
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Eksepsi yang dilayangkan tim penasehat hukum Jonas Salean ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kupang, Selasa (17/11/2020). Penolakan terhadap eksepsi itu terjadi pada sidang putusan sela yang dipimpin Ketua Majlis Hakim Dju Jhonson Mira Mangngi, S. H, MH didampingi hakim anggota, Ari Prabowo dan Ibnu Kholiq.
Jonas Salean menyambut tenang putusan sela tersebut. Mantan Wali Kota Kupang ini menilai, dengan penolakan eksepsi tersebut maka sidang selanjutnya akan masuk ke pokok perkara sehingga lebih nyata dan cepat selesai. “Daripada keberatan diterima lalu digantung terus juga menjadi persoalan. Kan hari Senin 23 Nopember 2020 sudah langsung pemeriksaan saksi. Sehingga disitu baru bisa dibuktikan,” sebut Jonas Salean usai sidang putusan sela.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPRD Provinsi NTT ini, dalam eksepsi itu pihaknya hanya meminta bahwa Pengadilan Tipikor tidak berwewenang, karena jaksa bilang itu aset, sedangkan ia dengan bukti-bukti yang dimilikinya bahwa lahan itu bukan aset. “Tetapi itu sudah masuk di rana pokok perkara. Kan dakwaan JPU mengatakan bahwa saya sebagai Wali Kota ketika itu sengaja tidak mendaftarkan tanah itu sebagai aset, sehingga merugikan negara mencapai Rp 66 miliar,” katanya.
Disebutkan Jonas, selama penyidikan, terjadi silang pendapat dengan jakasa karena menurut jaksa itu adalah aset, sedangkan sebagai mantan Wali Kota, Jonas Salean dengan bukti yang ada terutama Surat Bupati Kupang tahun 1994, aset itu sudah dihapus, bukan jadi aset lagi. “Sehinggga ketika penyerahan P3D dari Kabupaten Kupang ke Kota Madya pada tahun 1996 itu tidak diserahkan dan tidak termasuk dalam aset. Sehingga mulai dari 1996 sampai saya jadi Wali Kota, semua tidak masuk dalam aset, juga pemeriksaan neraca keuangan itu tidak masuk dalam aset. Tetapi itu nanti dibuktikan dalam pokok perkara, bukan pada eksepsi ini,” jelas Jonas.
Menurut Jonas, eksepsi yang disampaikannya minimal sudah memberikan gambaran kepada majelis hakim bahwa sebenarnya itu aset atau bukan aset. “Juga tentang kerugian negara yang menurut jaksa mencapai Rp 66 miliar, loh kok tanah masih ada kok, tidak ada yang kurang, terus uang Rp 66 miliar itu dari mana. Setiap pemilik kapling tanah, membayar Rp 200.000 dan uangnya distor ke kas daerah. Lalau dia urus sertifikat, BPHPB dia bayar Rp 7 – Rp 8 juta dia bayar ke kas daerah lalu kerugian negara dimana. Itu persoalannya dan akan kita buktikan di pokok perkara,” jelas Jonas.
Tujuan keberatan yang diajukan itu, menurut dia, untuk memberikan gambaran ke majelis hakim untuk mendalami kasus ini apakah aset atau bukan aset. “Kita punya bukti lengkap, ada penghapusan aset tahun 1994. Kalau dia aset maka pada saat penyerahan P3D dari Kabupaten tahun 1996 ke kita di Kota Madya itu sudah masuk dan bisa dilihat di aliran neraca kas, dan hasil pemeriksaan tiap tahun. Apa lagi terkahir hasil rekon aset daerah terhadap tanah di Kota Kupang tahun 2019 yang ditandatangani Wali Kota itu tidak termasuk, ini bukti – bukti yang kita sampaikan dalam sidang pokok perkara,” katanya.
Ketua tim penasehat hukum Jonas Salean, Yanto Ekon kepada wartawan mengatakan, pihaknya menghormati putusan selah. “Menurut majelis hakim, eksepsi kita sudah memasuki pokok perkara, maka kita masuk ke pembuktian, kita hormati putusan selah dan kita siap masuk ke tahap pembuktian,” sebut Yanto.
Menurutnya, jaksa akan membutkikan sertifkat hak pakai nomor 5 tahun 1981 belum dihapus. “Dan kami akan membuktikan semaskimal mungkin bahwa sertifikat itu sudah dihapus sejak tahun 1994 berdasarkan keputusan Bupati Kupang yang saat itu dijabat oleh Pak Paul Lawarihi,” katanya.
Selain itu, Yanto mengatakan, jika sudah dihapus maka Pasal 55 dari PP 40 tahun 1996 berlaku. “Bahwa hapusnya hak pakai karena dilepaskan oleh pemegang hak. Setelah hak pakai itu dihapus maka hak pakai itu jatuh kembali menjadi tanah negara yang bebas. Dan kalau tanah negara bebas maka itu bukan korupsi. Pembagiana pengkaplingan itu bukan tindakan korupsi, itu yang nanti kami buktikan dalam proses persidangan,” jelas Yanto.***Laurens Leba Tukan