Bagaimana pula keharusan itu agar memenuhi syarat etis?

Salah satu prasyarat dan mungkin satu-satunya prasyarat ialah KEJUJURAN. Politik kejujuran itulah yang menjadi syarat utama untuk semua jenis keutamaan, termasuk keutamaan pemimpin dan keutamaan sebagai tokoh demokratik.

Hukum mungkin terbatas, tetapi kejujuran itu perlu membuka batas. Kita tidak boleh berpikir bahwa tidak bertanggung jawab itu adalah seni. Bukan. Bertanggung jawab yang baik hanya memenuhi syarat etis, jika pertanggungjawaban itu dihujani kejujuran yang utuh. Kadang-kadang hukum menegakkan keadilan secara kebetulan, tetapi tak ada kebetulan dalam kejujuran, karena kejujuran itu pada dirinya sendiri dan pada akibatnya mungkin pahit saja awalnya, tetapi selanjutnya kita menikmati kebebasan.

Kita tidak saja bebas dari aneka sakwasangka buruk atasnya, tetapi juga kita bebas untuk tertawa keras-keras seterkekeh mungkin sambil berkata: hukum tidak abadi dan tidak berlaku umum, melainkan berdasarkan kesepakatan dan berbeda di tempat yang berbeda. Maka dalam Antihpon, misalnya, mengatakan hukum boleh saja dilanggar dengan tenang asal tidak ada yang melihatnya.

Bagi saya, keributan Sabu hari ini, keterkenalan Sabu hingga mendunia hanya meninggalkan pesan jelas, bahwa manusia Sabu itu pada tabiatnya jujur adanya. Mungkin saja manusia Sabu sudah berubah karena waktu telah berubah manusia ikut berubah (Tempora Mutantur Et Nos Mutamur in Illis), saya tak lagi tahu. Tetapi, percayalah, Tuhan pasti tahu tetapi Dia tak menyahut. Begitulah.*)Penulis adalah Pencinta Pesona Sabu Raijua

Center Align Buttons in Bootstrap