Kisah Intan, ART Asal Sumba yang Dianiaya Majikan di Batam, dan Perjuangan Diaspora NTT Menuntut Keadilan
JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM – Pada pertengahan Juni itu, Intan hanya butuh satu hal: sebuah ponsel. Bukan untuk sekadar bermain media sosial, melainkan untuk menyelamatkan nyawanya.
Gadis 21 tahun asal Sumba Barat itu telah satu tahun bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di sebuah rumah mewah di kawasan elit Sukajadi, Kota Batam. Tapi bukan kemewahan yang dia rasakan. Setiap hari, ia hidup dalam isolasi, dipaksa diam dalam kesakitan. Hingga ia berhasil meminjam ponsel milik tetangga, menghubungi keluarganya, dan membuka tabir kekerasan brutal yang ia alami.
“Adik saya dipukul pakai obeng dan sapu, ditendang di kepala, wajah, bahkan kemaluannya. Dia dipanggil lonte, babi, anjing,” ujar Anggraini, kakak Intan, dengan suara yang pecah. Tangisnya pecah di telepon, saat diwawancarai pada Minggu, 22 Juni 2025.
Menurut kesaksian keluarga, pelaku penganiayaan adalah Roslina, perempuan berusia 40-an tahun, yang tak lain adalah majikan Intan. Kekerasan terjadi hampir setiap hari, dan memuncak dalam dua hari terakhir sebelum keluarga datang dan menyelamatkan Intan.
Ketika akhirnya mereka memaksa masuk rumah, setelah sempat diadang, tubuh Intan ditemukan tergeletak di dalam kamar dalam kondisi mengenaskan: wajah lebam, tubuh bengkak, dan mental hancur.
Ia segera dilarikan ke RS Elisabeth Batam untuk mendapatkan perawatan intensif, termasuk pendampingan psikologis. “Dia bahkan tak sanggup bicara lama,” ujar seorang perawat di rumah sakit, meminta namanya tak disebut.
Diaspora yang Tak Tinggal Diam
Kabar penyiksaan itu cepat menyebar melalui jaringan diaspora NTT di berbagai kota. Salah satu yang paling lantang bersuara adalah Forum Perempuan Diaspora NTT (FPD NTT), sebuah organisasi akar rumput yang selama ini menjadi penyambung suara perempuan perantauan asal Timur.
Ketua Umum FPD NTT, Sere Aba, tidak menahan amarah. Dalam pernyataan resminya, ia menyebut peristiwa ini sebagai “tindakan biadab yang melukai martabat perempuan NTT di tanah rantau.”
“Intan bukan pembantu. Ia adalah manusia. Ia perempuan yang bekerja keras untuk menopang hidup keluarganya di Sumba. Penyiksaan ini adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan,” kata Sere dalam keterangana resminya kepada SelatanIndonesia.com, Senin (23/6/2025).
FPD NTT tidak hanya mengecam. Mereka menyampaikan empat tuntutan tegas: penegakan hukum tanpa kompromi, hukuman maksimal bagi pelaku, jaminan pemulihan korban oleh negara, dan pengesahan segera RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang mangkrak selama lebih dari 19 tahun di DPR.
Lubang Gelap di Balik Pintu Rumah
Kekerasan terhadap PRT di Indonesia bukan cerita baru. Laporan tahunan Komnas Perempuan menyebutkan setidaknya 45% kasus kekerasan berbasis gender terhadap pekerja domestik tak pernah dilaporkan, karena korban berada dalam posisi yang sangat rentan, tidak punya akses informasi, tidak punya jaringan bantuan, dan sepenuhnya tergantung pada majikan.
Dalam kasus Intan, semua itu terjadi. Ponselnya disita. Hak berbicara dibungkam. Bahkan kebutuhan makan dibatasi, menurut pengakuan keluarga.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Dr. Reni Susanti, menyebut ada banyak celah hukum yang membuat kekerasan terhadap PRT kerap lolos dari jerat pidana berat.
“Kalau pelaku kekerasan terhadap ART bukan bagian dari keluarga secara hukum, sulit menggunakan UU PKDRT. Tapi KUHP juga belum cukup. Di sinilah pentingnya RUU PPRT,” ujarnya.
RUU yang Mandek, Nyawa yang Terancam
Sejak pertama kali digagas pada 2004, RUU Perlindungan PRT tak pernah lolos ke tahap pengesahan. Padahal, menurut data JALA PRT, terdapat lebih dari 4 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, mayoritas perempuan dan sebagian besar berasal dari daerah miskin seperti NTT, NTB, dan Jawa Tengah.
Intan hanyalah satu dari ribuan yang terluka. Bedanya, ia selamat dan berhasil bersuara. “Kalau saya tidak dipinjamkan HP, mungkin saya sudah mati,” ujar Intan lirih kepada perwakilan FPD NTT yang menemuinya di rumah sakit.
Harga Mati Bernama Keadilan
Polisi Batam telah menangkap Roslina dan menetapkannya sebagai tersangka. Namun FPD NTT dan jejaring organisasi perempuan terus menyoroti penanganan kasus ini, agar tidak berhenti pada penjara semata, melainkan juga menjadi momentum hukum yang lebih luas.
Sere Aba menutup keterangannya dengan suara gemetar namun tegas, “Satu-satunya yang bisa menyembuhkan luka Intan adalah keadilan. Dan keadilan, bagi kami, adalah harga mati.” */Laaurenns Leba Tukan
Komentar