AIMERE,SELATANINDONESIA.COM – Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat di sebuah dapur terbuka di Aimere, Kabupaten Ngada. Di bawah atap seng yang lapuk, seorang lelaki tua menggenggam bambu panjang yang mengalirkan cairan bening—moke, arak lokal warisan leluhur Flores. Tapi kali ini, cerita moke bukan sekadar tradisi. Ia sedang bertransformasi jadi mesin ekonomi baru.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, Emanuel Melki Laka Lena, memacu langkah besar, mendorong hilirisasi moke sebagai produk unggulan legal dan berkualitas ekspor. Dalam kunjungannya ke Aimere pekan ini, Melki menegaskan pentingnya transformasi sistem produksi dan distribusi moke, agar naik kelas tanpa meninggalkan akar budaya.
“Jangan lagi moke sekadar diminum di pinggir jalan. Ini prime mover ekonomi kita. Kalau dikelola benar, bisa gerakkan triliunan rupiah per tahun,” ujar Gubernur Melki, disambut tepuk tangan para pengrajin lokal.
Dari Tradisional ke Legal
Langkah awal legalisasi dimulai saat Melki masih duduk di Senayan. Kini, sebagai gubernur, ia membawa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ke dapur-dapur penyulingan. Hasilnya mulai terlihat. Moke Aimere bersegel, bersertifikat, dan siap masuk pasar resmi.
“Dulu hanya Rp1 miliar per hari. Sekarang sudah tembus Rp2 miliar. Itu artinya Rp60–90 miliar per bulan,” katanya. Potensi tahunan? Bisa menembus Rp1,8 triliun.
Tak tanggung-tanggung, Pemkab Ngada menyiapkan Rp500 juta untuk mendukung uji produk dan perbaikan standar BPOM. Jika berhasil, Aimere akan dijadikan Kawasan Industri Moke pertama di Indonesia.
Skema Bagi Hasil dan Kelas Produk
Moke kini tengah diklasifikasi ke dalam tiga kelas:
Premium (Rp100–300 ribu): untuk pasar ekspor dan hotel berbintang
Menengah (Rp50–100 ribu): untuk pasar lokal modern
Kelas bawah: tetap tersedia, tapi dikemas sehat dan aman
Distribusi dan produksi akan diatur dengan sistem bagi hasil progresif, memastikan keuntungan dinikmati pengrajin, desa, hingga kabupaten.
Nafas Ekonomi Aimere
Camat Aimere, Oskar Toka, menyebut moke sebagai “nafas ekonomi” warganya. Dari penyulingan moke, warga membiayai sekolah anak, membangun rumah, hingga membuka usaha kecil. “Ini bukan sekadar arak. Ini hidup kami,” katanya.
Ketua DPRD Kabupaten Ngara, Romo Juji mengenang bagaimana legalisasi moke sempat ditentang karena cara masak yang dianggap berbahaya. Tapi dengan edukasi BPOM, kini muncul moke bersegel. “Moke adalah minuman rakyat, tapi harus bisa jadi sumber PAD,” tegas politisi Golkar ini.
Bupati Ngada, Raymundus Bena mencatat ada lebih dari 400 pemasak moke aktif di Aimere. Pendapatan bulanan mereka mencapai Rp3–4 miliar. Jika program legalisasi dan labelisasi berjalan, potensi bisa naik tiga kali lipat. “Kami siap dorong regulasi, bantu pengrajin, dan jadikan moke sebagai simbol ekonomi legal yang membanggakan,” katanya.
Dari Tanah Aimere ke Dunia
Langkah berikutnya adalah memperkenalkan moke ke pasar global. Gubernur Melki menggandeng pelaku usaha kreatif dan koperasi untuk mengurus lisensi ekspor, merek dagang, dan kemasan premium. Ia yakin moke bisa bersanding dengan sake dari Jepang atau tequila dari Meksiko. “Selama ini kita hanya punya cerita. Sekarang saatnya punya industri.”
Dan dari bawah atap seng yang berasap itu, revolusi moke Aimere pun mulai bergulir.*/)js/llt



Komentar