
Kelahiran Partai Golkar (Golkar) tidak lepas dari dinamika politik orde baru. Golkar lahir karena keprihatinan elite TNI Angkatan Darat (AD) atas pertarungan kepentingan yang dimotori Partai Komunis Indonesia (PKI) waktu itu. Elite AD membaca, kekuatan PKI sudah masuk memengaruhi dua kelompok utama kekuasaan yakni kelompok agama dan nasionalis.
Penilaian beberapa pihak, kekuatan dua kelompok ini hampir lumpuh karena menguatnya dominasi PKI. Karena itu, pada 20 Oktober 1964, sekretariat bersama (Sekber) membentuk Golongan Karya. Golkar lahir dengan semangat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Golkar hadir untuk mengakomoasi semua kepentingan yang tidak bisa ditampung di dua elemen lembaga yang kuat memertahankan kepentingannya. Menurut elite Golkar waktu itu, jika semangat agama dan over-nasionalisme yang terus dibangun di ruang kebangsaan, Indonesia akan jatuh ke dalam kubangan ekstrimisme.
Membaca realitas politik kala, Golkar memilih jalan tengah. Golkar membaca, setiap golongan yang telah bekerja sama membangun bangsa, yang tidak hidup dalam sekat-sekat agama, kepentingan, nasionalisme sempit, dan anasir ideologi lainnya laik disatukan dalam sebuah wadah.
Golongan Karya awal memang tidak disebut partai politik. Meski demikian, kelompok ini boleh mengikuti pemilihan umum. Atas dasar itulah, golongan karya dianggap sebagai kelompok kepentingan yang memboncengi kekuasaan. Belum pernah ada di ruang politik di mana pun, sebuah golongan boleh menjadi peserta pemilihan umum dan bisa mengajukan calon pemimpin (Dhakidae, 2003). Ruang gelap Golkar ada di situ.
Reformasi berkata lain. Reformasi menuntut Golkar untuk segera meninggalkan jejak malang tersebut. Golkar harus segera keluar dari jebakan lubang hitam yang memenjarakan dirinya.
Atas dasar itu, sejak era reformasi, elite Golongan Karya mengubah lembaga Golkar, dari hanya sebagai sebuah golongan ke arena yang disebut partai politik. Golongan Karya diubah menjadi Partai Golongan Karya (Partai Golkar).
Tulisan ini ingin membedah eksistensi Golkar dalam perjalanan bangsa selama beberapa dekade. Tesis dasarnya, setiap lembaga yang berpegang teguh pada nilai kebangsaan akan selamanya hidup. Sebab, lembaga itu tidak hadir dengan sendirinya di atas bumi Indonesia. Lembaga itu hadir justru karena keindonesiaan itu. Partai Golkar berada di jalur seperti itu.
Politik Kebangsaan
Sebagai sebuah lembaga politik, Partai Golkar dibangun untuk tujuan politik. Fakta itu sulit dibantah. Meski demikian, libido kekuasaan dalam politik yang mengilhami kelahiran Partai Golkar tidak serta merta menjadikan Partai Golkar tunduk di bawah hasrat kekuasaan semata. Sebab, partai ini memiliki fondasi etis yang sangat dalam.
Dalam relung pendiri partai, Golkar adalah sebuah kekuatan utama menjaga persatuan dan kesatuan. Dalam logika demikian, elite Partai Golkar sepakat bahwa kebangsaan Indonesia merupakan entitas final. Yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak saja final tetapi mengikat. Artinya, pilar NKRI di samping tiga pilar lainnya merupakan roh yang menghidupkan tidak saja Golkar tetapi bangsa Indonesia. Karena itu, setiap yang merongrong NKRI akan berhadapan dengan Golkar terlebih dahulu.
Politik tidak diarahkan untuk tujuan disintegrasi. Politik kebangsaan merupakan konsep politik yang mengarahkan politik untuk tujuan integratif (Hinger dan Schweitzer, Eds., 2020). Dalam Politics of (Dis)Integration, Hinger dan Schweitzer, dan kawan-kawan mengkritisi ruang politik di beberapa negara yang penuh dengan debu disintegratif.
Politik yang terus memelihara api konflik adalah politik yang berwatak integratif. Jika demikian, tujuan politik lembaga politik sama dengan gagal. Sebab, dalam dirinya, lembaga politik, termasuk partai politik di dalamnya, merupakan elemen yang terus menggagas persatuan bangsa. Dalam kerangka demikian, Partai Golkar sejatinya memiliki ciri integratif itu. Pernyataan tersebut tentu bukan supaya elite Partai Golkar menepuk dada. Fakta menunjukkan, Golkar adalah partai yang terus menjaga dan memupuk persatuan.
Dinamika internal Partai Golkar tidak berimplikasi disintegratif secara eksternal. Hal itu bisa dibaca dari proses suksesi di tubuh partai ini. Dinamika jelas menjadi ciri utama sebuah partai yang memiliki basis demokrasi. Hanya, di beberapa partai politik di Indonesia, fakta akan muncul partai atau lembaga politik baru buah dari sakit hati karena suksesi internal terlampau banyak. Golkar tidak seperti itu. Itulah kehebatan partai ini.
Untuk menjelaskan mengapa realitas seperti itu kerap menghiasi dunia partai politik, temuan Thompson (2020) perlu didiskusikan di sini. Dalam Power Concentration in World Politics, Thompson menyebutkan kekuatan partai politik sangat tergantung pada kinerja lembaga dalam hal kepemimpinan, perkembangan lembaga, dan manajemen pengelolahan konflik.
Membaca Partai Golkar, di aspek kepemimpinan, partai ini bisa dijadikan contoh manajemen kepempiminan yang mumpuni. Dalam sejarah Golkar, belum ada satu pun kepemimpinan partai yang dibentuk karena embel-embel dinastik seperti yang ramai didiskusikan di ruang politik lokal dan nasional Indonesia akhir-akhir ini. Di aspek ini, Partai Golkar sungguh menjadi satu-satunya partai yang tidak bisa diidentifikasikan dengan kelompok atau keluarga tertentu.
Di ranah perkembangan kelembagaan, indikator utama yang harus dilihat ialah kinerja partai dalam membangun budaya politik. Membaca data politik, partai ini tidak pernah berada di luar kekuasaan dalam setiap pergantian rezim di Indonesia. Muncul pro dan kontra memang dalam konteks seperti ini. Yang setuju Golkar masuk ke jalur pemerintahan menyebutkan Golkar menjadi partai yang tidak konsisten. Di sisi yang lain, yang kontra mengatakan bahwa Partai Golkar memiliki pandangan lain. Politik memang mensyaratkan adanya persaingan. Meski demikian, ketika semua proses politik telah selesai, semua elemen wajib mendukun rezim yang berkuasa.
Setiap kita memiliki pandangan berbeda tentang fenomena ini. Bagi saya, sejauh langkah politik itu bisa mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, semua orang wajib menghargainya. Partai Golkar berada di jalur demikian. Bacaan saya, langkah politik mendukung pemerintah, meski sebelumnya menjadi oposisi, merupakan bagian dari dinamika. Yang penting, partai politik tersebut menempatkan persatuan bangsa di atas kepentingan partai atau individu elite partai dan bukan sebaliknya. Selain itu, langkah politik tersebut harus pula menunjukkan kinerja baik dalam pemerintahan. Ini catatan penting yang harus diingat.
Konteks Golkar NTT
Gerak laju Partai Golkar di Indonesia dan juga di NTT tidak lepas dari apa yang disebut praksis kerja politik kepartaian. Di sana, politik, ideologi, dan nasionalisme menjadi substansi utama (Chakrabarty, 2020).
Berkaitan dengan politik, ideologi, dan nasionalisme, kekuatan utama Partai Golkar dapat ditemukan. Beberapa keutamaan dapat disebutkan berikut ini. Pertama, Partai Golkar merupakan partai yang sangat dinamis. Hal ini dapat dilihat dari proses pergantian kepemimpinan. Ada kenaikan tensi politik saat terjadi suksesi. Meski demikian, semua tetap berjalan dalam jalur sportivitas yang tinggi. Di ujungnya ada satu sikap yakni mendukung kepemimpinan yang sudah dibentuk.
Kedua, kejelasan kaderisasi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kader Golkar yang bersaing dalam setiap kontestasi dan dalam fase suksesi kepemimpinan. Meski begitu, masih ada satu dua catatan yang harus disebutkan agar menjadi perhatian elite Golkar. Terkait dengan kaderisasi, faktanya, di beberapa kontestasi politik lokal, Partai Golkar belum mampu menjadi pusat episentrum politik lokal dengan mengajukan calon pemimpin. Fakta ini mesti menjadi perhatian elite Golkar ke depan. Dalam beberapa kali suksesi politik lokal di NTT, Partai Golkar kadang tidak mengajukan calon. Golkar hanya mendukung kader yang telah diusung partai lain. Bisa dimengerti memang karena dinamika internal partai menuntut proses penentuan kepemimpinan yang sesuai kehendak rakyat setempat.
Ketiga, masih berkaitan dengan yang pertama, pelembagaan demokrasi berjalan baik di Partai Golkar termasuk di Golkar NTT. Bacaan saya, di sana tidak dikenal model politik patrimonial (nonpatrimonial relationship). Fenomena nonpatrimonial seperti itu baik untuk sebuah lembaga yang mengusung demokrasi sebagai salah satu pilihan berorganisasi. Realitas nonpatrimonial bisa dilihat di model pelembagaan demokrasi NTT. Golkar merupakan partai yang tidak mementingkan figur. Setiap anggota yang memiliki potensi berpeluang memimpin Partai Golkar NTT.
Keempat, perlu diakui model resolusi konflik yang diambil Partai Golkar. Dalam beberapa kasus suksesi politik baik secara internal maupun eksternal, desas-desus perpecahan nyaris hilang oleh semangat keberasamaan. Hemat saya, hal ini disebabkan karena menguatnya kadar ideologi kebangsaan dan nasionalisme elite dan anggota Partai Golkar.
Dalam kasus regenerasi kader ketika pergantian kepemimpinan Partai Golkar di NTT, riak konflik bukannya tidak ada. Meski demikian, musyawara mufakat tetapi diambil sebagai pilihan untuk menyelesaikan konflik. Realitas itu terjadi dalam proses pergantian kepemimpinan Golkar di tingkat kabupaten baru-baru ini.
Empat hal yang disebutkan di atas merupakan contoh imaji kebangsaan tidak saja Partai Golkar di tingkat pusat tetapi terutama Partai Golkar NTT. Imaji kebangsaan memang jelas menjadi landasan partai ini. Imaji kebangsaan ini pula yang menyebabkan Partai Golkar selalu dirindu oleh banyak orang meski dibenci sebagian kecil massa. Imaji kebangsaan adalah roh yang menghidupi Partai Golkar.***)