Oleh
Germanus S. Attawuwur
Pengantar
Sebanyak tiga kali saya membaca Catatan Akhir Pius Rengka. Sebagai “orang dalam” beliau berusaha menulis secara obyektif apa yang beliau lihat, dengar, dan alami langsung dari aktor pembangunan di NTT. Sebagai warga NTT, saya terpanggil untuk membuat “catatan” atas Catatatan Akhir Tahun beliau.
Pius Rengka, SH., M.Sc, adalah sosok yang tidak asing lagi bagi orang NTT. Ciri khasnya adalah berrambut putih dan dialek Manggarainya sangat kental. Selama setahun (2019-2020) Beliau sempat menahkodai Komisi Informasi NTT. Melihat kiprah beliau yang mumpuni serta track record yang bagus, Beliau ditarik sebagai salah satu staf khusus gubernur NTT.
Publik sering mendapat informasi secara cukup detail dan tuntas tentang kunjungan kerja gubernur NTT ke daerah-daerah melalui tulisan-tulisan beliau. Yang terbaru adalah Catatan Akhir Tahun: Evaluasi Kritis Dari “Dalam” Untuk Pemerinth NTT.
Dalam catatan itu, publik diinformasikan secara obyektif-kritis tentang sepak terjang gubernur NTT dalam rangka menuju NTT Bangkit dan Sejahtera. Beliau menggambarkan rancang-bangun, birokrat agar bisa adaptif dengan gaya kepemimpinan gubernur yang memprioritaskan kecepatan. Beliau dengan jujur memberikan catatan bahwa ada juga segelintir birokrat yang kurang cepat adaptif dalam rangka membumikan program kerja gubernur yang sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Dalam konteks mendaratkan program gubernur, berkiblat pada pernyataan gubernur NTT, Bung Pius menulis bahwa tak ada pembangunan efisien dan efektif tanpa melibatkan tiga unsur penting yang disebut pilihan rangkap tiga (triple helix) dalam medan sosial yaitu masyarakat (civil society), pemerintah (Goverment/state) dan dunia usaha (market/private sector).
Selain triplehelix, gubernur mengatakan bahwa lembaga-lembaga gereja, lembaga keagamaan baginya sangat strategis sebagai kawan kerja pembangunan. Karena itu pemerintah selalu serius mengajak seluruh komponen lembaga keagamaan untuk bekerja bersama-sama dalam rangka implementasi program pembangunan gubernur.
Triplehelix tidak cukup, musti Penthahelix
Bung Pius melanjutkan pernyataan gubernur bahwa tidak hanya mengajak peran lembaga keagamaan, tetapi juga mendorong kelompok berkepentingan lain agar secara bersama-sama bergerak dalam satu derap langkah perbuhanan sesuai visi Pemerintah NTT, yaitu NTT Bangkit NTT Sejahtera. Pertanyaannya adalah, siapakah kelompok berkepentingan itu? Bung Pius menyampaikan kelompok berkepentingan tetapi anonim. Anonimitas inilah akan disebutkan dengan namanya (nomen), sebagai catatan pertama untuk melengkapi Catatan Akhir Tahun Bung Pius.
Bahwa kekuatan pembangunan suatu wilayah perlu didukung oleh semua elemen yang ada. Tidak bisa percepatan pembangunan hanya bisa dilakukan satu pihak. Maka hadir konsep pembangunan ‘pentahelix’ dimana unsur pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha, dan media bersatu membangun kebersamaan dalam pembangunan dalam rangka membangun peradaban manusia demi sebuah perubahan.
Kelompok masyarakat, khusunya LSM memiliki social and advocacy power. Mereka turut pula menjadi salah satu pihak yang berkentingan dalam model-model pendekatan pemberdayaan / advokasi masyarakat untuk mendukung program pemerintah. Catatan saya adalah, melibatkan LSM-LSM Lokal yang berkompeten dalam isu-isu pemberdayaan dan advokasi masyarakat dalam kontribusinya untuk menunjang pencapaian RPJMD Gubernur NTT adalah salah satu pilihan bijak dalam proses percepatan pembangunan.
Selain LSM sebagai salah satu civil cociety, ada juga berbagai media massa, baik itu media cetak maupun media online. Media adalah salah satu pilar pembangunan. Media adalah penghubung informasi pembangunan antara pemerintah dan masyarakat. Catatatan saya, para jurnalis masih berkutat seputar berita-berita pembangunan yang terkesan fragmentaris dan temporis. Belum ada media yang secara rutin dan terus-menerus memberitakan geliat pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah secara utuh konprehensip sebagaimana Evaluasi Akhir Tahun dari Catatan Bung Pius. Dampaknya adalah, publik tidak memiliki narasi utuh-konperehensip untuk disimpan dalam memorynya sebagai cerita sukses tentang pemnbangunan yang sudah dikerjakan oleh pemerintah. Maka point catatan ini adalah beberapa media cetak dan online perlu dijadikan sebagai mitra tetap pemerintah dengan membuat Memorandum of Undersanting (MoU). Media-media inilah diharapkan menjadi corong pembangunan pemerintah agar secara massif publik memiliki pengetahun tentang implementasi program pembangunan di NTT.
Dari catatan ini dapat kita simpulkan bahwa triplehelix tidak cukup dalam membumikan pembangunan di NTT, tetapi dibutuhkan penthahelix. Penthahelix yang partisipatif, kolaboratif dan produktif, akan benar-benar membantu pemerintah dalam hal mengakselerasi program pembangunan NTT yang dimulai dari hulu hingga hilir. Jadi, Penthaheliks adalah qonditio sine qua non untuk mendukung percepatan bahkan loncatan pembangunan di NTT.
Dari Kecepatan ke Percepatan Bahkan Loncatan
Dalam Evaluasi Kritis, bung Pius menulis bahwa dalam level implementasi program pembangunan, gubernur NTT menganut semangat demokrasi domokrasi. Artinya, pemerintah dari kecepatan, untuk kecepatan dan oleh kecepatan. Karena baginya, kecepatan itu adalah nilai serentak itu adalah mutu.
Pointnya adalah kecepatan adalah mutu. Tafsirnya adalah akselerasi percepatan pembangunan harus bermutu. Mutu tidak boleh alpa atau bahkan diabaikan dalam kecepatan pembangunan.
Namun, perlu dicatat bahwa gubernur NTT pada tahun 2021 memasuki tahun ketiga kepemimpinan beliau. Maka catatannya adalah bukan lagi kecepatan, melainkan percepatan. Bahkan bila perlu loncatan. Mengapa? Karena kecepatan terkesan biasa-biasa saja; tetapi bila semangatnya adalah percepatan bahkan loncatan sehingga pilar penthahelix tegerak sedemikian cepat tetapi tepat demi untuk pencapaian program-program strategis pembangunan lima tahun. Dengan pendekatan percepatan bahkan loncatan maka publik yakin bahwa tentu tidak ada program yang tertinggal. Segala dimensi pembangunan diperhatikan dan tersentuh. Berbagai daerah di NTT terjangkau dalam derap pembangunan menuju NTT Bangkit dan Sejahtera. Pendekatan percepatan pembangunan diharapkan dapat meniadakan dikotomi dan polarisasi dalam proses pembangunan, tetapi semuanya terukur secara holistic.
Dalam pendekatan percepatan bahkan loncatan pembangunan, butuh tiga kuat dalam teamwork. Kuat loyalitas, kuat komitmen kerakyatann dan di atas segalanya, teamwork harus kuat integritasnya. Untuk membutuhkan teamwork dengan tipikal sebagaimana saya sebutkan ini, dibutuhkan pilar pembangunan berikutnya, yakni akademisi yang memiliki knowledge power dalam proses rekrutmen para pejabat eseloniring.
Dari narasi yang terbaca dalam catatan akhir itu, peran akademisi disebutkan. Mereka berperan sebagai tim seleksi calon-calon pejabat. Di tangan mereka, lahirlah birokrat tulen yang populis sebagai pembantu gubernur.Mereka adalah ujung tombak dalam mensinergikan dan membumikan program pembangunan yang termuat dalam RPJM gubernur NTT.
Perlu dicatat pada bagian ini, berangkat dari evaluasi kritis bung Pius bahwa ada juga birokrat yang lambat adaptif terhadap ritme kerja gubernur NTT. Maka dalam proses rekrutmen birokrat untuk menduduki jabatan tertentu, berbagai pertimbangan menjadi faktor penentu dan di atas segala faktor itu, the right man on the right place adalah mahkotanya. Inilah catatan terkesan basih, tapi perlu diulang karena penting, sebagai masukan bagi para akademisi dalam proses rekrutmen pejabat eselonering, agar dalam proses itu unsur like and dislike dikesampingkan dan pesan sponsor sedapat mungkin diabaikan.**)Penulis adalah Warga NTT, Tinggal di Kota Kupang.