JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM – Kongres Rakyat Flores (KFR) dan Setara Institut, mendukung penuh langkah Bareskrim Polri membongkar jaringan mafia tanah yang berkolaborasi dengan oknum pejabat Kantor BPN Kabupaten Manggarai Barat. Pasalnya, secara melawan hukum pihak tertentu mengubah sebagian tanah ulayat Sepang Nggieng, menjadi milik perorangan kepada sekelompok orang lain melalui penerbitan 563 SHM secara ilegal.
Dalam keterangan tertulis yang diterima SelatanIndonesia.com dari Jakarta, Rabu (18/11/2020), Ketua Presidium Kongres Rakyat Flores (KRF) Petrus Selestinus dan Dewan Nasional Setara Institut, Benny Susatyo menyebutkan, terbongkarnya jaringan mafia tanah Labuan Bajo, berkat Laporan Polisi dari Pemangku Hak Ulayat Sepang Nggieng No. LP/B/0100/II/2020/Bareskrim, tanggal 20 Februari 2020, atas dugaan Tindak Pidana pemalsuan surat tanah, dan ditemukan bukti-bukti yang cukup, sehingga dietapkan beberapa oknum pejabat BPN Manggarai Barat sebagai tersangka pelakunya.
“Kita patut mengapresiasi kerja keras Bareskrim Polri membongkar jaringan Mafia Tanah Labuan Bajo, karena hal itu berarti Bareskrim Polri atas nama Negara menunjukan komitmen konstitusionalnya yaitu menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya, sesuai dengan prinsip NKRI, melalui upaya penegakan hukum,” sebut Petrus.
Dijelaskan, KRF dan Setara Institut menyatakan protes keras, karena Kantor BPN Manggarai Barat, telah mengabaikan fungsi pelayanan publik dan menjadi “agen” Mafia Tanah, menjadi kepanjangan tangan para mafioso “menganeksasi” Hak Ulayat Sepang Nggieng, Labuan Bajo untuk kepentingan pihak ketiga, demi transaksi ratusan miliar rupiah, dan menghancurkan kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan menghambat program strategis nasional.
Hak Ulayat dan Daya Tangkal Masyarakat
Disebutkan, Hak Ulayat, mendapat pengkuan dalam UUD 1945, dimana “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.”, dan pada UU No.5 Tahun 1960, Tentang Pokok-Pokok Agraria, justru hak menguasai dari Negara, dikuasakan kepada daerah Swatantra dan kepada Masyarakat Hukum Adat” (Hak Ulayat).
Ia menambahkan, mestinya Hak Ulayat harus menjadi kekuatan menangkal atau menjadi daya tangkal masyarakat, menolak segala anasir-anasir asing yang datang merusak. Jaringan Mafia Tanah yang terorganisir harus dibasmi, tetapi yang terjadi justru Kantor BPN Manggarai Barat dijadikan “agen” dan ujung tombak Mafia Tanah.
“Ini jelas meremehkan posisi Hak Ulayat, maka Mafia Tanah Labuan Bajo, harus kita lawan dan jadikan sebagai musuh bersama masyarakat Manggarai Barat sekarang juga. Karena praktek-praktek bejad Mafia Tanah di Labuan Bajo jika dibiarkan, maka sistim pemilikan tanah secara komunal akan punah, tradisi budaya dan spiritualitas komunal Sepang Nggieng bisa pudar, pendek kata semuanya akan hilang tanpa bekas,” sebutnya.***Laurens Leba Tukan