JAKARTA,SELATANINDONESIA.COM – Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) jangan dulu dengan kecepatan tinggi dalam mengungkap kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Kota Kupang, terkait dengan dugaan penjualan aset Pemerintah Daerah oleh Jonas Salean, Walikota Kota Kupang periode 2012-2017 kepada pihak ketiga.
“Kejaksaan Tinggi NTT perlu hati-hati, karena tindakan Pemkot Kupang adalah tindakan keperdataan karena menyangkut tindakan Pemerintah Daerah dalam jual beli tanah yang tunduk pada Hukum Perdata bahkan Hukum Adat Kupang,” sebut Koordinator Tim Penegak Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, SH dalam keterangan tertulis kepada SelatanIndonesia.com, Minggu (25/10/2020).
Menurut Petrus, perkara itu menyangkut pemilikan tanah oleh pihak ketiga karena jual-beli yang harus dipertimbangkan, guna menghindari Kejaksaan dari tindakan salah kaprah bahkan terjadi kriminalisasi terhadap mantan Walikota atau mantan pejabat lainnya.
Itu pasalnya, Petrus mengatakan, Kejaksaan Tinggi NTT sebaiknya menangguhkan seluruh proses pidana yang sedang terjadi dan seyogianya menempuh upaya perdata yaitu menggugat pihak-pihak yang diduga terlibat dalam jual beli atas tanah yang diklaim sebagai milik Pemda, untuk memastikan terlebih dahulu, sah tidaknya jual beli dan pemilikan tanahnya, melalui mekanisme gugatan perdata di Pengadilan.
Tangguhkan Proses Pidana
Petrus yang juga advokad Peradi ini mengatakan, langkah Kejaksaan Tinggi NTT menetapkan dan menahan Jonas Salean (mantan Walikota) dkk karena diduga menjual tanah Pemda kepada pihak ketiga, sebagai langkah premature. “Karena itu tangguhkan seluruh proses pidana, dan tempuhlah upaya perdata, sebagai langkah akomodatif memediasi Pemkot Kupang dan pihak Ketiga yang membeli tanah dimaksud untuk mencari titik temu,” katanya.
Disebutkan Petrus, Kejaksaan Tinggi NTT dan Pemkot Kupang harus mempertimbangkan aspek tindakan keperdataan yang sudah terjadi, yaitu peralihan hak antara Pemkot dengan pihak ketiga, ada proses penerbitan Sertifikat Tanah oleh Negara sebagai bukti pengakuan oleh negara, maka seluruh proses Perdata dan Administrasi yang sudah terjadi, harus diuji terlebih dahulu secara Perdata dan Tata Usaha Negara, agar Negara tidak dinilai ingkar janji.
“Kejaksaan tidak boleh terjebak dalam dugaan kriminalisasi atau politisasi kasus perdata untk kepentingan politik Pilkada NTT Tahun 2020 atau 2024 nanti. Karena hukum positif kita memberi wewenang kepada aparat Penegak Hukum untuk menangguhkan proses pidana karena ada peristiwa perdata yang mendahuluinya dan tindakan itu tidak pernah dibatalkan secara perdata oleh para pihak yaitu Penjual dan Pembeli hingga saat ini,” jelas Pertus.
Ada Landasan Hukum Formil
Petrus menambahkan, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 jo. No. 4 Tahun 1980, intinya mengatur soal prejudicieel Geschief, bahwa, apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu.
“Juga ada yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusannya No. 628 K/Pid/1984, yang memerintahkan Pengadilan Tinggi Bandung untuk menunggu adanya putusan berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mengenai status pemilikan tanah,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, dalam pasal 81 KUHP juga memberi wewenang kepada Hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan perkara pidana menunggu pemeriksaan sengketa perdatanya.
Menurut Petrus, semangat ini yang seharusnya menjadi dasar bagi Kejaksaan NTT melihat kasus dugaan korupsi dalam penjualan tanah yang diklaim sebagai aset Pemkot Kupang, pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.
“Oleh karena itu Kejaksaan harus mempertimbangkan semua sarana hukum yang ada, mempertimbangkan konsep dan roh Peraturan Jaksa Agung tentang Restorative Justice yang sudah menjadi pedoman bagi kejaksaan dalam menangani kasus dugaan korupsi,” ujrnya.
Dikatakan Petrus, meskipun kriteria kasus ini tidak pas, tetapi paling tidak semangat restorative justice dalam teori keadilan yang saat ini menjadi hukum positif melalui Peraturan Jaksa Agung. “Kiranya menginspirasi semua pihak terkait untuk duduk sama sama mencari solusi penyelesaiannya bukan untuk balas dendam,” pugkasnya.
Sebelumnya pada Kamis (22/10/2020), Kejaksaan Tinggi NTT menahan Jonas Salean yang didahului dengan penetapan sebagai tersangka atas kasus dugaan tindak pidana korupsi pengalihan asset tanah milik Pemerintah Kota Kupang tahun 2016-2017.***Laurens Leba Tukan