GESER UNTUK LANJUT MEMBACA
Berita Hari Ini NTT Daerah Hukrim Nusantara
Beranda / Nusantara / Kapolres SBD Tunduk Minta Maaf: Luka Korban, Aib Institusi

Kapolres SBD Tunduk Minta Maaf: Luka Korban, Aib Institusi

Kapolres Sumba Barat Daya, AKBP Harianto Rantesalu dan jajarannya merunduk dan meminta maaf atas kasus pelecehan seksual oleh anak buahnya. Foto: tangkapan layar video

Kapolres Sumba Barat Daya, AKBP Harianto Rantesalu Minta Maaf atas Kasus Pelecehan Seksual oleh Anak Buahnya di Kantor Polsek Wewewa Selatan.

TAMBOLAKA,SELATANINDONESIA.COM – Di hadapan puluhan wartawan yang memenuhi aula Mapolres Sumba Barat Daya (SBD), Selasa malam, (10/6/2025), AKBP Harianto Rantesalu berdiri dengan wajah tegang. Sorot matanya redup. Dalam balutan seragam dinas lengkap, Kapolres SBD itu menundukkan kepala sebelum akhirnya berbicara dengan suara berat.

“Atas nama institusi, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat, terutama kepada korban,” ucapnya, sembari menatap lantai. Di sisi kanan dan kirinya, Wakapolres Kompol Jefris Fangidae dan jajaran pejabat utama Polres SBD mengikuti gerakannya. Semua menunduk. Semua diam.

Ucapan maaf itu bukan kali pertama. Sepekan sebelumnya, AKBP Harianto telah menyampaikan permintaan maaf terbuka. Tapi malam itu, pernyataan yang sama harus kembali ia ucapkan. Sebab kasus yang menimpa institusinya bukan sekadar pelanggaran disiplin. Bukan pula sekadar berita viral. Ini soal martabat korban dan rusaknya kepercayaan publik.

Kasus bermula dari pengakuan seorang perempuan muda berinisial MML, 25 tahun. Ia adalah pelapor kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan seorang pria berinisial B di Desa Mandungo, Kecamatan Wewewa Selatan. MML datang ke kantor Polsek setempat bersama keluarganya, dengan harapan mendapat keadilan.

Gubernur Melki Laka Lena: IPACS Jadi Momentum NTT Menatap Dunia

Namun justru di ruang yang seharusnya menjadi tempat aman, MML kembali menjadi korban. Kali ini pelakunya adalah anggota polisi yang bertugas di sana, Aipda PS.

Tangan Kotor di Balik Seragam

Dalam kesaksian yang ia buka ke publik, MML menyebut Aipda PS melakukan pelecehan seksual terhadapnya pada hari setelah ia melaporkan kasus pemerkosaan. Peristiwa itu terjadi di kantor Polsek Wewewa Selatan, tempat Aipda PS bertugas. Tidak dijelaskan secara rinci bentuk pelecehan yang dilakukan, namun dugaan itu cukup untuk mengguncang institusi kepolisian di pulau Sumba.

Tidak butuh waktu lama, Polres SBD menindaklanjuti pengakuan korban dengan memeriksa Aipda PS. Hasilnya, yang bersangkutan langsung dijatuhi hukuman patsus atau penempatan khusus selama 30 hari sambil menunggu sidang kode etik. Meski demikian, proses pidana belum bisa dilakukan karena korban belum membuat laporan resmi.

“Untuk pidana, belum bisa kami proses karena belum ada laporan polisi dari korban. Tapi untuk pelanggaran etik, itu tetap kami jalankan,” kata Kapolres Harianto kepada wartawan.

Ketika HAM Menyapa Nggongi: Umbu Rudi Kabunang dan Gerakan dari Selatan Sumba

Keesokan harinya, Aipda PS dijadwalkan diberangkatkan ke Kupang untuk menjalani sidang kode etik di Polda NTT. Keputusan untuk membawa proses etik ke Kupang diambil dengan alasan menjaga objektivitas dan transparansi. “Awalnya kami rencanakan di sini. Tapi untuk netralitas, lebih baik diproses langsung di Polda,” ujarnya.

Penyintas Dua Kali Luka

Kasus ini mencuat ke publik bukan hanya karena pelakunya adalah aparat negara. Tapi juga karena korban merupakan penyintas dari kasus yang belum selesai. Dalam banyak kasus kekerasan seksual, penyintas perempuan kerap menghadapi berlapis trauma dan ketidakpercayaan, baik terhadap pelaku, maupun terhadap sistem.

Di sinilah institusi Polri kembali dihadapkan pada ujian. Pada saat kepercayaan publik terhadap aparat tengah dibangun melalui jargon-jargon pelayanan humanis, kasus semacam ini kembali mencoreng citra institusi dari dalam.

“Kasus ini menjadi pukulan telak. Kami tidak bisa membela kesalahan, hanya bisa menjadikan ini pelajaran agar tidak terulang,” ujar Kapolres.

DPR Umbu Rudi Kabunang dan Cahaya P5HAM dari Karera

Namun benarkah ini sekadar “oknum”? Data dan pengalaman menunjukkan bahwa kekerasan seksual yang dilakukan aparat bukan hal baru. Dalam banyak kasus, perempuan yang datang melapor justru dibungkam, diragukan, atau bahkan dijadikan bahan olok-olok.

Bukan Sekadar Etik

Desakan publik agar proses pidana segera ditempuh makin menguat. Berbagai kalangan meminta agar Polres tidak menunggu korban membuat laporan, tapi secara proaktif melakukan penyelidikan internal dan membuka ruang pengaduan pendampingan hukum.

“Kejahatan seksual bukan pelanggaran etik semata. Ini kejahatan terhadap tubuh dan martabat manusia,” ujar seorang aktivis perempuan di Tambolaka yang minta namanya tidak disebut.

Kini, sorotan tertuju pada keberanian Polri untuk menindak anggotanya secara tegas dan terbuka. Jika tidak, permintaan maaf kepala tertunduk Kapolres hanya akan dianggap sebagai ritual biasa, tanpa makna.*/laurens leba tukan

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Advertisement
× Advertisement