JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM-Hari Minggu sore (10/5/2020), istri, anak, dan cucunya sudah menunggu di kantor. Beberapa kerabat dekat juga sudah menunggu. Sementara yang ditunggu, Letjen TNI Doni Monardo, masih berada di jalanan. Sore itu, ia dan sejumlah pejabat teras Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, berada di Terminal Pulu Gebang, Jakarta Timur.
Dua keadaan yang bisa menggambarkan keseluruhan sosok Doni Monardo di hari ulang tahunnya yang ke-57. Di hari istimewa bagi orang-orang terdekat, toh, Doni tidak memaknainya secara khusus, apalagi dengan meninggalkan tugas.
Meski hari Minggu adalah hari libur, tetapi sejak dua bulan lalu, tidak ada warna merah di kalender kerja Doni Monardo. Sejak ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi Kepala Gugus Tugas Covid-19, sejak itu pula ia tidak pulang ke rumah.
Setiap detik, setiap menit, setiap jam yang dilaluinya –di luar tiga-empat jam waktu tidur– ia gunakan untuk “bertempur” melawan pandemi Covid-19.
Pun di hari istimewa kemarin. Bagi Doni, memantau implementasi keputusan Menteri Perhubungan terlaik perizinan transportasi umum, menjadi sesuatu yang krusial.
Sebab, jika keputusan Menhub disikapi secara serampangan, bisa menggagalkan peluh yang dicucurkan selama ini. Mobilitas manusia tanpa batas, adalah ancaman serius bagi upaya mengenyahkan virus corona dari bumi pertiwi.
Alhasil, Doni merasa sedikit lega, demi melihat langsung kondisi dan situasi di Terminal Pulo Gebang. Kesan pertama, semua petugas di terminal menjalankan prosedur sesuai arahan. Tidak ada kerumunan manusia. Di ruang tunggu, para calon penumpang duduk berjauh-jauhan. Pada tanda silang (X) yang ada di kursi tunggu, dibiarkan kosong.
Lalu masuk ke dalam bus. Moda transportasi berkapasitas sekitar 30 orang, hanya berisi enam orang penumpang, dengan jarak yang berjauhan. Bus kedua, hanya berisi tiga penumpang, dan bus ketiga bahkan hanya berisi satu orang penumpang.
Saat diperiksa kelengkapan dokumen bepergian sesuai persyaratan, pun, semua penumpang bisa menunjukkannya.
“Saya mengapresiasi kepatuhan warga dalam menjalankan aturan yang ditetapkan pemerintah. Hari ini di Pulo Gebang hanya ada tiga perjalanan bus dengan jumlah penumpang antara satu orang hingga enam orang. Semua yang menggunakan angkutan darat berangkat dengan mengantongi surat dinas dan juga surat kesehatan sesuai peraturan,” ujar Doni.
Seperti diketahui, merespon keputusan Menhub, maka Kepala Gugus Tugas sudah mengeluarkan Surat Edaran Gugus Tugas tentang penanganan Covid-19 nomor 4 tahun 2020 tentang perjalanan ke luar yang dikecualikan.
Kriteria yang dimaksud adalah perjalanan orang yang bekerja pada lembaga pemerintah atau swasta yang menyelenggarakan pelayanan Covid-19. Kedua, pelayanan ketahanan dan pertahanan ketertiban umum, ketiga, pelayanan kesehatan, keempat pelayanan kebutuhan dasar, kelima pelayanan pendukung layanan dasar dan pelayanan fungsi ekonomi penting.
Keenam adalah perjalanan pasien yang membutuhkan kesehatan darurat atau perjalanan orang yang keluarganya sakit keras atau meninggal dunia.
Juga repatriasi pekerja migran Indonesia dan warga Indonesia atau pelajar yang berada di luar negeri serta pemulangan orang dengan alasan khusus ke daerah asal.
Terminal Pulo Gebang, Jakarta Timur menjadi satu-satunya terminal di Ibukota yang dibuka untuk layanan transportasi antarkota antarprovinsi.
Ihwal kunjungan Doni ke Pulo Gebang sore itu, terkait pula dengan informasi yang sempat berkembang sebelumnya. Dikabarkan, Sabtu (9/5/2020), terminal Pulo Gebang penuh. Para calon penumpang berjubel.
Atas dasar kebutuhan check and recheck, Doni dan staf pun meluncur ke sana. Ketika ia jumpai kondisi tidak seperti yang diberitakan, Doni pun lega.
Ia sempat mengulang pernyataan sebelumnya, yang sempat dikutip secara keliru oleh beberapa media online.
Doni Monardo seperti dibenturkan dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Sebab, dalam berita itu terselip satu kata yang salah kutip, sehingga substansinya menjadi berbeda. Kata yang dimaksud adalah “pemerintahnya” dan “pemberitaannya”.
Kalimat yang Doni katakan adalah, “Yang disampaikan pak Budi Karya belum tentu salah. Tetapi mohon maaf, pemberitaannya malah justru membuat rakyat bingung.” Sejumlah media menuliskan dengan benar, sebagian lain menulisnya salah, “….pemerintahnya malah justru membuat rakyat bingung”.
Syukuran Ulang Tahun
Puas dengan hasil kunjungannya, Doni Monardo dan staf kembali ke Graha BNPB. Kembali ke “rumah”. Di “rumah”, sudah menanti Santi Monardo, sang istri didampingi putri sulung, Azzianti Riani Monardo dan si bungsu Adelwin Azel Monardo.
Sedangkan putra kedua, Reizalka Dwika Monardo, sekarang Taruna Tingkat 3 di Akademi Militer Magelang, sehingga tidak ikut serta.
Mereka berangkat dari kediaman Bumi Serpong Damai Tangerang Selatan, Banten lepas ashar. Sulung Azzianti yang menikah dengan Kapten Inf Mochammad Arief Wibisono, Perwira Intel Santuan 81 Kopassus, datang membawa serta putra mereka, Arfazza Wimeka Wibisono yang berusia hampir dua tahun.
Untuk melengkapi “kebersamaan”, Doni Monardo sempat melakukan video call dengan putra kedua, Reizalka Dwika Monardo. Saat ditelepon, Reizalka sedang berolahraga.
Perhatian Doni, sore itu banyak tercurah ke cucu tercinta, Arfazza. Sebagai cucu pertama, ia memang sangat dekat dengan Doni.
Dalam beberapa kali video call hari-hari sebelumnya, tampak Doni sangat senang. Seusai melakukan video call dengan cucunda, tampak aura Doni lebih cerah. Sang cucu benar-benar menjadi penyemangat tugas.
Hadirnya Santi sang istri, yang sore itu mengenakan baju batik corak kuning-hitam serta hijab hitam, menyempurnakan kebahagiaan Doni. Santi menyambut kehadiran suami dengan spontan berdiri.
Ekspresi senyum mengembang, tapi tertutup masker kuning yang dikenakannya. Hanya sorot matanya yang menampakkan pancaran kebahagiaan.
Demikian pula Azel, yang sore itu mengenakan hoodie sweater warna hitam bertuliskan “We Are Venom”. Santi melambaikan tangan seperti meminta Doni sang suami mengikuti langkahnya.
Sambil merangkul Azel, Doni menyusul langkah Santi dari belakang, berjalan menuju ruang Multimedia tak jauh dari ruang kerjanya di lantai 10 Graha BNPB, Jl. Pramuka, Jakarta Timur.
Di ruang itu, rupanya Santi sudah menyiapkan segala sesuatu untuk merayakan ulang tahun suami tercinta. Kue tart berbalut cokelat, dihiasi dua kuntum mawar merah buttercream. Di bagian topping, ada logo BNPB.
Sedang di bagian depan, terukir buttercream kuning keemasan membentuk logo Kopassus. Kesatuan asal Doni Monardo bertugas.
Sebatang lilin putih sudah menyala. Santi dan Azel memegang tart cantik itu. Lalu Doni Monardo mendekat ke arah kue. Ia tidak meniupnya, melainkan dengan sebuah kipas ia kibaskan ke arah lilin hingga padam.
Menjelang detik-detik kumandang adzan maghrib, dilakukan seremoni sederhana. Doni meminta Tenaga Ahli Egy Massadiah memimpin doa. Suasana hening. Suasana hanyut dalam aneka rasa yang bercampur-aduk. Antara rasa bahagia dan beban berat yang tengah disandang Doni Monardo.
“Bu Santi, silakan menyampaikan sepatah-dua-patah-kata…,” ujar Egy kepada Santi Monardo.
Yang ditunjuk terdiam. Dari ekspresinya, jelas jutaan kata, ratusan kalimat seperti hendak dimuntahkan untuk menggambarkan perasaannya, di hari ulang tahun suami tercinta.
Apa daya, pita suara seperti tercekat, sehingga sangat sulit dikeluarkan. Alhasil, yang keluar hanya kata-kata yang membuat semua jadi terharu, “Ngomong apa pak Egy… saya tidak bisa berbicara… rasanya mau menangis…..” Terlihat ada genangan air mata di bola mata Santi.
Tanggap akan keadaan, Egy memakluminya. Ia segera mengalihkan ke Tomy Suryo Pratomo, yang juga hadir di ruang itu. Tomy yang wartawan senior itu pun memanjatkan semua doa terbaik untuk Doni Monardo, sahabatnya.
Beberapa kerabat pun secara bergiliran menyampaikan ucapan selamat ulang tahun teriring doa-doa terbaik untuk Doni Monardo.
Adzan maghrib pun berkumandang. Semua larut dalam suasana yang cair. Berbuka puasa sambil melepas rindu bersama istri, anak, dan para kerabat.
Di ruang itu juga tampak Kolonel Budi. Ia sudah bersinggungan dengan Doni saat menjabat Dandim Bogor (saat itu Doni Monardo Danrem 061/Surya Kencana – Bogor), dilanjut saat Doni Monardo menjabat Sesjen Wantanas selama satahun, lalu setahun lebih di BNPB hingga sekarang.
Ada yang menarik dari “hadiah” persembahan Kolonel Budi kepada Letjen Doni Monardo. Ia mempersembahkan kue tart yang didesain khusus. Topping tart persegi empat itu, dihiasi buttercream berbentuk baju PDH (Pakaian Dinas Harian) dalam lipatan.
Sekilas, persis lipatan baju dinas warna hijau, lengkap dengan tiga bintang di kanan-kiri bagian pundak, badge nama DONI dan brevet-brevet/tanda kualifikasi TNI di bagian kiri.
Di bagian bawah “lipatan baju PDH” bertuliskan kalimat sederhana “Yaumil Milad, Barrakallah fi Umriik, Bpk. Doni Monardo”.
Lain lagi “kado” yang saya berikan. Sebagai Tenaga Ahli BNPB Bidang Media, saya menyerahkan kado istimewa berupa dua buku sekaligus. Buku kesatu berjudul “Secangkir Kopi di Bawah Pohon” dan buku kedua berjudul “Sepiring Sukun di Pinggir Kali”. Kedua buku dilengkapi sub-judul yang sama: “Kiprah Doni Monardo Menjaga Alam”.
Baik buku kesatu maupun buku kedua, memiliki ketebalan lebih dari 300 halaman. Berisi tak kurang dari 60 esai yang ia tulis dan kumpulkan selama kurang lebih satu tahun.
Tak pelak, secercah aura kebahagiaan menyelimuti lantai 10 Graha BNPB. Doni bersama istri, anak-anak dan cucu kesayangan, pun menyantap hidangan istimewa. Para staf dan kerabat ikut larut dalam kebahagiaan hari itu. Menjadi spesial, karena Santi memasakkan menu kesukaan Doni Monardo.
Bagian dari Sejarah
Saat berbicara agak serius memaknai perjalanan hidup hingga memaski usia ke-57, Doni pertama-tama mengucap syukur. Ia bersyukur atas semua berkah dalam kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya. Belajar bersyukur tiada henti, adalah salah satu falsafah hidup Doni yang jarang orang ketahui.
Bahkan, ia mensyukuri tugas negara yang dibebankan di pundaknya, sebagai Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Bukan persoalan ia harus jauh dari keluarga. Bukan persoalan ia harus bekerja ekstra keras hingga tidak pulang ke rumah berbulan-bulan. Bukan karena jam tidurnya yang hanya tiga-empat jam per hari.
Ia bersyukur karena Tuhan melalui tangan pemerintah, memposisikan dirinya menjadi bagian sentral dari sejarah. Peristiwa wabah skala besar hingga menjadi catatan “sejarah dunia” umumnya berulang setiap satu abad.
Pada tahun 1720, dunia dilanda wabah The Great Plague of Marseille yang membunuh kira-kira 100 ribu orang di Marseille, Perancis. Penyakit ini disebarkan melalui lalat yang membawa bakteria penyebab penyakit ini.
Pada tahun 1820, dunia dilanda wabah kolera. Wabah ini menyebabkan kira-kira 100 ribu orang terpapar.
Kemudian tahun 1920 dunia dilanda penularan wabah Spanish Flu. Penyakit ini dicatatkan sebagai penyakit yang paling berbahaya dan menewaskan 100 juta orang.
Kini di tahun 2020, dunia sekali lagi dikejutkan dengan penyebaran wabah Coronavirus yang bermula di wilayah Wuhan, China. Hampir semua permukaan bumi terpapar wabah ini, termasuk Indonesia.
Jadi, kata Doni, saya harus syukuri tugas ini dengan bekerja keras dan bekerja sungguh-sungguh. Soal hasil, tambahnya, ia tidak terlalu risau. Yang pasti, ia telah menancapkan semangat nan tak kunjung padam untuk berperang habis-habisan melawan Covid-19.
Pada setiap langkahnya, dalam setiap nafasnya, mengalir semboyan “Berani, Benar, dan Berhasil”. Selamat ulang tahun, Jenderal! Tetap sehat. Tetap tangguh! **)Egy Massadiah, Tenaga Ahli BNPB, Anggota Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19