Menyatukan Maluku dan NTT dalam Jiwa Pattimura
KUPANG,SELATANINDONESIA.COM – Siang itu, matahari menggantung tepat di atas selat Pukuafu, membiaskan cahaya keemasan di atas geladak Kapal Basarnas Kupang. Ombak kecil menyentuh lambung kapal saat dua pemimpin dari dua provinsi bertetangga melangkah bersama ke buritan kapal. Mereka adalah Gubernur Nusa Tenggara Timur Emanuel Melkiades Laka Lena dan Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa.
Minggu, (18/5/2025), menjadi hari yang tidak biasa bagi masyarakat Rote Ndao, pulau paling selatan Nusantara. Di antara semilir angin musim peralihan dan suara burung camar, Gubernur Maluku tiba. Ia tak hanya sebagai tamu kenegaraan, tapi sebagai simbol persaudaraan yang menjangkau melampaui batas administratif provinsi. Ia datang untuk menyapa keluarga besar Ikatan Warga Asal Maluku (IWASMA) di Rote Ndao. Sang Gubernur mengunjungi situs Edalode, dan menapakkan kaki di Titik Nol Kilometer Selatan Indonesia, tanah di ujung bumi Flobamorata.
Kehadiran Lewerissa di NTT bukan tanpa alasan emosional. Malam sebelumnya, Sabtu (17/5/2025), ia berdiri satu panggung dengan Gubernur Melki dan Wakil Gubernur Johanis Asadoma di Alun-alun Kota Kupang. Ribuan orang memadati lapangan terbuka dalam perayaan Hari Perjuangan Pahlawan Nasional Kapitan Pattimura ke-208. Acara itu dirangkai penuh nuansa budaya Maluku, kidung pengharapan, dan semangat sejarah.
“Pattimura bukan hanya milik Maluku,” ujar Wakil Gubernur Johanis Asadoma dalam pidatonya yang disambut tepuk tangan. “Dia adalah milik kita semua, simbol keberanian, keteguhan, dan rasa kebangsaan yang melampaui pulau dan provinsi.”
Wagub Asadoma, mantan jenderal polisi kelahiran Alor, berbicara dengan nada yang penuh emosi. Ia mengaitkan perjuangan Pattimura dengan tantangan pembangunan masa kini di wilayah timur Indonesia. Soal keterisolasian, kemiskinan struktural, dan perlunya semangat kolektif dalam membangun daerah kepulauan.
Acara yang digagas IWASMA NTT itu mengusung tema “Menyatu Kolaborasi Membangun Flobamorata Berkelanjutan”. Tema yang terdengar idealis, tapi di Kupang malam itu, terasa membumi. Anak-anak muda Maluku di NTT menari cakalele, para tetua menyanyikan lagu-lagu pujian dalam dialek Ambon, sementara pejabat pemerintah berbaur bersama warga tanpa sekat protokoler.
Menurut Elly Wairata, Ketua IWASMA NTT, perayaan ini lebih dari sekadar mengenang Kapitan Thomas Matulessy. “Ini adalah ikhtiar merawat identitas sekaligus membangun ikatan sosial baru,” katanya.
Gubernur Lewerissa tampak terharu saat melihat antusiasme warga diaspora Maluku yang telah lama menjadi bagian dari denyut kehidupan NTT. Di Rote, ia tidak datang membawa pidato panjang. Ia datang membawa pelukan, ciuman hidung, sapaan, dan cerita tentang rumah yang terus melebar di antara dua pulau.
Sejarah mencatat bahwa banyak warga Maluku merantau ke Nusa Tenggara Timur sejak zaman kolonial. Mereka datang sebagai guru, pendeta, tentara, pegawai pemerintah dan menetap. Di banyak kota kecil NTT, nama-nama seperti Latumahina, Tetelepta, dan Wattimena bukan lagi “orang Maluku,” tapi “orang sini.”
Melki Laka Lena, Gubernur NTT, menyadari akar ini. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa semangat Pattimura harus menjadi jembatan untuk membangun masa depan bersama. “Kita semua anak timur, kita anak pulau. Kita harus saling dukung untuk memastikan pembangunan yang adil dan merata,” kata Gubernur Melki.
Di tengah euforia pesta rakyat, perayaan ini sesungguhnya membawa pesan geopolitik yang penting yaitu menyatukan wilayah timur Indonesia sebagai poros pertumbuhan nasional, bukan hanya sebagai perpanjangan tangan Jakarta. Gagasan Flobamorata—Flores, Sumba, Timor, Alor, Maluku—bukan lagi utopia, tapi peta baru solidaritas pembangunan.
Dan mungkin, seperti yang dicontohkan Kapitan Pattimura dua abad lalu, perjuangan tak harus selalu dengan senjata. Tapi dengan keberanian menjaga nilai, menyambung tali persaudaraan, dan menatap jauh ke depan, menembus batas laut dan birokrasi.
Perjalanan lintas provinsi ini menunjukkan bagaimana sejarah dan budaya bisa menjadi dasar kerja sama lintas wilayah. Apakah kunjungan serupa akan dilakukan pula ke daerah lain di timur Indonesia? Waktu akan menjawabnya. Tapi hari ini, laut bukan lagi yang memisahkan. Ia justru menjadi penghubung.*/meldo/laurens leba tukan
Komentar