Oleh: Germanus S. Attawuwur
Ultah NTT: Momentum Refleksi
Tanggal 20-12-2020, termasuk angka cantik. Angka itu terlihat kian cantik karena bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Provinsi Nusa Tenggara Timur yang ke-62. Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 22-12-2020 adalah Hari Ibu. Penulis memilih untuk menulis opini ini sebagai refleksi sekaligus apresiasi penulis atas Ultah Provinsi NTT pada Hari Ibu. Mengapa justru pada Hari Ibu? Karena bagi penulis, Provinsi NTT adalah Ibu Pertiwi, yang sudah mengasi, mengasu dan mengasa sekitar lima juta lebih penduduknya menjadi manusia NTT yang Indonesia.
Spanduk yang bertuliskan Selamat Ulang Tahun NTT ke- 62 , dengan beraneka tema terlihat jelas di berbagai kantor pemerintah. Walaupun merayakan ulang tahunnya, tokh terlihat sepi. Tiada bunyi musik membahana dan tarian meriah. Kita merayakannya dalam diam. Kita hendak memaknai ulang tahun ini dalam kesederhanaan. Karena kita sadar, ulang tahun di masa pandemi corona virus, bukanlah kesempatan untuk berhura-hura, melainkan sebagai momentum untuk merefleksi.
Maka moment yang bersejarah ini patutlah digunakan untuk berrefleksi, yang daripadanya kita menimbah kekuatan untuk beraksi. Jadi Ulang Tahun sebagai moment untuk melakukan tapak-tapak undur, kembali melihat kapasitas diri dalam hubungan dengan tata kelola pemerintahan untuk mewujudkan NTT Bangkit dan Sejahtera. Apakah tata kelola pemerintahan selama ini benar-benar transparan dengan pelibatan partisipasi publik yang optimal? Apakah sudah mulai terwujud pemerintahan yang baik dan bersih? Singkat kata, apakah pemerintahan dalam semangat menuju NTT Bangkit dan Sejahtera sudah sungguh-sungguh demokratis berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keteterbukaan Informasi Publik?
Sebab hadirnya Undang-undang ini dalam rangka mengawasi penyelenggaraan negara yang terbuka untuk menjamin keterpenuhan hak asasi setiap orang untuk memperoleh informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 dan Amandemennya. Dalam perspekftif inilah kita bersama-sama melakukan kilas balik perjalanan untuk meneropong secara jujur dan obyektif segala strategi kerja dalam kapasitas sebagai pelayan masyarakat dalam rangka memenuhi hak masyarakat untuk tahu, untuk ikut berpartisipasi dalam mengawasi penyelenggaraan negara yang baik dan bersih menuju NTT Bangit dan Sejahtera.
Komisi Informasi NTT: Bukti Political will Gubernur NTT
Setahun pasca terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, tepatnya tanggal 8 Maret 2019, sosialisasi pembentukan Komisi Informasi di tingkat Provinsi NTT mulai digiatkan kembali oleh Komisioner Komisi Informasi Pusat. Dalam sosialisasi yang bertemakan Peran Komisi Informasi Dalam Reformasi Birokrasi, Romanus Ndau Lendong, Komisioner Komisi Informasi Pusat mengatakan bahwa:” UU Keterbukaan Informasi Publik punya visi besar untuk mengawal pemerintahan yang baik dan bersih.” Dalam kesempatan itu, beliau mengatakan bahwa hingga pertengahan tahun 2019, Komisi Informasi Provinsi NTT dan Maluku Utara belum terbentuk. Padahal Undang-Undang Keterbukaan Informasi memandatkan pembentukan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi dilakukan dua tahun setelah Komisi Informasi Pusat terbentuk. Artinya, mustinya Komisi Informasi ini harus sudah terbentuk pada tahun 2012.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pasca dilakukan diskusi terbatas di atas, komitmen Gubernur NTT terlihat jelas. Melalui Dinas Komunikasi Informasi (Kominfo) Provinsi NTT, dibentuklah tim seleksi dengan tugas utama untuk membentuk Komisi Komisi Informasi NTT. Proses itu berpuncak pada tanggal 29 Agustus 2019, dengan dilantiknya lima anggota Komisioner Komisi Informasi Provinsi Nusa Tenggara Timur oleh Wakil Gubernur NTT. Jadi, di NTT komisi ini baru terbentuk 11 tahun kemudian setelah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik disahkan. Komisi ini lahir sebagai bukti terwujudnya politicall will Gubernur NTT yang harus diapresiasi oleh masyarakat.
Komisi yang sudah terbentuk ini merupakan lembaga mandiri yang berfungsi untuk melaksanaan UU keterbukaan informasi publik, menetapkan petunjuk teknis pelayanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi atau adjudikasi. Satu tahun komisi ini sudah berkiprah. Sebagai lembaga baru para komisioner memiliki semangat belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar untuk “membesarkan” lembaga ini. Dalam semangat inilah, para komisioner telah “memperkenalkan” lembaga ini melalui berbagai kegiatan. Sebut saja, ada kegiatan memperingati Hari Hak untuk Tahu Sedunia yang digelar pada tanggal 10 November 2020 dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Ada lagi kegiatan Diseminasi Keterbukaan Informasi Publik kepada pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Agar Komisi Informasi ini terbentuk sampai pada tingkat kabupaten/kota, maka komisioner melakukan juga sosialisasi kepada pemerintahan di kabupaten/kota. Terhitung ada 13 kabupaten/kota sudah dilakukan sosialisasi pada tahun ini.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa salah satu kewengan Komisi Informasi menurut Undang-Undang nomor 14 tahun 2008, adalah menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi atau adjudikasi, maka masyarakat atau badan publik memiliki kedudukan hukum untuk dapat mensengketakan informasi publik kepada Komisi Informasi. Proses persidangan dan putusannya bersifat adjudikasi non ligitasi. Artinya, para komisioner Komisi Informasi bertindak sebagai Majelis Sidang dalam rangka menyelesaikan sengketa di luar proses pengadilan. Walau jalur yang digunakan adalah pengadilan non litigasi, tetapi kekuatan putusan para Majelis Komisioner setara kekuatan pada proses pengadilan. Jadi putusannya memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat.
Pasca Komisi Informasi ini terbentuk baru satu informasi publik yang disengketakan kepada Komisi Informasi NTT. Padahal bukankah NTT ini pada pemerintahan sebelum Gubernur Viktor Bungtilu Lasikodat, pernah terklasifikasi sebagai provinsi terkorup ketiga di Indonesia? Bukankah begitu banyak badan publik baik pemerintah maupun non pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif, BUMN/BUMD, Lembaga Pendidikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi baik Swasta maupun Negeri, Koperasi, Partai Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah badan-badan publik yang memiliki kewenangan untuk mengelola anggaran dan mengimplemenasikan kegiatan pembangunan demi kepentingan umum, yang dalam prakteknya dapat berpotensi terjadi praktek KKN? Lembaga-lembaga sebagaimana penulis sebutkan di atas, memiliki kewajiban normatif untuk menyediakan informasi publik bagi masyarakat. Dan masyarakat memiliki hak konstitusional bahkan hak asasi untuk mengakses dan memperoleh infromasi publik itu.
Pertanyaannya, mengapa baru satu saja infromasi publik yang disengketakan?
Apakah karena Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang bertugas sebagai penyedia informasi publik tentang tata kelola pemerintahan di setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan di setiap kabupaten/kota sudah berjalan dengan baik? Atau apakah karena masyarakat tidak tahu atau malah apatis terhadap mandat yang diberikan oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 kepada masyarakat untuk mengawasi penyelenggaraan negara agar baik dan bersih dengan menghindari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme?
Inilah sejumlah pertanyaan reflektif bagi kita, dalam rangka memaknai Ulang Tahun NTT yang ke-62 tahun agar menjadi provinsi yang informatif. Hasil refleksi akan menjadi tonggak sejarah pedoman arah untuk mewujudkan NTT Bangkit dan Sejahtera dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.**)Penulis adalah, Komisioner Komisi Informasi NTT