Memori di Hari Buku Nasional

134
Guru Kampung, Maksimus Masan Kian

Sejak kecil hingga mengakhiri masa kuliah tahun 2009, saya tidak ada bayangan untuk menulis sebuah buku. Jangankan menulis buku, menulis status di Facebook saja, saya tidak bisa karena, memang di tahun itu, saya belum mengenal yang namanya Facebook.

Mengenal Facebook baru ditahan 2011 atau tepatnya sembilan tahun yang lalu. Awal menggunakan Facebookpun, sebatas melepaskan status galau, curahan hati dan status harian lainnya tanpa makna.

Setelah membaca  beberapa status teman di Facebook, saya terinspirasi dan mengisi Facebook saya dengan tulisan -tulisan, seputar kesulitan yang dialami warga. Ragam tulisan itu, mulai dari jalan rusak, ketiadaan air, ketiadaan jaringan listrik, daerah tanpa PLN, obyek wisata, dan membagikan berita -berita atau foto pada koran cetak, khusus tentang kasus yang menyeret pejabat, baik pusat maupun daerah termasuk gerakan kelompok organisasi yang Anti Korupsi.

Karena kebiasaan menulis seputar aspirasi di media sosial, saya “ditangkap dan dipenjarakan” oleh Sahabat Sandro Balawangkak untuk menulis di media yang ia kelolah dari Bali. Media itu bernama Weeklilyne. Net. Sandro adalah teman, kaka juga guru yang sangat kami segani sejak masa Mahasiswa, karena kala itu, ia sudah jadi wartawan di Kota Karang, Kupang yang setiap hari tugasnya menulis. Selain pandai menulis, ia juga terampil dalam berbicara.

Tulisan-tulisan saya di Facebook, disadur masuk dalam tulisan di media online weeklyline.net. Dari sana, saya mengadu nasib tulisan saya ke media cetak di Flores Pos dan Pos Kupang. Dua media ini rutin menyiapkan ruang untuk menampung aspirasi warga NTT. Di Pos Kupang dikenal dengan rubrik Jurnalisme warga, dan di Flores Pos dikenal dengan rubrik aspirasi. Sekian kabar tulisan saya dari beberapa penjuru Flores Timur yang memiliki keterbatasan infrastruktur jalan,  ketiadaan air, belum masuknya PLN tersaji pada dua media ini, selain di media online lainnya. Tidak hanya itu, sebagian naskah liputan di lapangan, saya kirimkan ke wartawan dan mendapat ruang publikasi setelah ada konfirmasi balik yang dilakukan oleh wartawan tersebut.

Perjalanan panjang menulis di media online dan media cetak mendorong saya untuk mengadu nasib untuk menulis buku. Dan sejak 2015 hingga kini, saya bisa menghasilkan 13 buku dengan rincian 2 buku tulisan sendiri dan sebelas buku karya bersama.

Tiga belas buku itu diantaranya, dua buku karya sendiri yakni Ujung Pena Guru Kampung (Kumpulan Karya Jurnalistik) terbit tahun 2015 dan Ujung Pena Guru Kampung II, terbit tahun 2018. Sementara sebelas karya bersama itu diantaranya, Kumpulan Cerita Rakyat Flores Timur (2015), Karyamu Karya Bersama (2016), Membangun Kapasitas Guru Penulis (2016), Revolusi Mental Ala Guru (2017), PGRI Solor Barat dan Kemanusiaan yang Terhempas (2017), Gokil, Kisah Seru, Lucu dan Menginspirasi (2018), Leher Inspirerend (2018), Mata Pena (2018), Keteladanan Sebagai Nadi Gerakan Literasi (2019), Asal Usul Lewo di Kabupaten Flores Timur (2019) dan Refleksi Di Tengah Corona (2020).

Tidak ada sekolah khusus untuk bisa menjadi seorang penulis. Terbukti, banyak penulis ternama di ini negeri m, tidak berasal dari Jurusan khusus menulis. Rumus menulis tidak terlepas dari kemauan untuk menulis dan kegilaan untuk terus berlatih.

Saat inipun kemudahan untuk menulis dan menerbitkan buku sudah sangat terbuka. Selain karena perkembangan teknologi, informasi dan telekomunikasi, iklim literasi di daerah pun bertumbuh ke arah baik, dimana lahirnya komunitas atau kelompok yang bergiat di dunia menulis dan kreasi lainnya seputar literasi yang digerakkan secara person. Selamat Hari Buku Nasional, 17 Mei 2020, Salam hormat*)

Center Align Buttons in Bootstrap