Catatan ringan ini untuk menjawab siapa saja yang membelokan aturan hukum dan membangun opini yang menyesatkan publik
Belakangan ini kita membaca perdebatan di media sosial tentang Honor FORKOMPIMDA Rp. 20.000.000 ( Dua pulu juta rupiah ) dan tulisan beberapa orang yang bicara dasar Hukum Honor Forkompimda di Kabupaten Flores Timur yang fantastis itu.
Atas pertanyĆ an dan tulisan yang dishare ke saya, Ada beberapa poinĀ menggelitikĀ pada tulisan yang ramai diperdebatkan dimana membenarkan kebijakan tak masuk akal ini, antara lain :
1). Honor forkompimda itu sudah ditetapkan dalam APBD antara DPRD dan pemerintah ( Bupati ) oleh karena APBD itu sudah menjadi PERDA makaĀ dijabarkan oleh bupati dalam perbup untuk teknis oprasionalnya. Dengan demikian maka bupati tidak melanggar hukum apapun karena sudah melaksanakanĀ sesuai aturan ketatanegaraan. Besaran Honor itupun menurut mereka sudah sesuai Standar Biaya Umum ( SBU ) yang dibuat oleh bupati. Pemikiran sempit ini perlu dibuka agar tidak berada pada ruang gelap. Ingat ” Perda dan Perbub itu bukan segala-galanya untuk mengurus sesuka hati uang negara yang ada di daerah ”
Perlu dijelaskan bahwa APBD merupakanĀ dasar Pengelolaan Keuangan DaerahĀ dalam masa 1 (satu) tahun anggaran sesuai dengan Undang- undang Keuangan Negara yang dibahas dan ditetapkan oleh DPRD dan pemerintah. Dasar penetapan Perda APBD itu jugaĀ mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan PemerintahĀ No.12 Tahun 2019 tentang PengelolaanĀ Keuangan Daerah. Didalam UU dan PP telah disebutkan secara detail : sumber keuangan daerah, penggunan, peruntukan dan tatacara pelaporan, dll. Mengapa APBD tetatap mengacu pada UU Keuangan Negara, UU pemerintah Daerah dan PP 12 Tahun 2019 ? Karena urusan fisikal ( keuangan ) tidak diberikan kepada daerah untuk mengaturnya secara sendiri dan bebas.
Ada 3 hal yang tidak dilimpahkan oleh pemerintah pusat dalam OTDA, yakini : pertahanan keamanan, Fisikal dan hubungan luar negeri. Oleh karena itu sangat fatal jikaĀ Perda APBD bertentangan dengan aturanĀ rujukan diatasnya. Bupati dalam hal ini tidak mendapat kewenangan baik secara delagasi maupun mandat dari peraturan diatasnya. Perkada ( perbup ) hanya menetapkan analisis standar biaya satuan dan teknis yang akan dibahas dalam rancangan Kerja dan Ramperda APBD ( baca Psl 51 PP 12 Tahun 2019 ). Dengan demikian apa dasar pijak Peraturan bupati sebagai panjabaran dari perda tentang Honor Forkompimda dengan besaran Rp. 20 juta perbulan?, dan mengapa bupati membuat SBU untuk honor Forkompimda?.
Pertanyaan aneh dan lucu ini memang hanya terjadi di Flores Timur. Yang namanya SBU adalah batasan tertinggi biaya pada lintas kementrian/ lembaga dan wilayah. Kewenangan itu ada pada Menteri Keuangan, yang setiap tahun dituangkanĀ dalam Peraturan menteri keuangan ( PMK )Tentang Standar Biaya Umum ( SBU ). SBU adalah satuan biaya berupa harga satuan,tarif, dan indeks yang digunakan untuk menyusun biaya komponen kegiatan, yang ditetapkan sebagai biaya masukan. Jadi jelas bukan kewenagan Bupati. Sangat tidak masuk akal SBU yang diterapkan dalam honor forkompimda lebih besar dari gaji pokok.
Aneh juga honor forkompimda diberikan setiap bulan, padahal Honorarium adalah jasa yang diberikan kepada PNS ,pegawai Non PNS yang melaksanakan tugas pelayanan pemerintahan yang ada di SKPD. Kepada mereka diberikan honor melekat setiap bulan.Apakah Forkompimda adalah pelaksana pelayanan tugas pemerintahan ? Jawabannya, Tidak.
Forkompimda melaksanakan tugas pemerintahan umum seperti keamanan dan ketertiban, dan atau mengamankan kebijakan Nasional di daerah. Forum koordinasi ini bersifat temporer sesuai kebutuhan. Oleh karenanya mereka tidak berhak mendapat honor melekat, tetapi honor kegiatan dimana mereka menjadi narasumber dalam rapat dan kegiatan lainya. Besaranya sesuai SBU, setau saya tdk lebih dari 3 Juta Rupiah dipotong pajak. Lasimnya biaya kegiatan Forkompimda adaĀ padaĀ Kesbangpol. Jika pemberian honor diluar SBU makaĀ terjadi mark up alias pengelembungan harga.
Ini DIDUGA Korupsi, karena Memenuhi Unsur delik dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UUNo. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UUNo. 20 Tahun 2001.Ā Pasal 2 ayat (1) UU tipikor, ā(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pasal 3 āSetiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pemberian uang diluar SBUĀ dan batasan yang telah ditetapksn oleh KPK bisa dikategorikan sebagai Gratifikasi. Para pejabat yang menerima sebaiknya menggembalikan uang rakyat itu agar honor ini tidak menjadi horor kemudian hari yang menyeret anda ke meja hijau, pun juga perbup itu kedepannya direvisi sesuai denganĀ aturan yang benar.
2). Tentang polemik LHP BPK yang menjadi salah satu acauan forum KRBF melapor adanya dugaan Korupsi dana Hibah. Semua kita tahu dasar pemberian hibah dari APBD dan sumber keuangannya yang diatur dalam Permendagri dan PP tetang pengelolaan keuangan daerah. Kalau kita baca aturan dan menjalankannya dengan benar maka tidak menimbulkan polemik. Semua bisa mengakses aturan dengan sangat muda jadi jangan ditutupi segala urusan yang berkaitan dengan kemaslahatan publik.
Terhadap polemik Laporan dugaan Korupsi ini, Ada pihak yang berpendapat bahwa LHP BPK tidak berupa Opini tetapi rekomendasi perbaikan administrasi sehingga Pemerintah tdk bisa disalahkan. Kalau merasa ada kejanggalan dalam LHP BPK silakan lapor auditor BPK atau gugat saja ke PTUN. Saya ditanyai beberapa orang yg membaca pendapat dalam tulisan itu.
Saya tidak langsung menjawab tetapi tertawa lucu. Tahu tidak apa itu Keputusan tata usaha negara, apa objek gugatan TUN dan siapa subjek yangĀ punya legal standing menggugat?? Ini pelajaran semester 4 S1 FH dulu. Koq ada orang yang merasa sebagai ahli hukum di pemda Flotim tdk tahu ini?. Saya jelaskan ” Keputusan TUN dikeluarkan oleh pejabat tata Usaha Negara yang bersifat Concret, indifidual dan mengikat. Ditujukan kepada individu atauĀ lembaga hukum privat. Jadi individu atau lembaga hukum privat yang merasa dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha NegaraĀ ( KTUN ) lah yang berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata UsahaĀ Negara.
Apakah LHP BPK adalah KTUN, jawabannya tidak karena dia tidak bersifat Concret, individual dan final. Konyol juga menyuruh KRBF menggugat, apa legal standingnya. Perlu di ketahui, banyak kasus dimana LHP BPK tidak ada temuan kerugian keuangan negara namun jaksa menemukan fakata lain, melalui jasa apraisalĀ jaksa menghitung kerugian keuangan negara sendiri. Sudah banyak orang dibawa ke pengadilan danĀ diputus bersalah oleh Pengadilan, contoh kasus:Ā PT cigarate di kupang yang melibatkan mantan pejabat kejati, Terminal Reo, kasus korupsi uang makan pelantikan bupati TTS ( MA bebas ), dan banyak kasus lain.
Memang BPK diberikan kewenangan untuk itu, tetapi bukan berarti tidak ada temuan BPK berarti pula bebas dari korupsi. Sajian akuntasi umum yang diperiksa BPK kadang berbeda dengan fakta lapangan. Permainan harga, modifikasi spesifikasi barang dan pengurangan volume pekerjaan kadang lupat dari pemeriksaan diatas buku. Belum lagi jual beli Opini BPK.*)
#Hendaklah benar katakan benar, jika salah katakan salah, lebih dari itu berasal dari si jahat.!! Salam dari Liliba Kupang