Menolak Kekerasan Seksual, Menanamkan Toleransi Sejak Dini di Ruang Kelas
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM — Sebuah langkah kecil dari Aula SMA Negeri 5 Kupang pada Kamis pagi (24/4/2025), mengalirkan gema besar ke seluruh Nusa Tenggara Timur. Di hadapan siswa dan guru, Gubernur Emanuel Melkiades Laka Lena tak sekadar membuka program baru, tapi mendeklarasikan sikap tegas. Sekolah harus jadi ruang aman, inklusif, dan mencintai keberagaman. Bukan tempat bagi perundungan dan kekerasan seksual.
“Sekolah bukan sekadar tempat belajar, tapi tempat membentuk karakter. Anak-anak dari berbagai latar belakang harus tumbuh dengan cinta pada keberagaman,” ujar Gubernur Melki, saat meluncurkan Sekolah Keberagaman bersama Komunitas Peacemaker Kupang (KOMPAK). Program ini mengusung semangat toleransi, anti-kekerasan, dan penguatan nilai-nilai Pancasila dengan SMA Negeri 5 dan SMA Negeri 1 Kupang sebagai proyek percontohan.
Gubernur Melki berbicara lantang tentang realita di lapangan. “Diskriminasi, stereotip, perundungan, hingga kekerasan seksual masih kita jumpai di sekolah. Kita tidak boleh menormalisasi itu. Kepala sekolah dan guru harus bertanggung jawab. Harus berani meniadakan kekerasan seksual dari sekolah,” tegasnya.
Gagasan sekolah keberagaman, menurut Melki, tidak hanya soal toleransi agama, tetapi juga sikap terhadap perbedaan pendapat, ekspresi diri, hingga perlindungan terhadap perempuan dan anak. “Toleransi adalah pondasi dari karakter bangsa yang kuat,” ujarnya.
Di tengah gelora peluncuran itu, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Ambrosius Kodo, turut menyampaikan dukungan penuh terhadap program ini. Ia menyebut keberagaman dan keamanan anak sebagai “agenda moral” dunia pendidikan saat ini.
“Kami mendukung penuh inisiatif ini. Instruksi sudah kami turunkan agar semua sekolah mulai dari kabupaten hingga kota menerapkan prinsip sekolah keberagaman. Guru-guru juga harus mendapat pelatihan soal pencegahan kekerasan seksual,” ujar Ambrosius. Ia menambahkan, Dinas Pendidikan akan membentuk tim pemantau khusus untuk mengawal implementasi program tersebut.
Ambrosius menilai, Sekolah Keberagaman bukan sekadar proyek simbolik. “Ini gerakan perubahan. Sekolah tidak boleh jadi tempat takut bagi anak. Mereka harus datang dengan rasa aman dan pulang dengan harapan,” katanya.
Sementara itu, Koordinator KOMPAK, Iskandar Wutun, menegaskan bahwa program ini bertujuan melahirkan generasi pembawa damai. “Kita ingin sekolah yang tidak hanya unggul secara akademik, tapi juga jadi tempat lahirnya empati dan kemanusiaan,” katanya.
Dengan nada khasnya, Gubernur Melki menutup sambutannya sambil menatap barisan siswa di depannya. “Anak-anak kita harus tumbuh sebagai generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga bijak, berani, dan manusiawi,” katanya. Suaranya mengeras sejenak, “Karena kalau bukan sekolah yang mengajarkan mereka itu, siapa lagi?*/)meldo/llt
Komentar